Kamis, 21 Agustus 2014

Gampang Susah Berburu Rumah Sewaan di Belanda

Boleh jadi menyewa rumah di negara tujuan studi adalah agenda utama yang harus disiapkan begitu kita mendapatkan approval untuk datang dan memulai studi di luar negeri. Tak terkecuali bagi yang akan datang untuk studi di Belanda. Berburu rumah, kamar maupun apartemen seawal mungkin wajib dilakukan agar kita tidak terkatung-katung saat pertama kali menginjakkan kaki di negeri Orange ini. Meski ada agen atau makelaar yang membantu memberikan pilihan, urusan akomodasi di Belanda tidak bisa digampangkan begitu saja. Banyak hal yang harus disiapkan dan membutuhkan perhatian khusus.

Jika dihitung sejak awal singgah di Belanda awal tahun 2010 lalu hingga saat tulisan ini diangkat (dengan masa jeda kembali ke Indonesia selama 1,5 tahun antara tahun 2011-2012), sudah enam kali saya berpindah dari satu rumah ke rumah sewaan yang lain. Setiap kali pindah rumah, saya selalu mendapatkan pengalaman baru, terutama cara yang harus tempuh untuk mendapatkan rumah atau apartemen tersebut. Tulisan berikut disajikan berangkat dari pengalaman saya berburu rumah sewaan di Belanda selama ini.

1. Kerkstraat, Hoogkerk, Groningen (Maret – September 2010)
Saya awali dengan rumah saya dahulu yang terletak di Kerkstraat, wilayah Hoogkerk di pinggiran Kota Groningen. Rumah ini adalah yang pertama saya tempati di Belanda. Rumah berupa studio ini dipatok dengan harga sewa 665 Euro dengan fasilitasnya yang ‘inklusif’ atau lengkap dengan segala furnitur dan perabot, serta ditanggung ongkos pemakaian listrik, air dan gasnya. Saya menyewa rumah tersebut melalui perantaraan sebuah agen bernama Housing Office (silakan ditelusuri pada web ini: http://www.housingoffice.nl/), yang saat itu menjadi semacam rekanan University of Groningen, untuk mempermudah para mahasiswa asing mendapatkan akomodasi di Groningen. Transaksi sewa menyewanya dilakukan secara online sebelum kedatangan saya di Groningen. Setelah registrasi dilakukan, pihak agen menawarkan opsi akomodasi yang bisa saya tempati melalui e-mail. Tentu saja, dengan cara ini kita tidak bisa melihat secara langsung akomodasi yang ditawarkan, kecuali dari sejumlah foto yang dilampirkan dalam e-mail. Selain itu, negosiasi dengan agen juga tidak bisa dilakukan secara intens, termasuk menawar alternatif akomodasi bila kita kurang setuju dengan opsi yang diberikan. 

Kawasan hunian di Kerkstraat, Hoogkerk, Groningen (Foto: Google Maps)
Dalam kasus saya, agen hanya memberikan satu pilihan akomodasi dan menyatakan tidak opsi lain, alias jika saya tidak mengambil tawaran itu, maka tidak ada lagi alternatif akomodasi bagi saya. Karena waktu keberangkatan ke Belanda yang sudah sangat mendesak serta terbatasnya informasi alternatif akomodasi yang saya peroleh, pilihan pada rumah tersebut akhirnya saya jatuhkan. Selain itu, keputusan saya untuk langsung membawa keluarga ke Groningen, juga memupuskan pilihan menumpang di rumah kenalan di kota tersebut. Pembayaran uang sewa bulan pertama harus dilakukan sebelum hari kedatangan saya di Belanda, yakni dengan cara mentransfer sejumlah uang melalui salah satu bank di Indonesia kepada rekening agen tersebut. Jumlah yang harus ditransfer pun banyak untuk ukuran tabungan saya. Selain terkena imbas nilai tukar Rupiah ke Euro yang cukup tinggi, saya juga diharuskan membayar deposit sebagai jaminan selama saya mendiami rumah tersebut. Nilai deposit yang dibayarkan sama dengan satu bulan sewa rumah dan akan dikembalikan utuh apabila tidak ada kerusakan atas rumah maupun perabot-perabot di dalamnya. Di Kerkstraat inilah rumah pertama di Belanda, dengan jarak kurang lebih enam kilometer dari University of Groningen dan pusat kota (centrum) serta kondisi rumah yang relatif kurang bersih. Kira-kira enam bulan lamanya saya mendiami studio yang hanya mempunyai satu kamar tersebut, hingga akhirnya saya mendapatkan rumah baru di daerah Lewenborg, Groningen.

2. Kajuit, Lewenborg, Groningen (September 2010 – Maret 2011) 
Berbeda dengan proses sewa studio saya yang pertama di atas, rumah di daerah Lewenborg, Groningen ini saya sewa setelah beberapa kali melakukan kontak langsung dengan agen rumah tersebut. Agen rumah saya kali ini adalah MVGM (silakan cek di sini: http://www.mvgm.nl/), atau teman-teman saya menyebutnya dengan Meus. Posisi saya yang saat itu sudah berada di Groningen sangat memudahkan dalam berkomunikasi sekaligus bernegosiasi dengan agen. Untuk mendapatkannya, saya cukup melakukan registrasi dan menjatuhkan pilihan lokasi rumah yang diinginkan. Selanjutnya, saya dimasukkan dalam daftar tunggu untuk rumah-rumah atau apartemen di kawasan yang saya pilih tersebut. Pilihan saya jatuh pada perumahan di kawasan Lewenborg karena harganya yang paling rendah di antara daerah perumahan lain yang ditawarkan di seputaran Kota Groningen. Selain itu, lokasinya yang tidak terlalu jauh dari kampus (sekitar empat kilometer), kemudahan akses transportasi publik (bus kota datang setiap 10 menit sekali), kedekatan lokasinya dengan pusat belanja kebutuhan sehari-hari (winkelcentrum) dan dokter keluarga (huisarts) serta adanya beberapa teman yang sudah lebih dulu menghuni kawasan tersebut, juga menjadi bahan pertimbangan saya. 

Winkelcentrum di kawasan Lewenborg, Groningen
Akhir Juli 2010, pihak agen memberitahukan adanya rumah kosong di kawasan tersebut pada bulan September tahun yang sama. Saya pun dipersilakan membuat janjian dengan penyewa rumah saat itu untuk menengok keadaan rumah sebelum akhirnya menjatuhkan pilihan ya atau tidak pada rumah yang ditawarkan. Jika saya bilang tidak, maka nama saya akan dikembalikan pada daftar tunggu untuk diberi penawaran rumah yang lain. Tidak perlu waktu lama, saya langsung menyatakan ya setelah puas melihat kondisi rumah yang ditawarkan. 
 
Jalan di depan rumah saya saat di Kajuit, Groningen. Rumah saya saat itu berada di deretan sebelah kiri paling dekat dengan pembaca. Bangunan rumah di depannya adalah kompleks hunian dan klinik dokter keluarga (huisarts). Ujung jalan ini terhubung dengan winkelcentrum Lewenborg.
Rumah yang harga sewanya sekitar 520 Euro per bulan ini tergolong besar, terdiri dari tiga lantai dan mempunyai empat kamar tidur yang cukup luas, satu dapur, satu ruang tamu, dua toilet, dua balkon serta sebuah garasi di lantai bawah. Saking besarnya, saya pun bisa menyewakan kamar-kamar yang tersisa kepada beberapa mahasiswa Indonesia yang sedang menjalani internship atau studi di kota paling utara di Belanda ini. Meski demikian, saya tetap harus merogoh kocek tambahan guna membayar tagihan listrik, air dan gasnya per bulan. Dengan kata lain, jika tidak ingin boros, saya dan semua penghuni rumah ini harus hemat dalam menggunakan air, listrik dan gas. Sayang, rumah yang banyak meninggalkan kesan bagi saya ini harus saya tinggalkan sebelum masa sewa minimumnya habis. Sesuai aturannya, saya diwajibkan menghuni rumah tersebut minimal selama satu tahun. Karena sesuatu hal yang mengharuskan saya pulang ke Indonesia, rumah yang baru saya huni sekitar tujuh bulan itu harus saya kembalikan ke agen. Akibatnya, saya terkena penalty, diharuskan membayar uang sebesar kurang lebih 400 Euro sebagai kompensasinya.

3. E. du Perronlaan, Delft (September 2012)
Awal September 2012, saya kembali lagi ke Belanda dan di alamat inilah saya tinggal untuk yang pertama kalinya di Kota Delft. Inilah fasilitas akomodasi tersingkat yang pernah saya singgahi di Belanda. Kali ini bukan sebuah rumah atau studio, namun sebuah kamar dengan fasilitas dapur dan toilet bersama beberapa kawan dari Indonesia. Saya mendapatkan kamar sewaan ini dengan harga yang terbilang murah untuk kota padat seperti Delft, yakni hanya sekitar 300an Euro sebulan. Rumah ini sejatinya disewa oleh kawan saya, sehingga status saya saat itu boleh dibilang adalah sub-tenant, penyewa dari seorang penyewa. 
 
Apartemen di E. du Perronlaan, Delft. Kamar saya yang berada di lantai 13 membuat saya leluasa memandangi Delft dari gedung yang tinggi menjulang tersebut.
Menjelang keberangkatan saya ke Delft untuk melanjutkan studi, yang ada di benak saya adalah mencari kos-kosan yang murah, mengingat saya datang sendiri tanpa keluarga dan dengan bekal beasiswa yang relatif kecil dibandingkan standar gaji seorang promovendus di Belanda. Untungnya, bekal pengalaman hidup di Groningen sebelumnya cukup membuat saya merasa lebih berpengalaman dalam merencanakan kehidupan saya di Delft. Lewat kawan saya, saya akhirnya mendapatkan kamar yang terletak di jalan E. du Perronlaan, Delft. Lingkungannya cukup menyenangkan, tidak begitu jauh dari kampus TU Delft dan kompleks perbelanjaan untuk kehidupan sehari-hari. Namun sayang, rencana untuk tinggal lebih lama di ‘kos-kosan’ murah ini tidak berumur panjang. Status sub-tenant membuat saya tidak diperbolehkan melaporkan kedatangan saya ke Gemeente atau pemerintah Kota Delft, karena saya tidak mempunyai bukti surat kontrak menyewa rumah atau kamar. Perlu untuk diketahui, lapor diri ke Gemeente adalah prosedur wajib bagi setiap warga atau mahasiswa asing yang baru saja datang di Belanda. Akhirnya, setelah satu bulan menghuni kamar ini, saya hengkang dan mencari kamar baru untuk saya tinggali.

4. Leeghwaterstraat, Delft (Oktober 2012 – Mei 2013)
Tidak ingin berlama-lama dengan masalah lapor diri ke Gemeente, saya segera mencari kamar atau studio baru untuk saya tinggali di Kota Delft. Cara paling cepat adalah menggunakan agen yang menjadi mitra kampus, DUWO namanya (silakan cek di sini: https://www.duwo.nl/). Lewat proses yang mirip dengan saat saya mendapatkan studio pertama di Groningen, saya akhirnya dapat menghuni studio kecil yang lokasinya berada di belakang kampus TU Delft dengan harga 565 Euro per bulan. Lokasinya sangat dekat dengan kampus TU Delft, cukup bersepeda lima menit saja untuk datang ke kampus setiap harinya. Hanya saja, akses menuju ke pusat kota (centrum) dan tempat belanja kebutuhan sehari-hari harus ditempuh minimal 15 menit bersepeda. Harga studio tersebut juga relatif mahal, tetapi fasilitas studio kubus lima lantai yang saya tempati ini mirip sebuah mini-hotel: ada TV dengan channel melimpah, toilet dan dapur sendiri, koneksi internet yang luar biasa cepat, serta garasi sepeda yang aman di lantai dasar. Selain itu, berbagai perlengkapan seperti tempat tidur, matras, meja kerja serta kursi santai juga bisa dinikmati. Ongkos listrik, air dan gas juga sudah dimasukkan dalam harga sewa. Singkatnya, tinggal di studio semacam ini layaknya singgah di hotel. Hanya saja, kontrak dengan DUWO maksimal satu tahun. Artinya, bila tidak ada alasan kuat, sebelum masa satu tahun sewa berakhir, saya harus segera pindah dari fasilitas akomodasi milik DUWO. Hanya 8 bulan lamanya saya menempati studio ini sebelum akhirnya saya mendapatkan studio baru dengan harga yang lebih murah.
Bangunan student house yang unik dengan fasilitas ala mini-hotel di Delft. Letaknya berada di belakang kampus TU Delft, sehingga hanya cukup 5 menit saja untuk bersepeda menuju kampus.

5. Hugo de Grootstraat, Delft (Juni 2013 – Februari 2014) 
Studio yang berlokasi di dekat centrum dan stasiun Delft ini saya dapatkan setelah beberapa kali berburu hunian di beberapa agen yang ada di seputaran Kota Delft. Saya menemukannya dari agen atau makelaar yang bernama Homelets (silakan cek di sini: http://www.woonruimtedelft.nl/), yang letaknya berada di kawasan centrum Delft. Harga yang ditawarkan memang cukup menggiurkan, hanya 450 Euro per bulan, termasuk murah jika melihat fasilitasnya yang inklusif dan private (memiliki dapur dan toilet sendiri di setiap studionya). Meski demikian, sesuai aturannya, saya diharuskan membayar jasa agen sebesar satu kali sewa rumah plus deposit yang jumlah yang sama.  
 
Harga sewanya murah saat saya menghuni studio ini, walaupun ruang kamarnya kurang melegakan. Lokasinya yang dekat dengan stasiun utama dan centrum Delft menjadi poin positif dari hunian ini.
Orang Jawa bilang, ono rego ono rupo. Ada harga, ada bentuknya. Begitu kira-kira kalau saya terjemahkan. Harga sewa yang murah harus dibayar dengan fasilitas yang kurang lengkap dibanding studio saya sebelumnya di Leeghwaterstraat, Delft. Tidak ada fasilitas furnitur sehingga saya harus membeli sendiri barang-barang seperti tempat tidur, sofa, kursi dan peralatan dapur. Pun tidak ada garasi untuk menyimpan sepeda, sehingga sepeda harus saya letakkan fasilitas parkir di pinggir jalan, tentu saja lengkap dengan kunci besar untuk keamanannya. Tampaknya studio yang saya tempati ini dulunya adalah sebuah rumah besar dengan lima kamar. Setiap kamar kemudian dimodifikasi menjadi satu studio, sehingga bisa disewakan. Akibatnya, hampir tidak ada jarak antar studio di alamat tersebut. Sesak, dan seringkali suara tetangga sebelah terdengar hingga ke dalam studio saya. Kurang lebih sembilan bulan saya mendiami studio ini, sebelum akhirnya pindah ke kota lain untuk tinggal di rumah yang lebih besar dan memadai untuk hidup bersama istri dan anak saya.

Jalan di depan studio saya di Hugo de Grootstraat. Tidak adanya fasilitas garasi memaksa saya memarkir sepeda di fasilitas publik di pinggir jalan, tentu saja dengan kunci yang kuat untuk menangkal aksi pencurian sepeda.

6. Rotterdamsedijk, Schiedam (Maret 2014- saat ini)
Dari Kota Delft, tempat saya menjalani studi saya setiap harinya, Schiedam yang jaraknya kurang lebih 11 km bukanlah sebuah tempat yang dekat. Namun, kota inilah yang akhirnya saya pilih sebagai tempat persinggahan saya hingga saat ini. Alasannya karena rumah yang saya dapatkan harganya sesuai dengan dana beasiswa saya yang pas-pasan, yakni 666 Euro per bulan, tanpa ongkos listrik, air dan gas, namun ukurannya memadai untuk hidup bersama keluarga. Berbeda dengan cara berburu sebelumnya, rumah di alamat Rotterdamsedijk, Schiedam ini saya dapatkan setelah ‘mengambil-alih’ (take-over) sewa seorang kawan yang sudah beberapa tahun sebelumnya menyewa rumah ini. Setelah tercapai kesepakatan dengan kawan saya tadi, saya menghubungi agen yang menyewakan rumah ini (Kroonenberg Groep, silakan cek di sini: http://www.kroonenberg.nl) untuk menjalani prosedur kontraknya. Seperti proses sewa sebelumnya, saya juga berkesempatan mengunjungi rumah ini untuk melihat kondisi rumah. Transaksi sewa rumah dilakukan melalui pos, dimana agen mengirimkan paket berisi dokumen-dokumen kontrak sewa rumah tersebut kepada saya untuk dibaca dan ditandatangani. Selanjutnya, dokumen-dokumen tersebut saya kirimkan kembali kepada sang agen. 
 
Koemarkt, semacam square yang ada di depan rumah saya di Rotterdamsedijk, Schiedam. Tidak jauh dari tempat ini terdapat winkelcentrum, halte tram dan bus menuju Rotterdam dan kantor pemerintah Kota Schiedam.
Model sewa rumah dengan cara take-over dari seorang kawan seperti ini menguntungkan, karena biasanya kawan tersebut biasanya juga menjual, bahkan menghibahkan, perabot-perabot rumahnya dengan harga yang relatif murah dan terjangkau. Dan tentu saja, menghemat ongkos dan tenaga untuk pindahan. Meski harus mengeluarkan uang tambahan untuk transportasi menuju Delft setiap harinya, letak rumah saya yang berada di kawasan centrum Kota Schiedam ini sangat strategis dan mudah dijangkau dengan berbagai alat transportasi publik. Winkelcentrum tempat membeli kebutuhan sehari-hari letaknya hanya di seberang rumah, berikut dengan fasilitas bermain anak (playground) di sekitarnya. Setiap 10 menit sekali, tram selalu berlalu lalang di depan rumah, dengan rute menuju stasiun Rotterdam Centraal dan jantung kota metropolitan di Belanda itu.

Demikian sekelumit cerita tentang gampang susahnya berburu rumah sewaan di Belanda versi saya. Tentu saja, para pembaca sekalian mempunyai pengalaman unik dan menarik lagi mengesankan dalam berburu rumah sewaan di negeri kincir ini. Menutup tulisan ini, berikut ada beberapa tips umum yang bisa saya bagikan kepada para pembaca sekalian dalam berburu rumah sewaan di Belanda

  1. Pertimbangkan lokasi rumah dengan kampus, tempat kerja dan tempat-tempat penting lainnya. Meskipun transportasi di Belanda mudah dan bervariasi, ongkosnya tetap saja mahal. Sepeda memang bisa menjadi opsi sarana transportasi yang murah meriah, tetapi aktivitas-aktivitas berat, jarak yang jauh serta cuaca yang tidak mendukung seringkali membuat kita urung bersepeda dan akhirnya memilih menggunakan alat transportasi publik. Demikian juga jarak rumah dengan tempat berbelanja untuk kebutuhan sehari-hari maupun sekolah anak bagi yang sudah berkeluarga, patut pula dipertimbangkan demi menghemat ongkos transportasi. 
  2. Jika ada kawan yang menawarkan kontrak rumah atau apartemennya untuk diambil-alih (take-over), tidak ada salahnya kesempatan emas tersebut diambil, tentu saja selama ongkos sewa bulanannya sesuai dengan budget yang kita alokasikan. Cara seperti ini bisa menghemat beberapa ratus Euro karena biasanya memerlukan biaya tambahan untuk membayar agen atau makelaar.
  3. Pentingnya surat kontrak sewa rumah, kamar atau apartemen. Surat kontrak diperlukan saat kita melaporkan diri ke Gemeente atau pemerintah kota setempat pada saat kita datang pertama kali di Belanda atau menempati hunian baru. Sehingga, upayakan menyewa rumah lewat jalur resmi, agar kita mendapatkan surat kontrak yang dimaksud. Opsi untuk menjadi sub-tenant memang murah, tetapi resikonya kita tidak dapat melakukan registrasi ke Gemeente.
  4. Pertimbangkan suasana rumah. Rumah atau kamar yang pengap, tidak mempunyai ventilator di dapur dan toilet, serta sesak tata ruangnya, rasanya kurang nyaman dan sehat untuk dihuni. Konfigurasi ruang yang sempit juga memperbesar potensi konflik dengan tetangga, karena kegaduhan kecil di satu ruang atau studio dapat merembet dengan cepat ke ruang yang lain.
  5. Private maupun sharing itu pilihan. Suka dengan fasilitas private, tentu saja harus rela membayar harga sewa yang lebih tinggi. Sebaliknya, ingin kamar dengan harga sewa super murah, tentu yang mempunyai fasilitas sharing yang hampir selalu didapat. Oleh karenanya, pertimbangkan pilihan apakah private atau sharing. Sesuaikan pilihan ini dengan pola kerja dan kehidupan pribadi. Jika justru merasa terganggu dengan aktivitas teman satu apartemen, maka tidak ada salahnya menyewa rumah atau kamar dengan fasilitas private.
  6. Bersihkan rumah dan persiapkan seperti sedia kala menjelang inspeksi akhir. Inspeksi akhir selalu dilakukan oleh agen manakala kita akan mengakhiri kontrak sewa rumah. Agen biasanya cukup teliti melihat keadaan rumah dan perabot-perabot yang disewakan (jika inklusif). Jika ada kerusakan, agen akan menarik biaya perbaikan dari deposit yang kita bayarkan saat kontrak sewa dibuat. Oleh karenanya, saat akan menyewa rumah atau masa-masa awal tinggal di rumah tersebut, ada baiknya kita mencatat semua hal terkait keadaan fisik rumah. Jika perlu ambillah foto setiap bagian rumah yang sudah rusak saat kita memasukinya. Catatan dan foto-foto ini dapat digunakan sebagai bukti bahwa kita tidak merusak fasilitas yang disewakan manakala agen menanyakan hal ini. 

Akhir kata, selamat berburu!