Minggu, 12 November 2017

Sensasi Klasik dalam Foto Bidikan Kamera Analog Fujifilm MDL-9

Demam fotografi analog sepertinya mulai menggejala dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya hal ini terungkap bila kita membaca beberapa artikel di media elektronik, baik berupa ulasan, liputan, website maupun tulisan di blog para penggemarnya. Di tengah gelombang fotografi digital yang semakin menjadi-jadi, ditambah aneka varian kamera digital yang kian canggih, banyak penggemar dan pehobi fotografi justru berbalik menggunakan kembali teknologi yang telah disebut usang oleh banyak orang, yakni kamera analog atau kamera film. 

Dibanding hasil jepretan dengan kamera digital, bagi orang awam, hasil bidikan dengan kamera analog mungkin tidaklah dramatis, atau bahkan  kurang menarik dan banyak kekurangannya. Namun, bagi mereka yang kini gandrung dengan fotografi analog, boleh dikata hasil jepretan dengan kamera yang harus diisi dengan sebuah rol film ini bernilai seni yang cukup tinggi. Bahkan, saking tingginya, sulit diucapkan dengan kata-kata. Cukuplah foto-foto itu saja yang bercerita tentang nilai seni mereka sendiri. Hehehe...

Awalnya, saya pun tidak menyadari bahwa ada sisi-sisi yang menarik dari fotografi analog maupun hasilnya, setelah begitu lama terjerembab dalam hingar bingar dunia fotografi digital. Yang jelas, ada sensasi klasik pada foto-foto yang didapat dari rol film yang telah selesai dipakai dan dicuci ini. Postingan saya kali ini berkisah tentang pengalaman saya memulai lagi hobi fotografi analog sejak tahun 2016 lalu.

Jujur saja, kamera analog yang saya pakai ini bukanlah yang canggih di eranya. Saya hanya menggunakan kamera saku Fujifilm MDL-9; yang tampaknya memang cukup populer di Indonesia di pertengahan tahun 90an. Kamera fokus tetap ini, bagi saya, mempunyai kenangan tersendiri. Saya tidak membelinya baru-baru ini. Kamera ini adalah pemberian orang tua saya sekitar tahun 1997. 
Kejutan! Sebuah kamera analog Fujifilm MDL-9 dari bapak dan ibu 20 tahun silam. Ditemukan kembali di antara tumpukan barang-barang yang usang. Semakin menyenangkan lagi saat menemukan 2 rol film yang masih baru di laci meja, masih terbungkus rapi dalam kardusnya. Setelah diutak-atik sebentar, kamera dan rol film sepertinya mau diajak bekerja sama, merekam dunia seperti dulu lagi. Mungkin ini saatnya istirahat sebentar dengan kamera digital, beraksi dengan si analog yang sederhana, namun sangat dibatasi jumlah foto yang dibidik dan harus ekstra sabar menanti hasilnya.
Konon, kamera MDL-9 inilah yang terjangkau oleh finansial keluarga saya saat itu, mengingat bapak atau ibu saya bukanlah penggandrung fotografi, sehingga kamera ala kadarnya rasanya sudah cukup. Sejak itu hingga awal tahun 2000an, kamera itu saya gunakan untuk beberapa kali aktivitas jepret di lapangan. Tidak sering memang, karena harga satu rol film waktu itu -kalau tidak salah Rp. 8.000,00- tetap saja mahal bagi saya yang masih duduk di bangku SMP dan SMA. Setelah pemakaian terakhir di tahun 2001, kamera itu raib entah kemana; mungkin terselip di antara tumpukan barang-barang di rumah.

Lima belas tahun kemudian, sekitar akhir tahun 2016, ketika sedang membongkar barang-barang di rumah, ibu menemukan kamera pertama keluarga kami tersebut. Ibu segera memberikannya ke saya, lantaran paham akan kesukaan saya jepret sana-sini dengan kamera sejak dulu, bahkan agak menjadi-jadi di beberapa tahun terakhir dengan kamera digital saya. 

Kejutan buat saya. Waktu itu, terbetik rasa bahwa fotografi analog yang saat itu hanya saya nikmati lewat membaca tulisan-tulisan di website dan blog akan segera menjadi sebuah aksi yang nyata. Kocek saya memang terbatas, sehingga saat itu membeli kamera analog bekas belum terlintas di benak saya. Tunjangan liburan yang saya terima dari kampus di Barat sono sudah saya habiskan untuk membeli kamera DSLR saya waktu itu. Hey, saat itu sudah tahun 2015, dan saya baru memiliki kamera DSLR, itupun hanya sebuah Canon EOS 1200D dan lensa kit-nya yang sungguh terbatas fitur-fiturnya, karena memang diperuntukkan bagi para pemula, hahahaa... Tak apalah, yang penting saya membelinya dengan hasil keringat sendiri. 

Kejutan berupa Fujifilm MDL-9 ternyata menyisakan masalah. Dari mana saya bisa mendapatkan film-nya? Saya tidak tahu harus ke mana untuk membeli rol-rol film yang bisa dipakai untuk kamera ringan tersebut saat ini. Tiba-tiba saja saya merasa mendapat kejutan lagi, ketika saya ingat bahwa masih ada dua rol film Fujicolor 200 yang tersimpan di laci meja belajar saya sejak tahun 2009 lalu. Di tahun itu, saya sengaja membeli 4 atau 5 rol film untuk memotret mikrostruktur logam dengan mikroskop optik di lab kampus saya. Jadilah, tanpa pikir panjang, satu dari dua rol Fujicolor 200 yang sudah kadaluarsa sejak tahun 2009 itu, segera saya pasang dalam kamera. Selanjutnya, sambil berburu foto di sana-sini dengan kamera analog itu, saya mencari info yang tidak kalah penting: dimanakah lab tempat mencuci film dan men-scan-nya sehingga dapat diperoleh foto-foto yang siap diunggah dan dinikmati dengan media digital saat ini?

Penelusuran kemana saya harus melakukan finalisasi berupa cuci dan scan berakhir saat saya temukan website komunitas fotografi analog di Jogja. Lengkap sudah infonya setelah saya mendapat konfirmasi dari seorang kawan yang juga gandrung akan fotografi, termasuk yang analog seperti ini. Aktivitas jepret sana-sini untuk menghabiskan satu rol film ternyata memakan waktu berbulan-bulan karena waktu yang sering tidak mengizinkan saya bereksplorasi dengan kamera analog ini. Akhirnya, di awal November 2017 ini, satu rol film dicuci dan di-scan. Lab yang saya tuju adalah Central Foto yang terletak di Jalan Urip Soemoharjo, Yogyakarta. Berikut ini saya hadirkan kepada para pembaca sekalian dua foto eksperimen pertama saya dengan Fujifilm MDL-9 yang dipadu dengan film Fujicolor 200. Sebagian besar sisa fotonya memang tidak sempurna; umumnya terdapat garis-garis yang seakan membakar film. Namun, dua foto yang saya buat dalam format panorama ini cukup memberi rasa puas bagi saya.
Foto 1: It feels like in the mid of 90s, doesn't it? Oh wait, but you may see a Toyota Rush passing through the left side of Tugu Jogja. Yes, it was 2016 when this photo was taken. My first shot with Fujifilm MDL-9 analog camera, after it disappeared for 16 years. Surprisingly, the expired Fujicolor 200 film still worked well for taking this photo.
Pada foto yang pertama (Foto 1), tampak suasana klasik di sekitar Tugu Jogja di dalam foto ini, seakan kita berada di era tahun 80 atau 90an. Namun, ternyata bukan. Kita berada di tahun 2010 ke atas, terlihat dari mobil Toyota Rush dan Avanza yang melenggang di dalamnya, hehehee.. Foto Tugu sendiri kurang begitu jelas, kemungkinan akibat cahaya yang terlalu banyak, mengingat foto diambil saat jelang tengah hari, saat mentari sedang terik-teriknya.

Foto 2: Taken with Fujifilm MDL-9 analog camera and an expired Fujicolor 200 film. No filter was used.
Foto 2 memberikan hasil yang lebih memuaskan bagi saya, sekalipun cerita yang saya angkat cukup sederhana saja, yakni tentang lalu lalang becak di seputaran Pasar Ngasem; salah satu pasar tradisional yang paling terkenal di Jogja. Foto ini diambil di suatu pagi, sekitar pukul 9, sehingga intensitas cahaya yang masuk ke kamera tidak terlalu kuat. Pepohonan yang cukup rimbun juga sangat memperbaiki kontras dari foto ini. Efek klasik, vintage dan kekunoan bisa muncul dari foto ini.

Dua foto di atas barulah permulaan. Saya masih harus belajar banyak lagi, khususnya belajar memahami karakteristik kamera analog yang saya punyai ini. But, it's all about fun. Ya, fotografi itu menyenangkan dan harus dijalani dengan menyenangkan pula. Jangan lupa untuk menambahkan bumbu-bumbu ketertarikan, keingintahuan serta keseriusan di dalamnya.

17 komentar:

  1. hi mau tanya. gimana caranya tau kameranya masih bisa dipake atau tdk ya? soalnya saya sudah pasang batre (tdk pasang film) dan pas tekan tom ol merah tdk bisa keluar flash meskipun sudah saya aktifkan flashnya. terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai aku mau bantu jawab, coba ketik jenis kameranya nanti ada kok review youtube, aku juga baru liat soalnya

      Hapus
    2. Baterai digunakan hanya utk mengecek flash,di bagian belakang ada putarannya, coba itu digeser agar flash menyala

      Hapus
  2. Terima kasih sudah berkunjung ke tulisan saya. Benar, saya juga mengalami kasus serupa, flash tidak menyala sewaktu ditekan tombol shutter. Saya tidak tahu apa penyebabnya. Tetapi kamera tetap bisa berfungsi baik sewaktu saya pasang rol film di dalamnya. Foto yang saya unggah dalam tulisan ini saya ambil tanpa flash. Demikian, semoga membantu.

    BalasHapus
  3. bang ada komunitasnya ga buat penggemar kamera lawas saya dari Ciamis bang.

    BalasHapus
  4. Saya punya satu, tapi sangat susah susah buat cari roll film sekarang, saya sudah kelilingi kota saya dan tak dapat.
    Mohon bantuan bang

    BalasHapus
    Balasan
    1. di daerah pasar minggu dan kemang ada gan

      Hapus
    2. Online banyak sekarang, coba liat ig socca_id

      Hapus
  5. boleh tanya ga disamping viewfinder kan ada mode yg bisa digeser2. kalo mau pake mode biasa tulisan p -nya keliatan atau engga ya? mau foto pake mode biasa takut keambilnya panorama. soalnya baru nemu kamera mama juga dan mau coba pake lg hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo p nya keliatan berarti mode panoramanya aktif

      Hapus
  6. sama seperti punya saya, sejak dari saya bayi dulu sampai sekarang masih ada, cuma jadi pajangan aja, yang pasti dari kamera ini sudah tercetak banyak memori

    BalasHapus
  7. maaf mau tanya, kalo gapake batre apa kameranya tetap berfungsi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setau saya tidak berfungsi karena tidak ada memori internal. Sumbernya saya liat diyoutube

      Hapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. misi mau nanya,ini kamera mdl-9 tombol merahnya ditekan kok gamau kembali ya mohon pencerahannya terimakasih

    BalasHapus