Yogyakarta, 22 Februari 2010.
Selasar depan Bandara Internasional Adisutjipto. Saat itu, berat sekali rasanya
kaki ini melangkah menuju pintu masuk bandara tersebut. Ada rasa mengganjal.
Ada rasa campur aduk, yang berujung pada jatuhnya butiran air mata. Hari itu,
saya mengawali perjalanan saya menuju Belanda, tepatnya menuju kota yang
letaknya di ujung paling utara negeri itu: Groningen. Berat hati saya
meninggalkan Jogja. Entah mengapa. Harusnya saya di hari itu adalah salah satu
dari segelntir orang yang paling bahagia di dunia. Bukankah Groningen adalah
jawaban atas doa-doa yang selalu saya panjatkan kehadiratNya selama beberapa
tahun sebelum tiba hari itu?
Meski akhirnya saya tak menuai happy-ending (simak ceritanya di sini),
di Groningen itulah saya mengawali kehidupan saya secara penuh dalam suasana
yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini ada di Jogja. Benar saja,
sebagai lanjutan atas keberatan hati yang mendera saat itu, minggu-minggu
pertama saya di Groningen rasanya sangat membosankan. Okelah, satu dua kali
saya cukup senang karena bisa berfoto di sana-sini dengan latar belakang rumah-rumah
khas Belanda. Tetapi, setiap kali terbangun dari tidur, ada rasa aneh yang
serasa mencekik batin. Ada rindu pada kampung halaman, orang tua dan suasana di
Jogja.
Beratnya hati menerima suasana
yang baru membuat saya hampir-hampir tak pernah lepas dari layar monitor laptop
yang berhias streaming siaran
televisi atau radio di Indonesia. Tak jarang pula, menit-menit jelang sore di
akhir pekan, hampir selalu kaki saya ini melangkah ke stasiun kereta di Groningen,
sekedar melewatkan waktu melihat kereta yang berangkat menuju Schiphol airport. Entah setiap kali berada di
stasiun itu, ada gejolak yang sangat kuat dalam hati, namun harus saya tahan
agar tak meledak menjadi sebuah teriakan keras ingin pulang. Waktu terus
berjalan, hingga tak terasa kesibukan mulai mengalihkan rasa berat hati yang
cukup menyakitkan itu. Perlahan, saya pun mulai bisa menikmati dan terbiasa hidup
di negeri yang baru itu. Manisnya kehidupan di Belanda lambat laun bisa
dirasakan seiring dengan rutinitas yang ada.
Schiedam, 31 Agustus 2016. Kini
penyakit berat hati itu kembali mendera, setelah begitu hebatnya terasa 6,5
tahun sebelumnya, saat Jogja harus ditinggalkan. Kini perasaan itu muncul untuk
situasi yang sebaliknya. Ada rasa berat meninggalkan Belanda, khususnya kota
Delft dan Schiedam yang selama 4 tahun terakhir menjadi stasiun perhentian kereta
kehidupan saya. Sebelum kaki ini benar-benar melangkah pergi meninggalkan kedua
kota tersebut, ada perasaan sedih dan gelisah yang bercampur aduk menjadi satu.
Barangkali saya sudah terlalu merasa nyaman ada di sana, dengan segala
kemudahan dan kesulitan yang ada. Dulu tiba di negeri itu dengan membawa hati
yang berat, kini pergi melangkah meninggalkan negeri itu juga dengan menjinjing
hati yang sungguh berat. Lengkap sudah.
Orang bijak bilang, berpindah dari sebuah zona
nyaman ke zona tidak nyaman itu tidak mudah, namun hal itu membuat kita terus
belajar dan bergerak, bahkan merangkak ke atas. Dan, tidak bergerak mungkin
akan berujung binasa. Ah, barangkali
hidup memang seperti ini. Zona nyaman bukanlah sebuah harta yang harus selalu dimiliki.
Barangkali dengan kepulangan ini, memang ada hak-hak orang-orang terdekat yang
harus segera ditunaikan. Semua yang di bumi ini milikNya. Ia Yang Maha Mengatur
dan lebih tahu tentang kisi-kisi kehidupan kita dan di balik segala peristiwa
yang kita alami. Sekuat apapun, segigih apapun kita mengusahakan sesuatu, Ia
jualah yang menentukan episode akhirnya. Barangkali seperti kisah sang mentari,
yang begitu digdaya menyinari bumi. Namun, ia pun harus tunduk kepada KuasaNya,
bergerak dari ufuk timur menuju ujung barat, agar malam dan siang hari itu selalu
ada.
Pernah merasakan juga. Apalagi pas merantau ke Kalimantan dan gagal total. Merasa bukan masa depanku disana, pulang ke Jogja untuk memulai lagi dari titik nol adalah pilihan terbaik.
BalasHapus