Bulan Desember
selalu mengingatkan saya akan banyak hal. Salah satunya adalah momen ketika
saya diberikan kelonggaran rizki untuk membeli sebuah kamera DSLR (digital single-lens reflex) pertama saya.
Benar, kamera ini adalah kamera DSLR saya yang pertama, padahal booming kamera DSLR sebenarnya sudah
terjadi pada tahun 2010-an. Saya ingat betul, di masa itu banyak kawan saya
yang sudah menlakukan aksi jepret sana, jepret sini, mengambil foto dengan
kamera hitam di tangannya. Demam DSLR seakan menjadi wabah yang menjangkiti
banyak rekan mahasiswa di kala itu. Bahkan, seorang kawan sempat berseloroh;
DSLR itu semacam virus, virus yang bisa mewabah menjangkiti siapa saja. Lalu,
setiap orang berkeinginan untuk memiliki atau membelinya, meski harus dengan
cara menabung dan mengatur uang saku dari beasiswanya seketat-ketatnya. Acara
berburu foto bersama pun menjadi tren baru di kalangan teman-teman mahasiswa di
sekitar saya saat itu.
Di masa itu,
saya masih mengandalkan sebuah kamera saku, Sony S650. Jujur, saya belum mampu membeli
kamera DSLR, meski keinginan memilikinya sudah ada, karena terjangkiti ‘wabah’
yang saya sebut tadi, hehehe… Tentu
saja, kemampuan kamera saku yang saya punya tadi sangatlah terbatas, apalagi bagi
orang yang ingin serius menekuni fotografi. Namun, tetap saja kamera Sony mungil
berwarna perak ini berkesan bagi saya, karena saya membelinya dengan usaha dan keringat
sendiri. Semua uang tunjangan lebaran yang saya terima dari kantor di tahun
2007 saya alokasikan semuanya untuk membeli kamera tersebut.
Tahun 2011
hingga 2015, saya beralih ke kamera point
and shot, sebuah kamera Canon Powershot SX20IS. Kamera ini berjasa banyak
karena membantu melatih skill saya
dalam memotret. Meski kemampuannya yahud,
terutama untuk memotret jarak jauh, dan ukuran body-nya yang hampir sebesar kamera DSLR, kamera ini menurut saya
masih kurang memadai untuk belajar tentang mengoperasikan kamera secara manual.
Oh ya, dan waktu itu, status kamera
ini masih sebenarnya masih sebagai pinjaman, hehehe…
Barulah di bulan Desember 2015,
saya mendapat angin segar. Tunjangan akhir tahun dari kampus tempat saya
belajar waktu itu bagaikan durian jatuh. Saat itulah saya benar-benar merasa
mendapat kucuran dana bebas yang jumlahnya sedikit lebih dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Setelah dibagi-bagi untuk alokasi kebutuhan
yang lebih penting, tersisalah sejumput uang. Dan, terbukalah peluang saya
membeli sebuah kamera DSLR yang selama ini hanya sebatas angan-angan.
Menjatuhkan Pilihan
Sore hari, 23 Desember 2015, diliput
dingin jelang winter tahun itu,
berangkatlah saya dengan keyakinan penuh ke sebuah supermarket elektronik di
kota sebelah. Namun, sesampainya di sana, bingunglah saya. Tiba-tiba saja saya
disergap kegalauan, kebingungan untuk menentukan satu di antara sekian pilihan
kamera yang ada di etalase saat itu. Tengok sana, tengok sini, lihat kardus
kemasan kamera ini dan itu, ternyata banyak pilihan, tentang merek, performa
hingga harga. Semuanya serba menarik dan ‘menyilaukann mata’. Tetapi, saya
harus memilih satu di antaranya. Tentu saja dari sekian banyak kriteria, masalah
harga adalah pertimbangan utama saya, hehehe…
Ada pula pilihan kamera-kamera
terbaru, yang berjenis mirrorless.
Tetapi waktu itu saya enggan memilihnya -walaupun pada akhirnya sampai juga
saya pada titik menyesali keengganan ini. Alasan saya simpel, meski kamera mirrorless merupakan kamera generasi
yang lebih baru daripada DSLR, saya meragukan kekuatan batereinya yang lekas
habis, karena kinerja kamera ini mengandalkan hampir 100% energi listrik dari
baterei. Berbeda dengan kamera DSLR, yang beberapa komponennya bekerja secara
mekanik dan optik.
Nikon dan Canon. Dua merek kamera
yang sedari awal ada di kepala saya. Keduanya juga dikenal handal memproduksi kamera-kamera
tipe DSLR. Akhirnya, jatuhlah pilihan pada sebuah kotak besar yang berisi satu
set kamera Canon 1200D beserta lensa kit 18 – 55 mm. Harganya murah, belum lagi
ditambah bonus sebuah lensa tele 70-300 mm. Bonus lensa ini terus terang memang
menawan hati saya, meski pada akhirnya saya juga agak menyesal, lantaran kedua
lensa yang disertakan dalam box
kamera tadi tidak mempunyai fitur image
stabilizer (IS), sehingga rentan
terhadap goyangan saat mengambil foto.
Lensa Prime EF 50 mm
Penyesalan akan lensa yang kurang
maksimal performanya membuat saya penasaran dan berkeinginan membeli lensa lain
yang lebih baik performanya. Tetapi, membeli lensa kamera itu juga harus
bertaruh dengan isi dompet, apalagi dompet seorang mahasiswa di kala itu, hahahaa… Semua itu membuat saya rajin
membaca ulasan tentang berbagai lensa untuk kamera Canon. Dan, akhirnya muncul satu
lensa yang berhasil menambat hati saya -tentu karena harganya yang relatif murah,
ialah Canon EF-50 mm 1.8! Orang menyebutnya Nifty
Fifty, sebuah lensa prime, panjang
fokus tetap (yakni 50 mm) sehingga tidak mempunyai kemampuan zoom. Hebatnya, lensa ringan ini dikenal
sebagai salah satu yang legendaris milik Canon, meski ia tidak mempunyai fitur image stabilizer untuk meredam getaran. Menurut
berbagai review, lensa ini konon bisa menghasilkan foto-foto yang tajam dan
efek bokeh -atau efek blur pada latar
belakang sebuah objek. Pertanyaan selanjutnya, dimana saya dapat membelinya
dengan dana yang tersedia di kantong saya? Harga satu buah lensa 50 mm tadi
bisa sekitar 120 Euro atau sekitar 1,5 hingga 2 jutaan rupiah. Belum lagi
beberapa asesoris pentingnya, seperti filter
dan lens hood-nya.
Canon EOS 1200D dengan lensa prime EF-50 mm 1.8 "Nifty Fifty" |
Peluang mengakuisisi lensa mungil
itu hadir tatkala sebuah lensa bekas ditawarkan di sebuah laman Facebook yang
berisi jualan barang-barang bekas mahasiswa di kampus saya waktu itu. Kondisi
masih bagus. Begitu deskripsi dari penjualnya. Karena bekas pakai, harga jualnya
pun separuh dari harga barunya. Tanpa berpikir panjang, saya kontak si penjual
tadi. Secepat mungkin, karena biasanya barang-barang yang berhubungan dengan
kamera yang dijual dengan harga murah cepat sekali lakunya. Dan, alhamdulillah, deal. Sang penjual yang juga
seorang mahasiswa di fakultas sebelah, melepas lensa tersebut dengan harga
sesuai yang ia tawarkan, ditambah sebuah lens
hood yang masih sangat bagus. Wah, nikmat yang tiada duanya.
Awal menggunakan lensa 50 mm merupakan masa
adaptasi yang lumayan melelahkan. Pasalnya, selama ini saya terbiasa
menggunakan lensa zoom, dimana frame foto bisa saya atur sedemikian rupa tanpa
bersusah payah maju dan mundur. Namun, konon inilah seninya memotret dengan
lensa prime. Fotografer dilatih
menguasai teknik dan sense memotret,
tidak asal mengambil foto saja. Setelah terbiasa, jadilah duet Canon 1200D dan
lensa EF-50 mm 1.8 ini sebagai konfigurasi standar bagi kamera saya yang satu
ini. Canon 1200D bolehlah disebut kamera untuk para pemula, yang fiturnya
terbatas dan tidak canggih. Tetapi, saya yakin bisa mengoperasikannya lebih
dari itu. Dipadu dengan lensa yang berkualitas meski tak berharga mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar