Sabtu, 11 April 2015

Geliat Pasar Tradisional di Belanda

Jangan salah mengira, negara-negara Eropa Barat yang sudah maju seperti Belanda ternyata masih tetap menghargai keberadaan pasar tradisional. Pusat perbelanjaan semacam mal dan supermarket memang tersebar, terutama di kota-kota besar seperti Amsterdam, Den Haag dan Rotterdam. Meski demikian, pasar tradisional masih tetap eksis dan menggeliat, menjadi salah satu urat nadi dalam kehidupan ekonomi masyarakat di kota besar maupun kecil di Belanda.
Sebagai contoh, pasar tradisional yang berada di Kota Schiedam, kota kecil di sebelah barat Rotterdam. Setiap Jumat, pasar tradisional digelar di tanah lapang atau square di depan kantor pemerintah dan di pusat Kota Schiedam. Para pedagang sudah berdatangan dan menggelar dagangannya sejak pukul 8 pagi.
Pasar ‘Jumat’ yang digelar di depan kantor pemerintah Kota Schiedam
Para pedagang berdatangan menuju lokasi pasar dengan mobil niaga yang umumnya berbentuk van tertutup. Di belakangnya tergandeng ‘gerobak’ besar yang bisa diubah menjadi kios untuk menggelar dagangannya. Setelah ‘gerobak’ tadi diparkir di lokasi, van penariknya lantas pergi dan diparkir di tempat lain agar tidak menyita area pasar. Ada pula pedagang yang menggelar tenda untuk memayungi kios dan barang dagangan mereka.
Pasar tradisional di Kota Schiedam tetap eksis di antara supermarket dan minimarket, seperti Albert Heijn, Blokker, C&A, Kruidvat dan sebagainya, yang ada hampir di setiap kota di Belanda.
Berbagai komoditi dijajakan di pasar mingguan ini, mulai dari sayuran, buah-buahan, ikan, daging, pakaian, bunga hingga asesoris gadget. Harga jualnya umumnya lebih miring dibandingkan barang-barang serupa yang dijual di supermarket, sehingga bisa menghemat pengeluaran untuk belanja bulanan.
Di musim semi, bunga-bunga segar yang sedang mekar juga dijual di pasar ini.
Aktivitas jual beli ikan di salah satu kios pasar Kota Schiedam 
Aktivitas pasar berlangsung hingga sekitar pukul 3 atau 4 sore. Tidak berbeda dengan pasar tradisional di Indonesia, sampah sisa-sisa pasar pun bertebaran. Meski demikian, menjelang pasar ‘tutup’, dinas kebersihan kota sudah siap dengan armadanya untuk menggasak semua sampah dan mengangkutnya untuk dibawa ke tempat pengolahan sampah. 
Geliat pasar tradisional di negara maju seperti Belanda ini seakan mengingatkan bahwa tidak seharusnya pasar-pasar tradisional di Indonesia harus disisihkan keberadaannya. Menjamurnya mal, supermarket dan minimarket di Indonesia tetap harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pasar tradisional, baik secara fisik maupun manajemen pelayanannya. Sempat terpikir, tentu akan menarik jika pasar-pasar di kota-kota di Indonesia, yang notabene mempunyai sejarah panjang, dikelola dengan baik, direnovasi tanpa menghilangkan nilai historisnya, dijaga kebersihannya dan dibina pedagangnya agar masyarakat tetap atau malah semakin tertarik berbelanja di pasar tersebut. Hingga akhirnya, para pedagang di pasar-pasar tradisional ini tetap mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan taraf kehidupannya melalui aktivitas perekonomian yang dilakukannya, bukan lantas tersingkir oleh mal maupun segala bentuk pasar modern lainnya.

*Repost artikel Kompasiana, 11 April 2015

Sabtu, 04 April 2015

Bunga-bunga Kuning di Tepi Jalan

Sore itu, saat berjalan menuju gedung tempat saya ngampus, saya tidak sengaja bertemu dengan rumpunan bunga kuning yang tengah mekar di tepi jalan dan ‘danau’ yang berada persis di depan gedung kampus saya tadi. Setengah refleks, tangan kanan yang semula menelusup di saku lantas keluar sambil menggenggam ponsel dan jemari saya segera mencari fitur kamera untuk membidik rumpunan bunga tersebut.
Rumpunan bunga kuning di tepi jalan depan kampus saya

Krik, begitu kira-kira bunyi kamera ponsel saya. Tentu saja bunyinya tidaklah semantap kamera-kamera DSLR keluaran Nikon atau Canon yang selama ini saya idam-idamkan, tetapi belum juga kunjung tiba di genggaman, hehehe… Namun, saya cukup merasa puas dengan hasil jepretan kamera ponsel di genggaman saya tadi. Sembari menikmati sisa jalan yang tinggal beberapa meter saja, pikiran saya pun melayang, ingatan saya serasa digugah setelah melihat bunga-bunga kuning yang tertunduk tadi.

Delft, dua tahun lalu, di atas dua roda sepeda saya yang sudah setengah butut, saya menyeberang jalan Papsouwselaan, menuju sebuah area pertokoan di daerah Poptahof untuk membeli daging dan beberapa bahan makanan sebagai stok mingguan. Tak sengaja, saya melihat rumpunan bunga kuning di sekitar tempat tersebut. Bunga yang (mungkin) sama dengan apa yang saya lihat di depan gedung kampus. Seakan melesat turun dari langit, ilham menyusup dalam batin saya.
“Bagi kebanyakan orang, bunga-bunga kuning di tepi jalan ini (mungkin) diabaikan. Namanya saja tidak banyak yang tahu. Tidak seperti tulip, yang selalu dinantikan banyak orang di musim semi. Bahkan, setiap tahun di musim semi, orang berduyun-duyun menuju taman Keukenhoff untuk menikmati indahnya warna warni tulip yang sedang mekar. Namun, bunga-bunga jalanan ini, walau tertunduk membisu, tetap tegar menghiasi jalanan, membaur dengan lingkungan di sekitarnya. Mata yang memandangnya menjadi sejuk dan teduh oleh kuning mahkotanya, yang berpadu dengan birunya langit dan hijaunya rerumputan.”
Entah kejadian apa yang melatarbelakangi hingga saya terilhami oleh bunga-bunga kuning di tepi jalan tadi. Namun, hati kecil saya kemudian berkata dan mungkin inilah terjemahan dari ilham yang menyusup dalam batin saya tadi.

Seringkali kita tertipu dan diperdayai oleh yang namanya popularitas. Di zaman dimana media hampir menguasai seluruh lini kehidupan kita, rasanya mudah sekali kita terseret hasrat untuk ingin populer. Tidak usah jauh-jauh, adanya media sosial seperti facebook disadari atau tidak sering membuat kita ingin show of force, unjuk kehebatan kita, melalui foto maupun status yang kita unggah. Tentu, saya tidak ingin men-generalisir, bahwa media sosial itu buruk. Saya pun adalah pengguna media sosial yang tidak jarang juga terperosok jatuh ke dalam hasrat ingin populer dengannya. Beruntung, Dia Yang Maha Melindungi masih selalu mengingatkan saya, baik lewat nasehat orang- orang di sekeliling saya maupun ‘musibah’ yang kemudian saya alami. Semua itu kembali mengingatkan saya agar berhati-hati dalam ‘menunjukkan’ siapa saya dan mengunggah apapun dalam media sosial.

Bunga-bunga kuning yang sedang mekar dan saya temui di tepi jalan tadi seolah juga menasehati saya, bahwa tidak selalu perlu menjadi populer untuk bermanfaat dalam kehidupan di dunia ini. Saya yakin, bunga-bunga di tepi jalan depan kampus saya tadi tumbuh liar, artinya tidak secara sengaja ditanam oleh petugas taman di kampus. Bunga-bunga kuning itupun tidak setenar tulip, yang menjadi pusat perhatian saat musim semi tiba di Belanda. Berbondong-bondong orang berkunjung ke taman Keukenhoff yang terletak di Lisse, Belanda. Tulip memang cantik dan mempesona dan membuat teduh mata orang yang melihatnya, apalagi dengan warna-warni mahkotanya. Namun, bunga-bunga kuning di tepi jalan yang saya temui pun ternyata mampu membuat mata ini teduh memandangnya. Padahal, ia tumbuh sendiri dan liar.

Siapapun kita dan apapun pekerjaannya, kita tetap harus berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi kehidupan, walaupun kekecewaan tidak jarang menyertai. Sudah berusaha keras untuk yang terbaik, tetapi hasilnya tidak sebaik apa yang dicapai orang lain yang kita kagumi. Akhirnya kita pun merasa minder dan rendah diri. Kita memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang presiden, seorang milyuner, ataupun seorang ilmuwan hebat yang selalu dielu-elukan masyarakat luas dan profil serta ceritanya sering menghiasi koran, televisi maupun media sosial. Namun, rasanya kita semua pantas dan berhak untuk tetap berkontribusi dalam kehidupan, menebar inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita, meski itu adalah hal kecil. Mungkin kita bisa berprinsip seperti bunga-bunga kuning tadi; sering diabaikan, tidak populer dan tidak terkenal, namun tetap tegar berbuat kebaikan untuk lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia mampu. Kalaupun kontribusi positif kita akhirnya tidak ‘dihargai’ orang lain, setidaknya masih ada Dia yang selalu melihat amal perbuatan baik kita, sekalipun itu hanya seberat debu.

Ah, apapun itu, selamat datang musim semi!