Selasa, 30 Januari 2018

Kekhilafan di Akhir Tahun

Akhir tahun 2009 mungkin adalah salah satu masa yang sulit saya lupakan. Awal Desember tahun itu, secara mengejutkan, saya mendapatkan sebuah anugerah yang sangat saya syukuri. Saya diterima untuk sekolah lagi, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di sebuah universitas di Belanda, University of Groningen. Senang sekali. Bagaimana tidak? Waktu itu, saya boleh dibilang sudah berangan-angan panjang untuk meneruskan studi di Barat. Alasannya segudang. Tetapi, salah satu yang paling mewakili adalah, ya saya memang ingin ke sana. Itu saja.
Academiegebouw, gedung utama bernuansa klasik dari University of Groningen. Di tempat inilah para mahasiswa S3 universitas ini mempertahankan disertasinya, sebagai pungkasan dari pendidikan doktoralnya.
Di akhir November 2009, saya sempat diundang untuk mengikuti tes wawancara dengan calon pembimbing di University of Groningen. Momen ini juga istimewa sekali. Tak terbayangkan sebelumnya, saya bisa terbang ke Groningen sendiri, tanpa keluar biaya besar untuk membayar tiket dan penginapan di hotel, karena semuanya sudah ditanggung oleh pihak universitas. Singkat kata, saya hanya perlu membawa badan dan perbekalan saya selama dua hari saja di sana. Kenyataannya, saya harus tinggal sehari lebih lama dengan ongkos menginap tambahan yang dibayar sendiri. Namun tetap saja ongkos untuk itu tak terlalu besar. Sesi wawancaranya pun hanya memakan waktu tiga jam saja. Cukup singkat bukan? Hingga akhirnya, di awal Desember di tahun yang sama, sebuah surat elektronik dikirimkan oleh salah satu calon pembimbing di universitas paling utara di Belanda itu. Intinya, saya diterima untuk studi di sana mulai awal tahun 2010.
Kesenangan meluap-luap, hingga terkabarkan pula berita menggembirakan ini kepada kawan-kawan di kampus di Jogja. Ucapan selamat berdatangan. Juga, ucapan agar semoga lancar dan lekas kembali ke tanah air lagi. Di antara hujan pujian itu, muncullah khilaf saya. Sombong saya perlahan tapi pasti merangkak, menjalar menutupi kerendahan hati saya yang seharusnya tetap terjaga.
Sembari mengucapkan selamat, seorang kawan baik saya berujar, “Selamat, Pak. Semoga lancar dan segera lulus sebelum empat tahun.” Empat tahun adalah masa studi yang diberikan untuk para mahasiswa S3 di universitas-universitas di Belanda untuk menyelesaikan proyek penelitian yang dikerjakan untuk meraih titel doktornya. Secara spontan saya menjawab, “Terima kasih, Pak. Wah, kalau lulus kurang dari empat tahun, saya pasti akan tinggal dulu di sana sampai selesai empat tahun, Pak, hehehee… Lumayan dapat gaji yang besar, Pak.” Bagi kawan saya tadi mungkin ucapan saya itu tidak bermasalah baginya. Tetapi, saya ingat betul, ketika membalas ucapan kawan saya tadi, tak sengaja terbesit rasa tinggi hati dalam diri saya. Saya sudah merasa paling wah, paling hebat, karena diterima di universitas besar, yang tidak semua kawan bisa memasukinya. Saya merasa yakin bisa lulus kurang dari empat tahun. Padahal, getaran nurani saya berkata bahwa seharusnya kata-kata itu tak perlu diucapkan. Cukuplah bilang terima kasih atas dukungan dan doanya. Seharusnya tetap rendah hati.
Waktu berlalu. Tahun berganti. Dan saya pun akhirnya menjalani rutinitas sebagai mahasiswa di University of Groningen di tahun setelahnya. Ucapan sombong saya tadi lama-lama terkubur oleh waktu, terlupakan karena kencangnya putaran jarum detik yang mengganti masa. Rupanya, Dia Yang Maha Besar menyentil saya karena ucapan di akhir tahun 2009 itu. Kejadian demi kejadian selama hampir satu tahun pertama mengerucut pada situasi yang mungkin paling sulit di sepanjang karir akademik saya selama itu. Awal tahun 2011, saya ‘divonis’ gagal mengikuti probation period, atau masa ujicoba sebagai mahasiswa S3 di tahun pertama di universitas Groningen tersebut. Istilah populernya, No Go. Saya harus menerima kenyataan bahwa saya diberhentikan dengan hormat, lantaran dianggap tidak bisa memenuhi kriteria ‘mampu’ mengikuti pendidikan doktoral di universitas tersebut. Ini berarti bahwa saya tidak diperbolehkan meneruskan proyek penelitian yang dikerjakan di tahun selanjutnya. Banyak catatan yang diberikan oleh pembimbing saya waktu itu, termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang kacau balau dan ketidakmampuan saya untuk memenuhi target-target penelitian yang telah digariskan. Saya harus pulang ke Indonesia tanpa hasil, walaupun beberapa pekerjaan yang telah saya lakukan dalam kurun waktu setahun itu tetap diapresiasi.
Inilah sentilan kecil dariNya, atas kecongkakan yang pernah saya perbuat. Namun, sentilan tersebut luar biasa, menyadarkan saya atas khilaf yang diperbuat. Setahu saya, sangat jarang ditemui seorang kandidat doktor di Belanda bisa menyelesaikan studinya dalam waktu kurang dari empat tahun. Para mahasiswa cemerlang yang pernah saya kenal pun umumnya menghabiskan waktu lebih dari itu. Jadi, saya merasa overconfidence waktu itu, terlalu percaya diri, hingga akhirnya harus tertelungkup pada lumpur dosa kecongkakan saya sendiri.
Inilah pelajaran berharga untuk saya. Bisa percaya diri mengatakan saya bisa lulus sekian tahun dalam hati -dan tanpa merasa paling hebat- mungkin tak akan menjadi masalah, karena bisa jadi hal itu adalah target pribadi yang menjadi motivasi bekerja atau belajar seseorang. Tetapi mengucapkannya dengan congkak di hadapan orang lain -meski seringkali tak disadari- adalah sebuah kekhilafan. Pengalaman saya lho ya, hihihii…