Minggu, 16 Maret 2014

Tiga Era, Dua Blok dalam Satu Dirgantara Mandala

Salah satu obsesi dalam hidup saya hingga saat ini adalah mengunjungi museum-museum pesawat terbang dan penerbangan di dunia. Meski demikian, baru dua museum saja yang sudah saya kunjungi, selebihnya hanya menjumpai monumen-monumen pesawat terbang yang berada di pinggir jalan atau kebun binatang. Museum yang pernah saya ulas dalam blog ini adalah Aviodrome yang berlokasi di Lelystad, Belanda (simak di sini: http://budiarifvianto.blogspot.nl/2013/11/menyusuri-sejarah-penerbangan-belanda.html). Saya mengunjungi museum ini pada bulan Mei tahun 2013 lalu. Satu lagi museum pesawat terbang yang ingin saya ulas dalam tulisan ini adalah Dirgantara Mandala, yang sebenarnya sudah saya kunjungi beberapa kali dan jauh hari sebelum kaki saya menginjakkan Aviodrome

Dirgantara Mandala berlokasi di kota kelahiran dan tempat tinggal saya, Yogyakarta, sehingga tidak sulit bagi saya untuk mengunjunginya. Menurut Wikipedia, museum pusat TNI Angkatan Udara (TNI AU) ini berdiri di Yogyakarta setelah dipindahkan dari Jakarta pada tahun 1978. Museum ini mengambil tempat di di kompleks TNI AU dan Bandara Adisutjipto. Letaknya yang menyempil di pinggiran kota memang membuatnya susah untuk dicari. Belum lagi, karena berada di kompleks militer, pengunjung diwajibkan melapor dan meninggallkan kartu identitas kepada petugas jaga di pintu gerbang setiap kali akan memasuki area museum tersebut. Saya mengunjungi museum ini pertama kali pada awal tahun 90-an, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar. Terakhir kali saya mengunjunginya pada tahun 2008 lalu. Tentu saja, dibandingkan dengan koleksinya 16 tahun sebelumnya, koleksi museum ini sudah bertambah dengan hadirnya beberapa pesawat TNI AU telah dipensiunkan setelah tahun 2000.

Koleksi Dirgantara Mandala cukup mewakili perjalanan sejarah TNI AU di Republik Indonesia. Koleksi dimulai dari pesawat-pesawat era perang kemerdekaan dan dimulainya revolusi fisik Indonesia, dimana Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, sebutan TNI AU saat itu) masih menjadi bayi mungil yang sedang mencari bentuknya. Tercatat koleksi pesawat era ini di antaranya adalah KY51 Churen, yang merupakan hasil rampasan dari tentara Jepang saat kalah dalam Perang Dunia II. Akhir era ini ditandai dengan hibah pesawat-pesawat Belanda setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Tercatat pesawat-pesawat legendaris sekutu seperti P-51 Mustang, B-25 Mitchell, B-26 Invader dan DC-3 Dakota diberikan Belanda kepada AURI sebagai tulang punggung Republik Indonesia yang masih seumur jagung di tahun 1950an. Pada dekade tahun 60-an, kedekatan RI dengan Uni Sovyet, membuat AURI dibanjiri armada-armada garang khas Blok Timur, mulai dari MiG-17F Fresco, MiG-19 Farmer, MiG-21F Fishbed, L-29 Dolphin hingga yang paling spektakuler pembom jarak jauh Tu-16 Badger. Konon, keberadaan armada-armada khas Pakta Warsawa ini tidak hanya membuat Belanda gentar dan angkat kaki dari bumi Papua pada tahun 1963 saat operasi Trikora berlangsung, namun juga menjadikan RI disegani dan AURI menjadi yang terkuat di belahan bumi selatan. Akhir tahun 60-an dikenang sebagai kemunduran kekuatan armada AURI, karena armada-armada tempurnya yang hebat itu terpaksa grounded, akibat putusnya hubungan politik dengan Uni Sovyet yang berimbas pada kelangkaan suku cadang peralatan-peralatan militer dari negeri bintang merah tersebut. Di era tahun 70-an, AURI kembali berkiblat ke Blok Barat, dengan mengganti hampir semua armada Blok Timur yang sebenarnya masih terbilang baru dan modern saat itu. Pesawat-pesawat buatan Amerika Serikat era tahun 50-an seperti F-86 Sabre dan T-33 Bird menjadi tulang punggung AURI di masa itu, walaupun kemampuannya tidak lebih hebat dari keluarga MiG yang dimiliki AURI sebelumnya. Peremajaan armada AURI atau TNI AU baru terjadi di akhir dekade 70-an ditandai dengan didatangkannya OV-10F Bronco dari Amerika Serikat, A-4 Skyhawk bekas pakai AU Israel, serta Hawk Mk.53 dari Inggris. Meski demikian, daya dobrak AURI atau TNI AU dengan pesawat-pesawat baru tersebut tetaplah belum sepadan dengan kehebatannya saat era tahun 60-an. Ulasan tentang perjalanan sejarah AURI atau TNI AU memang unik dan menarik. Selengkapnya, Anda dapat menemukan informasinya di blog-blog sejarah, militer, majalah, buku-buku, atau datang langsung ke museum ini.

Berikut beberapa koleksi foto yang saya miliki, hasil bidikan kamera saku pada saat saya mengunjungi Dirgantara Mandala di tahun 2008 lalu.

KY51 Churen, pesawat pertama yang diterbangkan AURI di alam kemerdekaan 
P-51D Mustang, pesawat pemburu AURI yang juga menjadi legenda dalam Perang Dunia II
B-25 Mitchell, ujung tombak AURI dalam setiap operasi melawan gerakan separatis di tahun 1950an
De Havilland DH.115 Vampire, pesawat ekor ganda buatan Inggris yang menjadi pesawat bermesin jet pertama (pantjar gas) AURI. Didatangkan ke Indonesia pada tahun 1950an, namun tidak berusia panjang.
MiG-19 Farmer, anggota keluarga MiG yang tersohor karena prestasinya menjadi pesawat Blok Timur pertama menembus kecepatan suara
MiG-17F Fresco, tidak hanya menjadi andalan di Indonesia, tetapi juga Vietnam Utara dalam Perang Vietnam karena kelincahannya
L-29 Dolphin, salah satu pesawat latih lanjut dari Blok Timur yang dimiliki AURI pada tahun 60-an
Tu-16 Badger, penggetar sekaligus penyokong diplomasi Indonesia dalam pembebasan Irian Barat dalam Operasi Trikora pada tahun 1963. Tu-16 menjadikan Indonesia negara keempat di dunia yang mengoperasikan pembom jarak jauh di masa itu, selain Amerika Serikat, Uni Sovyet dan Inggris.
F-86F Sabre, menjadi andalan TNI AU di masa sulit setelah era gemilang di tahun 60-an
T-33 Bird, juga menjadi ujung tombak TNI AU di masa sulit tahun 1970an. Awalnya Bird adalah pesawat latih, namun kemudian pesawat ini dipersenjatai layaknya pesawat pemburu.
A-4 Skyhawk, menjadi andalan TNI AU di rentang tahun 1980 hingga akhir 1990an.