Rabu, 14 September 2016

Berat Hati

Yogyakarta, 22 Februari 2010. Selasar depan Bandara Internasional Adisutjipto. Saat itu, berat sekali rasanya kaki ini melangkah menuju pintu masuk bandara tersebut. Ada rasa mengganjal. Ada rasa campur aduk, yang berujung pada jatuhnya butiran air mata. Hari itu, saya mengawali perjalanan saya menuju Belanda, tepatnya menuju kota yang letaknya di ujung paling utara negeri itu: Groningen. Berat hati saya meninggalkan Jogja. Entah mengapa. Harusnya saya di hari itu adalah salah satu dari segelntir orang yang paling bahagia di dunia. Bukankah Groningen adalah jawaban atas doa-doa yang selalu saya panjatkan kehadiratNya selama beberapa tahun sebelum tiba hari itu? 


Meski akhirnya saya tak menuai happy-ending (simak ceritanya di sini), di Groningen itulah saya mengawali kehidupan saya secara penuh dalam suasana yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini ada di Jogja. Benar saja, sebagai lanjutan atas keberatan hati yang mendera saat itu, minggu-minggu pertama saya di Groningen rasanya sangat membosankan. Okelah, satu dua kali saya cukup senang karena bisa berfoto di sana-sini dengan latar belakang rumah-rumah khas Belanda. Tetapi, setiap kali terbangun dari tidur, ada rasa aneh yang serasa mencekik batin. Ada rindu pada kampung halaman, orang tua dan suasana di Jogja.

Beratnya hati menerima suasana yang baru membuat saya hampir-hampir tak pernah lepas dari layar monitor laptop yang berhias streaming siaran televisi atau radio di Indonesia. Tak jarang pula, menit-menit jelang sore di akhir pekan, hampir selalu kaki saya ini melangkah ke stasiun kereta di Groningen, sekedar melewatkan waktu melihat kereta yang berangkat menuju Schiphol airport. Entah setiap kali berada di stasiun itu, ada gejolak yang sangat kuat dalam hati, namun harus saya tahan agar tak meledak menjadi sebuah teriakan keras ingin pulang. Waktu terus berjalan, hingga tak terasa kesibukan mulai mengalihkan rasa berat hati yang cukup menyakitkan itu. Perlahan, saya pun mulai bisa menikmati dan terbiasa hidup di negeri yang baru itu. Manisnya kehidupan di Belanda lambat laun bisa dirasakan seiring dengan rutinitas yang ada.

Schiedam, 31 Agustus 2016. Kini penyakit berat hati itu kembali mendera, setelah begitu hebatnya terasa 6,5 tahun sebelumnya, saat Jogja harus ditinggalkan. Kini perasaan itu muncul untuk situasi yang sebaliknya. Ada rasa berat meninggalkan Belanda, khususnya kota Delft dan Schiedam yang selama 4 tahun terakhir menjadi stasiun perhentian kereta kehidupan saya. Sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi meninggalkan kedua kota tersebut, ada perasaan sedih dan gelisah yang bercampur aduk menjadi satu. Barangkali saya sudah terlalu merasa nyaman ada di sana, dengan segala kemudahan dan kesulitan yang ada. Dulu tiba di negeri itu dengan membawa hati yang berat, kini pergi melangkah meninggalkan negeri itu juga dengan menjinjing hati yang sungguh berat. Lengkap sudah. 

Orang bijak bilang, berpindah dari sebuah zona nyaman ke zona tidak nyaman itu tidak mudah, namun hal itu membuat kita terus belajar dan bergerak, bahkan merangkak ke atas. Dan, tidak bergerak mungkin akan berujung binasa. Ah, barangkali hidup memang seperti ini. Zona nyaman bukanlah sebuah harta yang harus selalu dimiliki. Barangkali dengan kepulangan ini, memang ada hak-hak orang-orang terdekat yang harus segera ditunaikan. Semua yang di bumi ini milikNya. Ia Yang Maha Mengatur dan lebih tahu tentang kisi-kisi kehidupan kita dan di balik segala peristiwa yang kita alami. Sekuat apapun, segigih apapun kita mengusahakan sesuatu, Ia jualah yang menentukan episode akhirnya. Barangkali seperti kisah sang mentari, yang begitu digdaya menyinari bumi. Namun, ia pun harus tunduk kepada KuasaNya, bergerak dari ufuk timur menuju ujung barat, agar malam dan siang hari itu selalu ada.