Tulisan ini adalah lanjutan dari seri kehidupan
seorang Ph.D. di Belanda yang terakhir kali saya kisahkan hampir dua tahun
lalu. Karena kesempatan yang tak kunjung tiba, plus niatan yang kurang kuat,
jadilah tulisan saya pada seri ini sempat mandeg,
terhenti berbulan-bulan. Silakan kunjungi tulisan-tulisan sebelumnya
dalam seri ini. Baiklah, tanpa perlu berlarut-larut
dalam prolog-nya, langsung saja saya
mulai tulisan ini.
Jadi, jika diizinkan untuk berkomentar, saya
sebut tahun ketiga seorang Ph.D. di Belanda adalah tahun dimana kita tidak bisa
‘kembali’ ke belakang –no return- untuk
mengawali rangkaian penelitian baru lagi setelah kita (mungkin) dirundung
kekecewaan akibat proyek penelitian yang tidak lancar. Siapa yang tidak
frustasi, setelah di tahun pertama proyek penelitian telah kita susun
sedemikian rupa, lalu kita eksekusi sebaik-baiknya hingga memakan seluruh waktu
dan tenaga di tahun kedua. Namun, hasil yang kita harapkan hadir di tahun ketiga
ternyata tidak kunjung tiba. Alhasil, pikiran kita pun seringkali bergelanyut ingin
beranjak pergi, pindah ke lain topik untuk mengganti yang lama dengan yang
baru.
Namun, inilah mengapa saya sebut the point of no return. Di tahun ketiga
ini, separuh waktu perjalanan akademik sebagai seorang Ph.D. sudah terlampaui,
dari empat tahun jatah waktu yang diberikan. Rasanya agak mustahil, bahkan akan
terlalu menyita banyak tenaga dan waktu bila kita kembali lagi pada titik awal,
titik nol, dimana segalanya tentang penelitian doktoral itu dimulai. Kalaupun
bisa memulainya lagi dengan topik yang baru, sisa waktu dua tahun rasanya tidak
mungkin begitu saja mengizinkan kita mendapatkan hasil-hasil penelitian yang
optimal. Ya, tentu saja, ini bukanlah pendapat tanpa pengecualian. Bisa saja
kita tetap kekeuh memulai topik penelitian yang baru di tahun ketiga. Namun
dengan sebuah syarat, yakni adanya sumber dana yang cukup untuk menopang biaya dan
kehidupan akademik maupun personal kita setelah dua tahun selanjutnya berakhir.
"Menjadi realistis itu –tetap- perlu."
Memang, perjalanan akademik
seorang Ph.D. itu unik dan berliku. Tak seorang pun rasanya bisa menjamin bahwa
si A akan bisa mencapai seperti apa yang dicapai si B, bila kehidupan si B itu
ditiru si A. Rasanya mustahil. Proyek penelitian yang dikerjakan saja berbeda,
tantangan dan kesulitannya pun berbeda pula. Kalau sama, ya itu namanya bukan program doktoral yang semestinya.
Lalu apa yang perlu kita siasati di tahun
ketiga, bila ternyata situasi yang kita hadapi tidak seperti apa yang kita
rencanakan di tahun-tahun sebelumnya? Apakah kita menyerah begitu saja saat
kita menginjak titik no return ini?
Adakalanya memang, menjadi realistis itu perlu,
walaupun ada idealisme yang tetap kita pegang erat-erat. Keinginan untuk sukses
besar dalam sebuah penelitian yang punya kontribusi besar pada bidangnya itu
harus. Namun, di saat kita harus berhadapan dengan situasi yang belum
mengizinkan kita untuk meraih semua itu, rasanya kita perlu realistis. Bolehlah,
bila ternyata yang kita temui adalah hasil-hasil di luar ekspektasi kita, maka tak
ada salahnya kita maklumi. Riset atau penelitian itu ibarat mencari sesuatu yang
tak pasti adanya. Seorang kawan pernah berkata, bila kita meneliti sesuatu yang
sudah pasti itu namanya praktikum, bukan penelitian atau riset yang sebenarnya.
Bisa jadi yang kita peroleh ternyata di luar ekspektasi itu ya memang seperti
itu adanya. Tak perlu dimanipulasi! Selanjutnya, kita berjalan lagi, kita
teruskan lagi semua itu agar tuntas, sekalipun arah penelitiannya pun berubah
karenanya. Seorang kawan yang lain pernah pula berujar, bahwa tidak jarang
setelah tahun kedua masa Ph.D. usai, proyek penelitian kita berubah arahnya,
menyesuaikan apa yang kita peroleh.
Ya, realistis saja. Namun, dalam sikap
realistis itu tetap sisakan ruang-ruang untuk meletakkan tanaman idealisme yang
telah kita semai bibitnya dan pupuk sejak awal, bahkan sebelum kita menjalani
program doktoral itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar