Boleh jadi menyewa rumah di negara tujuan studi adalah
agenda utama yang harus disiapkan begitu kita mendapatkan approval untuk datang dan memulai studi di luar negeri. Tak terkecuali bagi yang akan datang untuk studi di
Belanda. Berburu rumah, kamar maupun apartemen seawal mungkin wajib dilakukan agar
kita tidak terkatung-katung saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri Orange ini. Meski ada agen atau makelaar yang membantu memberikan
pilihan, urusan akomodasi di Belanda tidak bisa digampangkan begitu saja.
Banyak hal yang harus disiapkan dan membutuhkan perhatian khusus.
Jika dihitung sejak awal singgah di
Belanda awal tahun 2010 lalu hingga saat tulisan ini diangkat (dengan masa jeda
kembali ke Indonesia selama 1,5 tahun antara tahun 2011-2012), sudah enam kali
saya berpindah dari satu rumah ke rumah sewaan yang lain. Setiap kali pindah
rumah, saya selalu mendapatkan pengalaman baru, terutama cara yang harus tempuh
untuk mendapatkan rumah atau apartemen tersebut. Tulisan berikut disajikan berangkat
dari pengalaman saya berburu rumah sewaan di Belanda selama ini.
1. Kerkstraat,
Hoogkerk, Groningen (Maret – September 2010)
Saya awali dengan rumah saya
dahulu yang terletak di Kerkstraat, wilayah Hoogkerk di pinggiran Kota Groningen.
Rumah ini adalah yang pertama saya tempati di Belanda. Rumah berupa studio ini dipatok
dengan harga sewa 665 Euro dengan fasilitasnya yang ‘inklusif’ atau lengkap
dengan segala furnitur dan perabot, serta ditanggung ongkos pemakaian listrik,
air dan gasnya. Saya menyewa rumah tersebut melalui perantaraan sebuah agen
bernama Housing Office (silakan
ditelusuri pada web ini: http://www.housingoffice.nl/), yang saat itu menjadi semacam rekanan
University of Groningen, untuk mempermudah para mahasiswa asing mendapatkan akomodasi
di Groningen. Transaksi sewa menyewanya dilakukan secara online sebelum kedatangan saya di Groningen. Setelah registrasi dilakukan,
pihak agen menawarkan opsi akomodasi yang bisa saya tempati melalui e-mail. Tentu saja, dengan cara ini kita
tidak bisa melihat secara langsung akomodasi yang ditawarkan, kecuali dari
sejumlah foto yang dilampirkan dalam e-mail.
Selain itu, negosiasi dengan agen juga tidak bisa dilakukan secara intens,
termasuk menawar alternatif akomodasi bila kita kurang setuju dengan opsi yang
diberikan.
Dalam kasus saya, agen hanya memberikan satu pilihan akomodasi dan
menyatakan tidak opsi lain, alias jika saya tidak mengambil tawaran itu, maka
tidak ada lagi alternatif akomodasi bagi saya. Karena waktu keberangkatan ke
Belanda yang sudah sangat mendesak serta terbatasnya informasi alternatif
akomodasi yang saya peroleh, pilihan pada rumah tersebut akhirnya saya jatuhkan.
Selain itu, keputusan saya untuk langsung membawa keluarga ke Groningen, juga
memupuskan pilihan menumpang di rumah kenalan di kota tersebut. Pembayaran uang
sewa bulan pertama harus dilakukan sebelum hari kedatangan saya di Belanda,
yakni dengan cara mentransfer sejumlah uang melalui salah satu bank di
Indonesia kepada rekening agen tersebut. Jumlah yang harus ditransfer pun
banyak untuk ukuran tabungan saya. Selain terkena imbas nilai tukar Rupiah ke
Euro yang cukup tinggi, saya juga diharuskan membayar deposit sebagai jaminan
selama saya mendiami rumah tersebut. Nilai deposit yang dibayarkan sama dengan
satu bulan sewa rumah dan akan dikembalikan utuh apabila tidak ada kerusakan
atas rumah maupun perabot-perabot di dalamnya. Di Kerkstraat inilah rumah
pertama di Belanda, dengan jarak kurang lebih enam kilometer dari University of
Groningen dan pusat kota (centrum) serta
kondisi rumah yang relatif kurang bersih. Kira-kira enam bulan lamanya saya
mendiami studio yang hanya mempunyai satu kamar tersebut, hingga akhirnya saya mendapatkan
rumah baru di daerah Lewenborg, Groningen.
2. Kajuit,
Lewenborg, Groningen (September 2010 – Maret 2011)
Berbeda dengan proses
sewa studio saya yang pertama di atas, rumah di daerah Lewenborg, Groningen ini
saya sewa setelah beberapa kali melakukan kontak langsung dengan agen rumah
tersebut. Agen rumah saya kali ini adalah MVGM (silakan cek di sini: http://www.mvgm.nl/), atau teman-teman saya menyebutnya dengan Meus. Posisi saya yang saat itu sudah berada
di Groningen sangat memudahkan dalam berkomunikasi sekaligus bernegosiasi
dengan agen. Untuk mendapatkannya, saya cukup melakukan registrasi dan
menjatuhkan pilihan lokasi rumah yang diinginkan. Selanjutnya, saya dimasukkan
dalam daftar tunggu untuk rumah-rumah atau apartemen di kawasan yang saya pilih
tersebut. Pilihan saya jatuh pada perumahan di kawasan Lewenborg karena
harganya yang paling rendah di antara daerah perumahan lain yang ditawarkan di
seputaran Kota Groningen. Selain itu, lokasinya yang tidak terlalu jauh dari
kampus (sekitar empat kilometer), kemudahan akses transportasi publik (bus kota
datang setiap 10 menit sekali), kedekatan lokasinya dengan pusat belanja
kebutuhan sehari-hari (winkelcentrum)
dan dokter keluarga (huisarts) serta adanya
beberapa teman yang sudah lebih dulu menghuni kawasan tersebut, juga menjadi
bahan pertimbangan saya.
Winkelcentrum di kawasan Lewenborg, Groningen |
Akhir
Juli 2010, pihak agen memberitahukan adanya rumah kosong di kawasan tersebut
pada bulan September tahun yang sama. Saya pun dipersilakan membuat janjian
dengan penyewa rumah saat itu untuk menengok keadaan rumah sebelum akhirnya
menjatuhkan pilihan ya atau tidak pada rumah yang ditawarkan. Jika saya bilang
tidak, maka nama saya akan dikembalikan pada daftar tunggu untuk diberi
penawaran rumah yang lain. Tidak perlu waktu lama, saya langsung menyatakan ya
setelah puas melihat kondisi rumah yang ditawarkan.
Rumah yang harga sewanya
sekitar 520 Euro per bulan ini tergolong besar, terdiri dari tiga lantai dan
mempunyai empat kamar tidur yang cukup luas, satu dapur, satu ruang tamu, dua
toilet, dua balkon serta sebuah garasi di lantai bawah. Saking besarnya, saya
pun bisa menyewakan kamar-kamar yang tersisa kepada beberapa mahasiswa
Indonesia yang sedang menjalani internship
atau studi di kota paling utara di Belanda ini. Meski demikian, saya tetap harus
merogoh kocek tambahan guna membayar tagihan listrik, air dan gasnya per bulan.
Dengan kata lain, jika tidak ingin boros, saya dan semua penghuni rumah ini
harus hemat dalam menggunakan air, listrik dan gas. Sayang, rumah yang banyak
meninggalkan kesan bagi saya ini harus saya tinggalkan sebelum masa sewa
minimumnya habis. Sesuai aturannya, saya diwajibkan menghuni rumah tersebut minimal
selama satu tahun. Karena sesuatu hal yang mengharuskan saya pulang ke
Indonesia, rumah yang baru saya huni sekitar tujuh bulan itu harus saya
kembalikan ke agen. Akibatnya, saya terkena penalty,
diharuskan membayar uang sebesar kurang lebih 400 Euro sebagai kompensasinya.
3. E. du
Perronlaan, Delft (September 2012)
Awal September 2012,
saya kembali lagi ke Belanda dan di alamat inilah saya tinggal untuk yang
pertama kalinya di Kota Delft. Inilah fasilitas akomodasi tersingkat yang pernah saya singgahi
di Belanda. Kali ini bukan sebuah rumah atau studio, namun sebuah kamar dengan
fasilitas dapur dan toilet bersama beberapa kawan dari Indonesia. Saya
mendapatkan kamar sewaan ini dengan harga yang terbilang murah untuk kota padat
seperti Delft, yakni hanya sekitar 300an Euro sebulan. Rumah ini sejatinya disewa oleh
kawan saya, sehingga status saya saat itu boleh dibilang adalah sub-tenant, penyewa dari seorang
penyewa.
![]() |
Apartemen di E. du Perronlaan, Delft. Kamar saya yang berada di lantai 13 membuat saya leluasa memandangi Delft dari gedung yang tinggi menjulang tersebut. |
Menjelang keberangkatan saya ke Delft untuk melanjutkan studi, yang
ada di benak saya adalah mencari kos-kosan yang murah, mengingat saya datang
sendiri tanpa keluarga dan dengan bekal beasiswa yang relatif kecil
dibandingkan standar gaji seorang promovendus
di Belanda. Untungnya, bekal pengalaman hidup di Groningen sebelumnya cukup
membuat saya merasa lebih berpengalaman dalam merencanakan kehidupan saya di
Delft. Lewat kawan saya, saya akhirnya mendapatkan kamar yang terletak di jalan
E. du Perronlaan, Delft. Lingkungannya cukup menyenangkan, tidak begitu jauh
dari kampus TU Delft dan kompleks perbelanjaan untuk kehidupan sehari-hari. Namun
sayang, rencana untuk tinggal lebih lama di ‘kos-kosan’ murah ini tidak berumur
panjang. Status sub-tenant membuat saya
tidak diperbolehkan melaporkan kedatangan saya ke Gemeente atau pemerintah Kota Delft, karena saya tidak mempunyai
bukti surat kontrak menyewa rumah atau kamar. Perlu untuk diketahui, lapor diri
ke Gemeente adalah prosedur wajib
bagi setiap warga atau mahasiswa asing yang baru saja datang di Belanda. Akhirnya,
setelah satu bulan menghuni kamar ini, saya hengkang dan mencari kamar baru untuk
saya tinggali.
4. Leeghwaterstraat, Delft
(Oktober 2012 – Mei 2013)
Tidak ingin berlama-lama dengan masalah
lapor diri ke Gemeente, saya segera
mencari kamar atau studio baru untuk saya tinggali di Kota Delft. Cara paling
cepat adalah menggunakan agen yang menjadi mitra kampus, DUWO namanya (silakan
cek di sini: https://www.duwo.nl/). Lewat proses yang mirip dengan saat saya mendapatkan
studio pertama di Groningen, saya akhirnya dapat menghuni studio kecil yang lokasinya
berada di belakang kampus TU Delft dengan harga 565 Euro per bulan. Lokasinya
sangat dekat dengan kampus TU Delft, cukup bersepeda lima menit saja untuk datang
ke kampus setiap harinya. Hanya saja,
akses menuju ke pusat kota (centrum)
dan tempat belanja kebutuhan sehari-hari harus ditempuh minimal 15 menit
bersepeda. Harga studio tersebut juga relatif mahal, tetapi fasilitas studio kubus
lima lantai yang saya tempati ini mirip sebuah mini-hotel: ada TV dengan channel melimpah, toilet dan dapur
sendiri, koneksi internet yang luar biasa cepat, serta garasi sepeda yang aman di
lantai dasar. Selain itu, berbagai perlengkapan seperti tempat tidur, matras,
meja kerja serta kursi santai juga bisa dinikmati. Ongkos listrik, air dan gas juga sudah
dimasukkan dalam harga sewa. Singkatnya, tinggal di studio semacam ini layaknya
singgah di hotel. Hanya saja, kontrak dengan DUWO maksimal satu tahun. Artinya,
bila tidak ada alasan kuat, sebelum masa satu tahun sewa berakhir, saya harus
segera pindah dari fasilitas akomodasi milik DUWO. Hanya 8 bulan lamanya saya
menempati studio ini sebelum akhirnya saya mendapatkan studio baru dengan harga
yang lebih murah.
![]() |
Bangunan student house yang unik dengan fasilitas ala mini-hotel di Delft. Letaknya berada di belakang kampus TU Delft, sehingga hanya cukup 5 menit saja untuk bersepeda menuju kampus. |
5. Hugo de
Grootstraat, Delft (Juni 2013 – Februari 2014)
Studio yang berlokasi di
dekat centrum dan stasiun Delft ini
saya dapatkan setelah beberapa kali berburu hunian di beberapa agen yang ada di
seputaran Kota Delft. Saya menemukannya dari agen atau makelaar yang bernama Homelets (silakan cek di sini: http://www.woonruimtedelft.nl/), yang letaknya berada di kawasan centrum
Delft. Harga yang ditawarkan memang cukup menggiurkan, hanya 450 Euro per
bulan, termasuk murah jika melihat fasilitasnya yang inklusif dan private (memiliki dapur dan toilet
sendiri di setiap studionya). Meski demikian, sesuai aturannya, saya diharuskan
membayar jasa agen sebesar satu kali sewa rumah plus deposit yang jumlah yang
sama.
![]() |
Harga sewanya murah saat saya menghuni studio ini, walaupun ruang kamarnya kurang melegakan. Lokasinya yang dekat dengan stasiun utama dan centrum Delft menjadi poin positif dari hunian ini. |
Orang Jawa
bilang, ono rego ono rupo. Ada harga,
ada bentuknya. Begitu kira-kira kalau saya terjemahkan. Harga sewa yang murah
harus dibayar dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding studio saya
sebelumnya di Leeghwaterstraat, Delft. Tidak ada fasilitas furnitur sehingga
saya harus membeli sendiri barang-barang seperti tempat tidur, sofa, kursi dan
peralatan dapur. Pun tidak ada garasi untuk menyimpan sepeda, sehingga sepeda
harus saya letakkan fasilitas parkir di pinggir jalan, tentu saja lengkap
dengan kunci besar untuk keamanannya. Tampaknya studio yang saya tempati ini dulunya
adalah sebuah rumah besar dengan lima kamar. Setiap kamar kemudian dimodifikasi
menjadi satu studio, sehingga bisa disewakan. Akibatnya, hampir tidak ada jarak
antar studio di alamat tersebut. Sesak, dan seringkali suara tetangga sebelah
terdengar hingga ke dalam studio saya. Kurang lebih sembilan bulan saya
mendiami studio ini, sebelum akhirnya pindah ke kota lain untuk tinggal di
rumah yang lebih besar dan memadai untuk hidup bersama istri dan anak saya.
6. Rotterdamsedijk,
Schiedam (Maret 2014- saat ini)
Dari Kota Delft, tempat
saya menjalani studi saya setiap harinya, Schiedam yang jaraknya kurang lebih
11 km bukanlah sebuah tempat yang dekat. Namun, kota inilah yang akhirnya saya
pilih sebagai tempat persinggahan saya hingga saat ini. Alasannya karena rumah
yang saya dapatkan harganya sesuai dengan dana beasiswa saya yang pas-pasan, yakni
666 Euro per bulan, tanpa ongkos listrik, air dan gas, namun ukurannya memadai
untuk hidup bersama keluarga. Berbeda dengan cara berburu sebelumnya, rumah di alamat
Rotterdamsedijk, Schiedam ini saya dapatkan setelah ‘mengambil-alih’ (take-over) sewa seorang kawan yang sudah
beberapa tahun sebelumnya menyewa rumah ini. Setelah tercapai kesepakatan
dengan kawan saya tadi, saya menghubungi agen yang menyewakan rumah ini
(Kroonenberg Groep, silakan cek di sini: http://www.kroonenberg.nl) untuk menjalani prosedur kontraknya. Seperti proses
sewa sebelumnya, saya juga berkesempatan mengunjungi rumah ini untuk melihat kondisi
rumah. Transaksi sewa rumah dilakukan melalui pos, dimana agen mengirimkan paket
berisi dokumen-dokumen kontrak sewa rumah tersebut kepada saya untuk dibaca dan
ditandatangani. Selanjutnya, dokumen-dokumen tersebut saya kirimkan kembali
kepada sang agen.
Model sewa rumah dengan cara take-over dari seorang kawan seperti ini menguntungkan, karena
biasanya kawan tersebut biasanya juga menjual, bahkan menghibahkan, perabot-perabot
rumahnya dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Dan tentu saja,
menghemat ongkos dan tenaga untuk pindahan. Meski harus mengeluarkan uang
tambahan untuk transportasi menuju Delft setiap harinya, letak rumah saya yang
berada di kawasan centrum Kota
Schiedam ini sangat strategis dan mudah dijangkau dengan berbagai alat
transportasi publik. Winkelcentrum
tempat membeli kebutuhan sehari-hari letaknya hanya di seberang rumah, berikut
dengan fasilitas bermain anak (playground)
di sekitarnya. Setiap 10 menit sekali, tram selalu berlalu lalang di depan
rumah, dengan rute menuju stasiun Rotterdam Centraal dan jantung kota
metropolitan di Belanda itu.
Demikian sekelumit
cerita tentang gampang susahnya berburu rumah sewaan di Belanda versi saya.
Tentu saja, para pembaca sekalian mempunyai pengalaman unik dan menarik lagi
mengesankan dalam berburu rumah sewaan di negeri kincir ini. Menutup tulisan
ini, berikut ada beberapa tips umum yang bisa saya bagikan kepada para pembaca
sekalian dalam berburu rumah sewaan di Belanda
- Pertimbangkan lokasi rumah dengan kampus, tempat kerja dan tempat-tempat penting lainnya. Meskipun transportasi di Belanda mudah dan bervariasi, ongkosnya tetap saja mahal. Sepeda memang bisa menjadi opsi sarana transportasi yang murah meriah, tetapi aktivitas-aktivitas berat, jarak yang jauh serta cuaca yang tidak mendukung seringkali membuat kita urung bersepeda dan akhirnya memilih menggunakan alat transportasi publik. Demikian juga jarak rumah dengan tempat berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari maupun sekolah anak bagi yang sudah berkeluarga, patut pula dipertimbangkan demi menghemat ongkos transportasi.
- Jika ada kawan yang menawarkan kontrak rumah atau apartemennya untuk diambil-alih (take-over), tidak ada salahnya kesempatan emas tersebut diambil, tentu saja selama ongkos sewa bulanannya sesuai dengan budget yang kita alokasikan. Cara seperti ini bisa menghemat beberapa ratus Euro karena biasanya memerlukan biaya tambahan untuk membayar agen atau makelaar.
- Pentingnya surat kontrak sewa rumah, kamar atau apartemen. Surat kontrak diperlukan saat kita melaporkan diri ke Gemeente atau pemerintah kota setempat pada saat kita datang pertama kali di Belanda atau menempati hunian baru. Sehingga, upayakan menyewa rumah lewat jalur resmi, agar kita mendapatkan surat kontrak yang dimaksud. Opsi untuk menjadi sub-tenant memang murah, tetapi resikonya kita tidak dapat melakukan registrasi ke Gemeente.
- Pertimbangkan suasana rumah. Rumah atau kamar yang pengap, tidak mempunyai ventilator di dapur dan toilet, serta sesak tata ruangnya, rasanya kurang nyaman dan sehat untuk dihuni. Konfigurasi ruang yang sempit juga memperbesar potensi konflik dengan tetangga, karena kegaduhan kecil di satu ruang atau studio dapat merembet dengan cepat ke ruang yang lain.
- Private maupun sharing itu pilihan. Suka dengan fasilitas private, tentu saja harus rela membayar harga sewa yang lebih tinggi. Sebaliknya, ingin kamar dengan harga sewa super murah, tentu yang mempunyai fasilitas sharing yang hampir selalu didapat. Oleh karenanya, pertimbangkan pilihan apakah private atau sharing. Sesuaikan pilihan ini dengan pola kerja dan kehidupan pribadi. Jika justru merasa terganggu dengan aktivitas teman satu apartemen, maka tidak ada salahnya menyewa rumah atau kamar dengan fasilitas private.
- Bersihkan rumah dan persiapkan seperti sedia kala menjelang inspeksi akhir. Inspeksi akhir selalu dilakukan oleh agen manakala kita akan mengakhiri kontrak sewa rumah. Agen biasanya cukup teliti melihat keadaan rumah dan perabot-perabot yang disewakan (jika inklusif). Jika ada kerusakan, agen akan menarik biaya perbaikan dari deposit yang kita bayarkan saat kontrak sewa dibuat. Oleh karenanya, saat akan menyewa rumah atau masa-masa awal tinggal di rumah tersebut, ada baiknya kita mencatat semua hal terkait keadaan fisik rumah. Jika perlu ambillah foto setiap bagian rumah yang sudah rusak saat kita memasukinya. Catatan dan foto-foto ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa kita tidak merusak fasilitas yang disewakan manakala agen menanyakan hal ini.
Akhir kata, selamat berburu!