Sore itu, saat
berjalan menuju gedung tempat saya ngampus,
saya tidak sengaja bertemu dengan rumpunan bunga kuning yang tengah mekar di
tepi jalan dan ‘danau’ yang berada persis di depan gedung kampus saya tadi.
Setengah refleks, tangan kanan yang semula menelusup di saku lantas keluar sambil
menggenggam ponsel dan jemari saya segera mencari fitur kamera untuk membidik
rumpunan bunga tersebut.
Rumpunan bunga kuning di tepi jalan depan kampus saya |
Krik, begitu kira-kira
bunyi kamera ponsel saya. Tentu saja bunyinya tidaklah semantap kamera-kamera DSLR keluaran Nikon atau Canon yang
selama ini saya idam-idamkan, tetapi belum juga kunjung tiba di
genggaman, hehehe… Namun, saya cukup merasa
puas dengan hasil jepretan kamera ponsel di genggaman saya tadi. Sembari
menikmati sisa jalan yang tinggal beberapa meter saja, pikiran saya pun
melayang, ingatan saya serasa digugah setelah melihat bunga-bunga kuning yang
tertunduk tadi.
Delft, dua tahun
lalu, di atas dua roda sepeda saya yang sudah setengah butut, saya menyeberang
jalan Papsouwselaan, menuju sebuah area pertokoan di daerah Poptahof untuk
membeli daging dan beberapa bahan makanan sebagai stok mingguan. Tak sengaja,
saya melihat rumpunan bunga kuning di sekitar tempat tersebut. Bunga yang
(mungkin) sama dengan apa yang saya lihat di depan gedung kampus. Seakan melesat
turun dari langit, ilham menyusup dalam batin saya.
“Bagi kebanyakan orang, bunga-bunga kuning di tepi jalan ini (mungkin) diabaikan. Namanya saja tidak banyak yang tahu. Tidak seperti tulip, yang selalu dinantikan banyak orang di musim semi. Bahkan, setiap tahun di musim semi, orang berduyun-duyun menuju taman Keukenhoff untuk menikmati indahnya warna warni tulip yang sedang mekar. Namun, bunga-bunga jalanan ini, walau tertunduk membisu, tetap tegar menghiasi jalanan, membaur dengan lingkungan di sekitarnya. Mata yang memandangnya menjadi sejuk dan teduh oleh kuning mahkotanya, yang berpadu dengan birunya langit dan hijaunya rerumputan.”
Entah kejadian
apa yang melatarbelakangi hingga saya terilhami oleh bunga-bunga kuning di tepi
jalan tadi. Namun, hati kecil saya kemudian berkata dan mungkin inilah terjemahan
dari ilham yang menyusup dalam batin saya tadi.
Seringkali kita
tertipu dan diperdayai oleh yang namanya popularitas. Di zaman dimana media
hampir menguasai seluruh lini kehidupan kita, rasanya mudah sekali kita
terseret hasrat untuk ingin populer. Tidak usah jauh-jauh, adanya media sosial
seperti facebook disadari atau tidak
sering membuat kita ingin show of force,
unjuk kehebatan kita, melalui foto maupun status yang kita unggah. Tentu, saya
tidak ingin men-generalisir, bahwa media sosial itu buruk. Saya pun adalah
pengguna media sosial yang tidak jarang juga terperosok jatuh ke dalam
hasrat ingin populer dengannya. Beruntung, Dia Yang Maha Melindungi masih
selalu mengingatkan saya, baik lewat nasehat orang- orang di sekeliling saya
maupun ‘musibah’ yang kemudian saya alami. Semua itu kembali mengingatkan saya
agar berhati-hati dalam ‘menunjukkan’ siapa saya dan mengunggah apapun dalam
media sosial.
Bunga-bunga
kuning yang sedang mekar dan saya temui di tepi jalan tadi seolah juga menasehati
saya, bahwa tidak selalu perlu menjadi populer untuk bermanfaat dalam kehidupan
di dunia ini. Saya yakin, bunga-bunga di tepi jalan depan kampus saya tadi
tumbuh liar, artinya tidak secara sengaja ditanam oleh petugas taman di kampus.
Bunga-bunga kuning itupun tidak setenar tulip, yang menjadi pusat perhatian
saat musim semi tiba di Belanda. Berbondong-bondong orang berkunjung ke taman
Keukenhoff yang terletak di Lisse, Belanda. Tulip memang cantik dan mempesona
dan membuat teduh mata orang yang melihatnya, apalagi dengan warna-warni mahkotanya.
Namun, bunga-bunga kuning di tepi jalan yang saya temui pun ternyata mampu
membuat mata ini teduh memandangnya. Padahal, ia tumbuh sendiri dan liar.
Siapapun kita dan
apapun pekerjaannya, kita tetap harus berbuat yang terbaik dan bermanfaat bagi
kehidupan, walaupun kekecewaan tidak jarang menyertai. Sudah berusaha keras untuk yang
terbaik, tetapi hasilnya tidak sebaik apa yang dicapai orang lain yang kita kagumi. Akhirnya kita pun merasa minder dan rendah diri. Kita memang tidak ditakdirkan untuk menjadi seorang presiden, seorang
milyuner, ataupun seorang ilmuwan hebat yang selalu dielu-elukan masyarakat
luas dan profil serta ceritanya sering menghiasi koran, televisi maupun media sosial.
Namun, rasanya kita semua pantas dan berhak untuk tetap berkontribusi dalam
kehidupan, menebar inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita, meski itu
adalah hal kecil. Mungkin kita bisa berprinsip seperti bunga-bunga kuning tadi; sering diabaikan, tidak populer dan tidak terkenal, namun tetap tegar berbuat kebaikan untuk lingkungan sekitarnya dengan apa yang ia mampu. Kalaupun kontribusi positif kita akhirnya tidak ‘dihargai’ orang
lain, setidaknya masih ada Dia yang selalu melihat amal perbuatan baik kita,
sekalipun itu hanya seberat debu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar