Selasa, 28 Juni 2016

Tahun Ketiga: The Point of No Return



Tulisan ini adalah lanjutan dari seri kehidupan seorang Ph.D. di Belanda yang terakhir kali saya kisahkan hampir dua tahun lalu. Karena kesempatan yang tak kunjung tiba, plus niatan yang kurang kuat, jadilah tulisan saya pada seri ini sempat mandeg, terhenti berbulan-bulan. Silakan kunjungi tulisan-tulisan sebelumnya dalam seri ini. Baiklah, tanpa perlu berlarut-larut dalam prolog-nya, langsung saja saya mulai tulisan ini. 

Jadi, jika diizinkan untuk berkomentar, saya sebut tahun ketiga seorang Ph.D. di Belanda adalah tahun dimana kita tidak bisa ‘kembali’ ke belakang –no return- untuk mengawali rangkaian penelitian baru lagi setelah kita (mungkin) dirundung kekecewaan akibat proyek penelitian yang tidak lancar. Siapa yang tidak frustasi, setelah di tahun pertama proyek penelitian telah kita susun sedemikian rupa, lalu kita eksekusi sebaik-baiknya hingga memakan seluruh waktu dan tenaga di tahun kedua. Namun, hasil yang kita harapkan hadir di tahun ketiga ternyata tidak kunjung tiba. Alhasil, pikiran kita pun seringkali bergelanyut ingin beranjak pergi, pindah ke lain topik untuk mengganti yang lama dengan yang baru.

Namun, inilah mengapa saya sebut the point of no return. Di tahun ketiga ini, separuh waktu perjalanan akademik sebagai seorang Ph.D. sudah terlampaui, dari empat tahun jatah waktu yang diberikan. Rasanya agak mustahil, bahkan akan terlalu menyita banyak tenaga dan waktu bila kita kembali lagi pada titik awal, titik nol, dimana segalanya tentang penelitian doktoral itu dimulai. Kalaupun bisa memulainya lagi dengan topik yang baru, sisa waktu dua tahun rasanya tidak mungkin begitu saja mengizinkan kita mendapatkan hasil-hasil penelitian yang optimal. Ya, tentu saja, ini bukanlah pendapat tanpa pengecualian. Bisa saja kita tetap kekeuh memulai topik penelitian yang baru di tahun ketiga. Namun dengan sebuah syarat, yakni adanya sumber dana yang cukup untuk menopang biaya dan kehidupan akademik maupun personal kita setelah dua tahun selanjutnya berakhir.


"Menjadi realistis itu –tetap- perlu."

Memang, perjalanan akademik seorang Ph.D. itu unik dan berliku. Tak seorang pun rasanya bisa menjamin bahwa si A akan bisa mencapai seperti apa yang dicapai si B, bila kehidupan si B itu ditiru si A. Rasanya mustahil. Proyek penelitian yang dikerjakan saja berbeda, tantangan dan kesulitannya pun berbeda pula. Kalau sama, ya itu namanya bukan program doktoral yang semestinya.

Lalu apa yang perlu kita siasati di tahun ketiga, bila ternyata situasi yang kita hadapi tidak seperti apa yang kita rencanakan di tahun-tahun sebelumnya? Apakah kita menyerah begitu saja saat kita menginjak titik no return ini?

Adakalanya memang, menjadi realistis itu perlu, walaupun ada idealisme yang tetap kita pegang erat-erat. Keinginan untuk sukses besar dalam sebuah penelitian yang punya kontribusi besar pada bidangnya itu harus. Namun, di saat kita harus berhadapan dengan situasi yang belum mengizinkan kita untuk meraih semua itu, rasanya kita perlu realistis. Bolehlah, bila ternyata yang kita temui adalah hasil-hasil di luar ekspektasi kita, maka tak ada salahnya kita maklumi. Riset atau penelitian itu ibarat mencari sesuatu yang tak pasti adanya. Seorang kawan pernah berkata, bila kita meneliti sesuatu yang sudah pasti itu namanya praktikum, bukan penelitian atau riset yang sebenarnya. Bisa jadi yang kita peroleh ternyata di luar ekspektasi itu ya memang seperti itu adanya. Tak perlu dimanipulasi! Selanjutnya, kita berjalan lagi, kita teruskan lagi semua itu agar tuntas, sekalipun arah penelitiannya pun berubah karenanya. Seorang kawan yang lain pernah pula berujar, bahwa tidak jarang setelah tahun kedua masa Ph.D. usai, proyek penelitian kita berubah arahnya, menyesuaikan apa yang kita peroleh. 

Ya, realistis saja. Namun, dalam sikap realistis itu tetap sisakan ruang-ruang untuk meletakkan tanaman idealisme yang telah kita semai bibitnya dan pupuk sejak awal, bahkan sebelum kita menjalani program doktoral itu.