Senin, 28 Oktober 2013

Menembus Program Doktor di Belanda dengan Modal Publikasi Ilmiah

Cerita ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu, namun mimpi yang mewujud dalam sebentuk cita-cita untuk menimba ilmu di Eropa sudah saya bangun hampir 10 tahun silam. Delapan tahun yang lalu, keinginan untuk studi lanjut di Belanda mekar di hati saya semenjak lulus sarjana teknik di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, gelar sarjana yang bisa saya selesaikan tepat waktu dengan indeks prestasi yang lebih dari sekedar memuaskan, tidak menjadi jaminan cita-cita tersebut terwujud dengan segera.

Tidak lama setelah lulus S1, saya bekerja sebagai staf pengajar muda di kampus almamater saya. Saat itu, ada aturan yang mengharuskan staf baru lulusan S1 harus mendapatkan sekolah S2 dalam waktu dua tahun. Jika tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, staf yang bersangkutan akan dievaluasi dan tidak akan diperpanjang kontraknya. Terjepit dalam aturan ini, saya akhirnya ‘menyerah’ dan memutuskan untuk mengambil studi S2 di dalam negeri yang jauh lebih mudah didapat. Sebenarnya, bukan tidak mungkin bila saya saat itu terus berfokus untuk mencari beasiswa dan peluang studi di luar negeri, tetapi mempertimbangkan kondisi saat itu, saya tidak cukup berani bertaruh.

Lulus dari program S2, saya buka kembali lembaran-lembaran mimpi belajar ke luar negeri. Kali ini, saya bertekad harus mewujudkannya untuk program doktor (S3) yang ingin saya tempuh. Seberat apapun jalannya akan saya tempuh, walaupun harus dibayar dengan waktu tunggu yang tidak sebentar. Sudah tidak ada lagi aturan di institusi saya yang membelenggu kebebasan mencari sekolah lanjut karena syarat gelar S2 sudah saya raih. Namun, sekali lagi, kenyataan tidak semudah yang ada dalam bayangan. Lamaran yang saya kirimkan selalu ditolak dengan berbagai alasan, mulai dari proyeknya yang berubah, ketidaksesuaian antara topik proposal riset yang saya ajukan dengan keinginan calon pembimbing, hingga ketidaktersediaan beasiswanya. Satu aplikasi saya diterima oleh seorang profesor salah satu universitas di Belanda, namun saya terpental saat mengikuti seleksi beasiswanya. Jujur saja, ada pula perasaan minder yang membesit dalam hati karena status saya sebagai lulusan S2 di dalam negeri yang konon masih lekat dengan stigma masih kalah berkualitas dengan lulusan S2 luar negeri, khususnya di bidang teknik yang saya geluti.

Dua tahun setelah lulus S2, peluang mengejar mimpi studi S3 di Belanda terwujud. Senang sekali, meski dari awal saya menyadari bahwa saya sedikit melenceng dan berpindah haluan dari latar belakang studi yang saya miliki. Benar apa yang saya sadari sebelumnya, kesulitan saya beradaptasi dengan bidang baru membuat saya harus pulang dulu ke tanah air setelah satu tahun mengecap manis pahitnya menjadi seorang promovendus – sebutan bagi seorang kandidat doktor di Belanda. Yah, begitulah, saya harus kembali berjuang lagi dari nol. Namun, saya memetik pelajaran berharga. Pelajaran pertama, saya tahu pentingnya memahami diri sendiri, termasuk dalam mengejar cita-cita untuk belajar setinggi-tingginya. Saya akhirnya paham bahwa sifat alamiah saya yang cenderung fokus, tidak bisa berkompromi dengan bidang yang terlalu jauh dengan latar belakang saya. Orang lain mungkin bisa dan mudah melakukannya, tetapi bagi saya tidak. Pelajaran kedua, saya belajar tentang bagaimana bangkit dan memulai segalanya dari titik nol lagi setelah ‘belum berhasil’ dalam satu episode hidup. Pelajaran inlah yang baru bisa saya pahami setelah saya kembali lagi di Belanda untuk saat ini.

Kembali lagi memulai perjuangan menjadi laskar beasiswa dan program S3 membuat saya serius dengan aktivitas riset di institusi saya di Indonesia, meski dibayangi fasilitas yang serba terbatas. Melalui riset, saya berharap dapat memupuk rasa percaya diri dan keahlian, serta menanam modal yang nantinya bermanfaat untuk melamar program doktor dan aktivitas riset yang akan dijalani di dalamnya. Dan, ternyata pemikiran saya ini benar. Pengalaman riset saya di Indonesia sangat bermanfaat dan menjadi modal saya untuk melamar program doktor tahun 2011 silam di Technische Universiteit Delft (TU Delft), Belanda; sebuah universitas teknik besar yang sebenarnya telah saya idamkan sekian lama.

Technische Universiteit Delft (TU Delft) (Foto: dokumen pribadi)

Di Belanda, seorang mahasiswa doktoral, atau yang lebih dikenal dengan sebutan promovendus, mayoritas adalah pegawai kontrak, dimana ia dikontrak selama 4 tahun lamanya sebagai peneliti junior di laboratorium atau departemen di universitas. Lowongan untuk menjadi seorang promovendus biasanya diumumkan di website universitas yang bersangkutan atau calon supervisor/profesor yang mempunyai proyek tersebut. Jika tidak terdapat lowongan, seorang calon promovendus juga dapat berkorespondensi dengan calon supervisor/profesor yang ingin dituju untuk sekedar berkenalan atau mandapatkan informasi kemungkinan menjadi mahasiswa bimbingannya. Langkah kedua ini yang saya tempuh untuk mendapatkan kesempatan belajar di TU Delft. Tentu saja, berkorespondensi dengan calon supervisor/profesor bukanlah korespondensi sembarangan. Ada hal-hal tertentu yang harus dapat ditunjukkan agar kita berkenan di hati sang calon pembimbing. Selain kemampuan berbahasa Inggris (minimal tercermin dari bahasa tulis di e-mail) dan prestasi saat kuliah S1 dan S2, ada hal lain yang bisa ‘menaklukkan hati’ sang calon pembimbing, yakni publikasi ilmiah. Hal ini sangat beralasan karena dalam sistem pendidikan doktor di Belanda, publikasi ilmiah adalah indikator riil yang menunjukkan prestasi seorang promovendus. Tidak heran, universitas di Belanda pada umumnya mensyaratkan publikasi ilmiah mahasiswa doktoralnya di jurnal internasional yang bereputasi dengan jumlah minimal tiga sampai empat buah untuk kelulusannya; sebuah syarat yang banyak dipandang ‘mengerikan’ dan sering membuat sebagian dari kita enggan memilih Belanda sebagai tujuan studi. Namun, inilah esensi sebuah pendidikan doktoral dimana kita dilatih untuk membuat karya yang bermanfaat melalui tulisan. Eksistensi sebagai peneliti pun akan diakui di komunitas bidang yang ditekuni bilamana karya tulis itu ada dan menjadi rujukan.

Pengalaman riset dan publikasi ilmiah yang pernah saya lakukan di Indonesia ternyata berbuah manis pada saat saya melamar posisi sebagai promovendus kepada calon pembimbing saya saat itu. Selain mengirimkan curriculum vitae dan motivation letter, saya sertakan dua artikel publikasi ilmiah saya yang telah diterbitkan beberapa bulan sebelumnya. Hanya dua. Tetapi, saya cukup percaya diri karena keduanya diterbitkan di jurnal internasional yang mempunyai reputasi bagus di bidang yang saya tekuni. Bagaimana respon calon pembimbing saya saat itu? Alhamdulillah, hasil kerja saya langsung direspon dengan baik, bahkan dinilai berkualitas melihat impact factor jurnalnya. Meski demikian, awalnya calon pembimbing saya sempat pesimis menerima saya karena alasan finansial akibat krisis di Eropa saat itu. Namun, saya mengajukan diri untuk mencari beasiswa DIKTI dari Indonesia. Calon pembimbing saya pun setuju dan meminta saya segera mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti sertifikat TOEFL/IELTS, pengantar dari pembimbing sebelumnya serta salinan ijazah-ijazah pendidikan saya sebelumnya untuk menerbitkan acceptance letter. Dengan demikian, satu tahap telah saya lalui. Namun ada tahap lain yang harus saya lalui, yakni mencari dan memastikan saya bisa mendapatkan beasiswa untuk mendukung studi yang akan saya jalani.

Saya (paling kiri, berjaket merah-hitam) bersama mahasiswa Indonesia di Delft selepas acara kolokium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Central Library TU Delft (Foto: dokumen pribadi)

Perjuangan mendapatkan beasiswa dari DIKTI ternyata juga menjadi pengalaman tersendiri. Meskipun boleh dikatakan berpeluang, kebimbangan kerap menyelimuti saya karena tidak ada jaminan yang menjadikan reviewer DIKTI ‘takluk’ dan serta merta beasiswa jatuh pada saya. Sesuai aturannya, formulir aplikasi saya penuhi, termasuk publikasi terkini yang menjadi persyaratannya. Kembali, saya lampirkan lagi publikasi ilmiah saya di jurnal internasional, yang saat itu ternyata sudah bertelur satu lagi sehingga menjadi tiga buah. Dengan modal ini, saya menjadi lebih percaya diri. Alhamdulillah, proses interview juga dapat saya lalui. Pertanyaan-pertanyaan yang mencecar saya seputar riset yang akan dijalani dapat saya jawab dengan mudah dan meyakinkan tim reviewer, karena proposal riset yang saya ajukan adalah pengembangan hasil penelitian yang dimuat dalam artikel publikasi yang saya tulis. Artikel-artikel tersebut menjadi bukti bahwa apa yang saya lakukan itu realistis dan proposal riset yang dibuat tidak mengada-ada. Hal inilah yang bisa membuat reviewer mengakui dan ‘tertaklukkan’. Saya masih ingat sebuah joke dari salah satu reviewer bahwa dengan track record riset dan publikasi yang saya buat, beliau tidak keberatan langsung menerima saya sebagai mahasiswa doktoralnya. Tidak lama berselang, penerima program beasiswa DIKTI luar negeri diumumkan dan nama saya jelas tercantum di surat pengumuman tersebut. Selesai sudah perjuangan mendapatkan beasiswa, meskipun saya juga menyadari perjuangan yang lain baru saja dimulai. Lega dan puas rasanya dapat mewujudkan impian dengan jerih payah, kerja keras dan keahlian yang dibangun sendiri. Singkatnya, selain doa, publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi dapat dijadikan senjata ampuh untuk menaklukkan calon pembimbing dan reviewer dalam proses aplikasi beasiswa. Selain berujung pada kemudahan dalam mendapatkan pembimbing dan beasiswa, pengalaman menulis artikel di jurnal internasional pada akhirnya juga membantu saya meningkatkan skor TOEFL dan IELTS, sehingga nilainya melampaui batas minimum yang disyaratkan.