Rabu, 11 Mei 2016

Bumblebee

Anak-anak generasi '80 dan '90an mengenal sosok Bumblebee dalam film Transformers bukan sebagai penjelmaan Chevrolet Camaro yang sporty dan perkasa di jalanan, melainkan sebuah Volkswagen (VW) Beetle yang imut dan berwarna kuning.

   

Foto diambil dengan kamera telepon seluler Samsung Galaxy S III.

Senin, 09 Mei 2016

Harmoni



Harmoni itu adalah ketika masing-masing pemakai jalan cukup tahu diri dan saling berbagi jalan. Seperti terlukis dalam foto ini, sebuah jalan kecil di pusat Kota Den Haag, Belanda ternyata tetap saja harmonis meski berjejal pejalan kaki dan berbagai jenis kendaraan, mulai dari sepeda, skuter, mobil hingga tram. Pun, tak terdengar suara klakson atau keributan karena kesalahpahaman para pengguna jalan. 

 
 Foto diambil dengan kamera telepon seluler Samsung Galaxy S III.

Jumat, 06 Mei 2016

Kisah Spitfire dan Penderita Katarak



Kisah sukses Supermarine Spitfire ternyata tidak hanya terlukis dalam panggung pertempuran Perang Dunia II, melainkan juga di dunia medis. Ketika episode pertempuran sengit 'Battle of Britain' terjadi, tidak sedikit pilot Inggris yang terluka terkena pecahan kaca kanopi pesawat legendaris ini. Meski begitu, Sir Nicholas Harold Ridley (1906-2001) -yang kala itu bertugas di Emergency Medical Service- menemukan bahwa material pecahan kaca kanopi Spitfire tadi ternyata 'bersahabat' dengan mata manusia. Material itu adalah polymethylmethacrylate (PMMA). Usai Perang Dunia II, Dr. Ridley secara intensif meneliti penggunaan PMMA sebagai alternatif material untuk lensa intraocular buatan. Sejarah lalu mencatat, pada tahun 1950 lensa intraocular dari PMMA yang dikembangkan Dr. Ridley ini akhirnya berhasil diaplikasikan untuk pertama kalinya pada penderita katarak.


Keterangan foto: Supermarine Spitfire, koleksi Museum Penerbangan ‘Aviodrome’ di Lelystad Airport, Belanda. Foto diambil dengan Canon SX20IS.

Selasa, 03 Mei 2016

Lembur Itu (memang) Perlu!



Ide tulisan ini keluar begitu saja di suatu pagi selepas Subuh di musim semi tahun ini. Saat musim semi di Belanda dan negara-negara sekitarnya, jam sholat Subuh memang sudah beranjak lebih awal. Bila di musim dingin adzan sholat Subuh bisa berkumandang pukul setengah tujuh pagi, di musim panas kumandangnya bisa sekitar jam tiga pagi. Selepas Subuh dan berbincang sebentar dengan istri, saya buka kembali laptop saya beserta pekerjaan yang saya tutup sehari sebelumnya. Ah, lembur lagi.

Banyak orang menyebut lembur sebagai satu-satunya jalan keluar menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, terlebih bagi mereka yang sedang dikejar target menyelesaikan sesuatu. Lembur berarti menyisihkan waktu kita yang lain yang seharusnya bukan dipakai untuk bekerja. Lalu, ada yang berpendapat, orang yang suka lembur itu workaholic, gila kerja, tidak sayang keluarga, egois dan sebagainya. Ada lagi, lembur itu tidak sehat, merusak jam biologis manusia, merusak ritme hidup, dan sejenisnya. Wah, kalau mengikuti pendapat orang lain memang tak akan ada habisnya ya, hehehe…

Bagi saya, lembur itu memang perlu! Maaf, bagi yang berseberangan. Inilah solusi yang seringkali hadir untuk menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, walaupun kita tidak menyengaja menumpuknya dengan menundanya untuk rampung. Namun bagi saya, diri kita sendiri yang bisa menilai, apakah kita layak merelakan waktu kita untuk lembur, atau sebaliknya tidak dulu dan meletakkan hal lain sebagai prioritas. Keluarga dan tubuh kita sendiri tetap mempunyai hak yang harus dipenuhi. Meski demikian, jujur saja, tuntutan hidup tidak selalu seperti apa yang kita inginkan, tidak selalu mengijinkan kita berlaku seimbang. Tidak ada yang ideal. Sehingga, satu-satunya jalan adalah berkaca pada nurani kita sendiri. 

Bercerita tentang pengalaman lembur sepertinya akan panjang bila saya ungkap satu per satu. Yang jelas, ada beberapa momen lembur yang saya masih ingat dan sulit saya lupakan, meski lembur saya ini bukan sesuatu yang ‘gila’ dan wah di mata orang kebanyakan. Semua masih dalam ambang batas normal.

Salah satu momen lembur yang selalu saya ingat adalah saat mengerjakan tugas desain komponen mesin sewaktu masih duduk sebagai mahasiswa S1. Kala itu, tugas besar mendesain komponen mesin mau tidak mau harus saya kerjakan dengan menyita waktu tidur saya selama kurang lebih seminggu. Meski saya sudah mencoba mengerjakannya secara bertahap sejak beberapa minggu sebelumnya, seminggu sebelum deadline tetap saja sebuah waktu yang  kurang bersahabat. Entah mengapa, walalupun hasil pekerjaan sudah dirasa cukup jauh-jauh hari sebelumnya, tetap saja ada keinginan untuk merevisi dari dalam hati dan pikiran sendiri menjelang waktu pengumpulan tugas tersebut. Jadilah, seminggu itu penuh dengan kenangan kantuk dan suara radio yang menemani saya semalaman. Namun akhirnya, pekerjaan tersebut selesai juga dan cukup memuaskan hasilnya.

Momen lembur selanjutnya tentu saja adalah saat mengerjakan skripsi dan tesis. Sama seperti mahasiswa yang lain, skripsi dan tesis rasanya tidak bakalan selesai tanpa lembur. Entah mengapa lembur tetap harus dilakukan meski satu per satu tulisan dalam skripsi dan tesis sudah disusun baik-baik jauh hari sebelum deadline yang saya buat sendiri tiba untuk men-submit-nya ke dosen pembimbing. Apakah deadline yang saya buat sendiri ini yang keterlaluan dan tidak realistis dengan kenyataan yang ada? Entah juga, bisa jadi demikian, hihihi.. Saking lelahnya, pernah suatu pagi setelah semalam suntuk begadang menyelesaikan tulisan skripsi, saya melakukan kesalahan sewaktu me-refill tinta printer akibat rasa kantuk hebat yang mendera. Akibatnya, tembok dinding kamar saya harus bergambar cipratan tinta merah. Bila waktu itu bapak saya tidak berkehendak mengecat dinding untuk merenovasi rumah, mungkin cipratan tinta tadi bakal menjadi saksi bisu perjuangan saya, hahaha…

Cerita lembur terakhir yang ingin saya tuturkan adalah momen saat ini, dimana lembur rasanya tetap harus saya lakukan untuk menyelesaikan olah data penelitian dan menulisnya dalam naskah publikasi dan disertasi. Beberapa kali saya harus jatuh sakit karena terlalu ‘semangat’ lembur hingga abai pada porsi waktu istirahat. Sakit yang menyadarkan saya, bahwa lembur tetap ada batasnya, meski acapkali nafsu ini menyanggahnya. Namun sekali lagi, hati nurani kita sendirilah yang bisa memberikan keputusan terbaik.