Senin, 04 April 2016

Catatan Pendek dari Middelburg



Diberikan kesempatan menghirup udara di Negeri Kincir Belanda selama beberapa tahun, saya dan istri saya tidak ingin menyiakan waktu emas ini untuk bepergian ke beberapa kota di luar tempat kami tinggal sementara waktu ini. Kami percaya, bahwa dengan bepergian, kami akan belajar tentang budaya dan tempat yang kami kunjungi, yang tidak pernah lengkap atau bahkan tidak pernah didapat hanya dengan membaca buku-buku atau majalah saja.

Awalnya, saya mempunyai keinginan yang besar untuk bisa menyinggahi banyak kota di Eropa. Kalau bisa, hampir semua kota di Eropa ingin saya kunjungi. Namun, kenyataan sering berkata lain. Mengunjungi satu per satu kota penting di Eropa bukanlah hal yang murah, sekalipun kita bepergian dengan model backpacker atau pergi seharian saja untuk menekan biaya seminimal. Bagi banyak orang mungkin bisa melakukannya. Namun, mungkin belum bagi kami.

Akhirnya, terbesit dalam idealisme kami, bahwa bolehlah kami tidak kesampaian mengunjungi setiap kota besar di Eropa. Tak apa, karena kenyataannya memang begitu. Namun, saya dan istri ingin mengunjungi beberapa tempat yang mungkin tidak populer di mata para wisatawan atau traveler yang berkunjung ke Eropa. Sebut saya Gouda. Kota yang ternyata terkenal dengan kota keju di Belanda ini tidak sepopuler Amsterdam, Den Haag, Rotterdam ataupun Maastricht. Namun, alhamdulillah mata kami sempat menjadi saksi uniknya kota di tengah Belanda ini dengan aktivitas budaya lokalnya. Lihat catatan kami tentang Gouda pada tautan ini.

Satu lagi kota yang kurang populer namun sempat kami kunjungi dalam beberapa pekan terakhir, yakni Middelburg. Tidak lama kami mengunjungi kota ini, karena sifatnya yang hanya sambil lalu dalam perjalanan kami menuju stasiun kereta terdekat. Kota ini berada di ujung barat daya Belanda, dan bisa ditempuh hampir 2 jam perjalanan dari Stasiun Rotterdam Centraal. Meski sebentar, ada sebuah catatan abstrak yang membesit dalam hati saya ketika melintasi pusat kota Middelburg ini, yakni tentang tetanda tentang sebuah pusat kota itu sendiri, yang semakin saya pahami keberadaannya ketika mengunjungi kota ini.

Tidak sulit sebenarnya menemukan pusat kota di Eropa. Ingat saja, bahwa di tempat itu setidaknya ada tiga elemen utama: gedung balaikota, tempat ibadah (biasanya gereja) dan tanah lapang. Tak terkecuali di Belanda. Ketiga elemen tersebut biasanya selalu ada di tempat yang disebut 'centrum' itu. Di kota-kota besar, ketiganya biasanya lebih gampang dikenali dengan megahnya gedung balaikota dan gereja. Namun, di kota kecil seperti Middelburg yang berada di ujung barat daya Belanda, ketiga elemen tersebut ternyata juga mudah ditemui walaupun letak gereja dan gedung balaikotanya tidak berada di satu tempat. Yang menarik, gedung balaikota (atau stadhuis) di kota ini tetap saja cantik, meski tampaknya sudah tidak difungsikan lagi sebagai pusat kegiatan tata administrasi. Tidak jauh dari tempat itu, terdapat stasiun kereta yang menjadi semacam gerbang untuk menyambut siapapun yang ingin berkunjung ke kota tersebut.

Stadhuis atau gedung balaikota Middelburg

Centrum Kota Middelburg

Menara gereja di centrum Kota Middelburg
Sempat terlintas di sepanjang alur jalan di centrum Middelburg ini akan tata ruang Jogja. Ingatan berlari ke arah Kraton sebagai sentra pemerintahan. Walaupun kini masa sudah mengganti pusat kegiatan pemerintahan Kota Jogja dari Kraton menuju gedung kepatihan sebagai kantor gubernur dan gedung balaikota di Jalan Kenari sebagai kantor walikota, aura Kraton sebagai sentra pemerintahan tetap saja ada. Lalu, terbentang di depannya alun-alun utara Jogja, yang berfungsi sama halnya dengan tanah lapang di centrum negeri-negeri di Eropa. Ke arah barat, berdiri tegak Masjid Gedhe Kauman. Bila demikian, baik di Eropa maupun nusantara, mungkin benar adanya sebuah gambaran bahwa seorang raja atau pemimpin suatu negeri, memang harus ingat akan hubungan dirinya dengan Sang Pencipta dan manusia-manusia yang dipimpinnya. Kehadiran tempat ibadah di dekat atau seputaran centrum sebuah kota menjadi sebuah pengingat bahwa ia sang raja harus tetap tunduk kepada Penciptanya. Lalu, lapangan luas di depan istananya, menjadi tempat dimana ia harus selalu berkomunikasi dengan rakyatnya.

Pun, sebuah pusat kota tidak hanya ditandai dengan maraknya toko-toko dan pusat perbelanjaan di sekitarnya. Namun, ia adalah sebuah tempat dimana masyarakat kota setempat mengadakan berbagai atraksi budaya atau religinya. Ambil contoh event Lichtjesavond di Kota Delft yang pernah saya tuliskan ceritanya di sini.