Selasa, 27 Februari 2018

Setetes Semangat di Pagi Buta

Jarum jam menunjuk waktu jam dua. Waktu itu, dini hari, medio Februari 2009. Aku masih duduk masyuk di belakang meja kerja di rumah. Jemari kedua tangan ini masih aktif menari di atas papan ketik laptop berwarna perak yang kubeli tiga tahun sebelumnya. Cukup banyak untaian kata yang aku rajut malam itu. Sesekali mataku melirik ke arah paper-paper ilmiah yang berserakan di sebelah laptop. Seakan mereka itulah yang menjadi rekan kerjaku malam itu. Mata ini sebenarnya sudah mengantuk. Lengan ini sebenarnya sudah pegal. Badan ini sebenarnya sudah lelah. Tetapi, apa boleh buat. Sebuah proposal penelitian harus diselesaikan dan dikirimkan esok hari. Dan, pagi harinya, draft proposal tersebut harus sudah kukirimkan terlebih dahulu kepada seorang kolega yang juga mentorku dalam belajar penelitian saat itu. Malam itu, aku yakin sepenuh hati, bahwa draft proposal itu pasti bisa kuselesaikan dalam hitungan beberapa menit lagi.

Benar saja. Hampir pukul 2:30 dini hari, selesai sudah draft proposal penelitian itu aku susun. Beberapa bagian sengaja kukosongkan karena akan diisi oleh kolegaku tadi. Kami berbagi tugas. Aku merancang konsep isi proposal, lalu memoles kata-katanya hingga tersusun semenarik mungkin. Sementara, kawanku memastikan teknis penelitian, rancang bangun alat serta rencana anggarannya. Sebenarnya, malam itu sudah menjadi malam yang kesekian kalinya kami bekerja menerabas pagi buta. Sebelumnya, kami juga meluangkan waktu malam kami untuk menyelesaikan proposal-proposal yang akan diajukan pada tahun itu. Kami bekerja, dalam satu tim.

Ada pula kawanku yang lain yang juga menjadi anggota tim. Mereka memang tidak turut langsung menulis proposal tersebut. Tetapi, mereka membantu memberikan masukan dan memoles gagasan-gagasan yang nantinya dituangkan dalam proposal-proposal penelitian itu. Harapan kami sama; kami bisa mendapatkan kucuran dana segar untuk beberapa proyek penelitian yang sudah kami angan-angankan di awal tahun itu. Akhirnya, di suatu pagi buta itulah, tercatat kami telah merampungkan tiga buah proposal penelitian dalam kurun waktu dua minggu.

Selang beberapa minggu, satu per satu hasil seleksi proposal penelitian yang diterima untuk mendapatkan hibah dana penelitian pun diumumkan. Alhamdulillah, semua proposal yang kami ajukan lolos dan diterima. Kami mendapatkan hibah dana penelitian. Sejak itulah, grup riset kami menjadi semakin intens mengerjakan penelitian. Memang, hibah dana penelitian tidak serta merta turun begitu proposal diterima. Kami masih harus bersabar, sehingga beberapa agenda untuk membeli peralatan pun harus ditunda. Meski begitu, kami tidak gentar. Apapun kami lakukan untuk memulai rangkaian perjalanan panjang penelitian grup riset kami. Peralatan dan material seadanya kami pergunakan. Kami tahu, fasilitas laboratorium yang ada di departemen dan universitas kami, bahkan di Indonesia secara keseluruhan, memang tidak selengkap dan secanggih fasilitas yang ada di banyak universitas di negara-negara maju di sana. Namun, kami tak punya jalan lain. Mimpi kami menjulang tinggi. Kami ingin mempunyai grup riset yang berkelas dunia. Grup riset yang menghasilkan produk-produk penelitian yang paripurna. Dan yang jelas, grup riset yang mampu memberikan sumbangsih publikasi ilmiah di jurnal internasional yang bergengsi, sekalipun untuk semua itu kami harus melakukannya dalam keadaan dan fasilitas yang serba terbatas. Itulah mimpi kami. Mimpi para dosen-dosen muda yang ingin membawa nama universitas kami ke kancah internasional.

Barangkali, mimpi kami itu memang kelewat tidak masuk akal bagi sebagian orang; berlebihan. Kami pernah berhadapan dengan tim reviewer nasional yang menilai proposal yang kami ajukan di tahun 2009 itu juga. Yang kami hadapi, mungkin bukan orang sembarangan. Mereka, waktu itu dua orang, adalah reviewer kaliber nasional yang pastinya sudah dikenal di kancah penelitian di Indonesia. Kompetitor kami juga bukan sembarang orang. Salah satunya adalah grup riset yang terdiri dari beberapa senior kami yang ada di kampus. Mereka sudah malang melintang di dunia penelitian, juga berpengalaman mendapatkan dana-dana hibah penelitian. Kami hanyalah secuil dosen-dosen muda, yang diantaranya masih menyandang gelar S2 -termasuk aku, sehingga kemampuannya dalam melakukan penelitian mungkin masih diragukan. Namun, kami jalani saja semuanya tanpa ada rasa khawatir. Nothing to lose. Kami tidak berharap apa-apa. Bila ternyata proposal tersebut disetujui dan kami mendapatkan kucuran dana penelitian, ya bersyukurlah kami. Namun sebaliknya, bila ternyata tidak, it’s fine. Tak masalah.

Kami akan terus bekerja, meneliti dan berkarya lagi, karena kami memang menyukai aktivitas-aktivitas tersebut. Justru kami akan mendapat banyak pelajaran dari kegagalan itu. Di luar dugaan, ternyata justru proposal kami yang diterima. Rasa percaya diri kami satu tim mulai muncul, hingga menjadi bahan bakar positif yang memacu kami bergerak lebih bersemangat lagi.

Kami memang bekerja ekstra waktu itu, untuk memancangkan tonggak-tonggak alur riset grup kami. Tidak mudah. Selain menyelesaikan proposal kami, kadangkala di waktu dini hari aku terbangun untuk memulai menulis naskah publikasi. Jujur, aku bermimpi bisa mempublikasikan temuan-temuan di lab di jurnal internasional, dengan konfigurasi all Indonesian authors, sekalipun hal itu adalah pekerjaan yang sangat menantang dan berat. Juga, aku bermimpi bahwa menulis publikasi di jurnal internasional harus bisa kulakukan sebelum aku sekolah S3. Beberapa kali aku dan kolegaku bertualang ke Surabaya dan Bandung, mencari material-material spesifik yang akan digunakan dalam penelitian kami. Semua akhirnya berujung pada kepuasan. Meski jalan kami masih panjang, dan kami belum melihat garis finish hingga detik ini di akhir 2017. Namun, kami menyenangi pekerjaan ini.

Titik kulminasi usaha kami di tahun 2009 itu adalah terbentuknya grup riset kami yang bernama CIMEDs, singkatan dari Center for Innovation of Medical Equipment and Devices. Nama ini kami cetuskan di pertengahan Juni 2009, hanya beberapa jam sebelum kami mengirimkan naskah akhir untuk sebuah seminar internasional di Surabaya. Grup ini memang tidak formal, belum ada pengesahan secara resmi dari universitas maupun lembaga yang lebih tinggi. Tetapi, bagi kami, apalah artinya sebuah nama dan grup riset yang resmi kalau nihil karya yang ditelurkan darinya. Kami sudah cukup puas ketika nama CIMEDs akhirnya muncul di artikel-artikel yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional oleh penerbit bergengsi semacam Elsevier dan Springer.

Kawanku pernah berujar, waktu itu kami ini bekerja bak Bandung Bondowoso. Ia menyitir tokoh utama dalam cerita legenda Roro Jonggrang, yang harus bekerja keras membangun candi dalam semalam demi meminang Roro Jonggrang. Semangat di pagi buta. Mungkin itulah seikat kata yang menggambarkan bagaimana kami berusaha merealisasikan mimpi kami, hingga satu per satu kami bisa melihat hasilnya, sekalipun itu sedikit dan tidak selalu menggembirakan.