Senin, 10 Desember 2018

Mendudukkan Scopus Pada Kursinya

Lagi, dan muncul kembali, sebuah tulisan opini yang membahas tentang Scopus -dan kawan-kawannya sesama indeks jurnal ilmiah di tingkat internasional. Kali ini, sebuah tulisan menarik bertitel “Calo Scopus” dari Prof. Deddy Mulyana yang terbit di salah satu harian nasional di pertengahan Desember 2018 ini. Scopus -dan kawan-kawannya- ini memang unik, penuh kontroversi, apalagi bila dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran etika penulisan publikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi di negeri kita ini. Lalu, tak jarang Scopus dipermasalahkan.
Sudah menjadi perkara umum ketika pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Riset, Teknologi dan DIKTI, dengan berbagai cara berupaya mendongkrak jumlah publikasi ilmiah di level internasional. Paling tidak, tujuan menjadikan angka publikasi ilmiah kita termasuk yang diperhitungkan di regio Asia Tenggara tercapai. Tak tanggung-tanggung upaya yang telah Kemenristekdikti lakukan. Bahkan platform pengindeks skala nasional pun dibuat, yakni dengan nama SINTA (Science and Technology Index). Konon, Sinta digagas dan dilahirkan agar kita bisa mendata atau ‘merangkul’ seluruh publikasi yang ditulis oleh para peneliti dan dosen di Indonesia tanpa terkecuali. Mungkin, agar tidak terjadi ‘kesalahan’ seperti yang dilakukan para pengindeks lain buatan luar negeri, semacam Scopus, yang sering luput mendata karya-karya tulis anak bangsa, sehingga seolah-olah para peneliti dan dosen di negeri kita ini tidak produktif.
Lalu, ada apa dengan Scopus? Mengapa ia menjadi momok dan lantas didakwa menjadi penyebab pelanggaran etika seseorang ketika meneliti dan menulis publikasi di level internasional? Tulisan Prof. Deddy Mulyana setidaknya sudah cukup bisa menjawabnya dan memberikan gambaran persoalan tentang Scopus. Namun, mungkin ada perlunya kita menilik kembali, apa sejatinya fungsi Scopus dan kawan-kawannya sesama pengindeks jurnal ilmiah. Ya, selama ini kita mempermasalahkan Scopus. Tetapi jangan-jangan kita sendiri yang salah menilai, memahami dan menggunakan platform pengindeks jurnal itu dari tujuan yang semestinya.
Yang pertama, sesuai dengan sebutannya sebagai pengindeks, Scopus bekerja untuk memperkenalkan karya-karya para peneliti atau dosen yang ditulis dalam sebentuk artikel kepada khalayak. Scopus itu hanya semacam etalase, yang memberikan deskripsi singkat tentang artikel yang kita tulis; lewat judulnya, nama dan afiliasi penulisnya, tahun dipublikasikannya, serta abstrak dari artikel tersebut. Dengan demikian, orang lain akan mengetahui bahwa sudah ada penelitian tentang ini dan itu, bahwa penelitian ini dan itu sudah diteliti oleh penulis A, B atau C, serta bahwa penelitian ini dan itu hasilnya seperti yang tertulis secara singkat dalam abstrak yang diuanggah. Layaknya etalase, semakin banyak tempat untuk ‘memamerkan’ barang dagangan itu, semakin luas pula peluang barang dagangan itu dilirik oleh calon pembeli. Sama. Bila satu artikel dimuat dalam sebuah jurnal yang diindeks oleh banyak pengindeks -tidak hanya Scopus, maka terbuka peluang artikel tersebut semakin luas persebarannya, semakin banyak calon pembacanya, sehingga ilmu yang terkandung di dalamnya semakin besar peluangnya diakses dan dipelajari oleh orang lain. InsyaAlloh semakin luas pula manfaat ilmu yang disampaikan lewat artikel itu untuk kemajuan umat manusia.
Sampai di sini, perlu diingat bahwa Scopus dan kawan-kawannya tadi hanyalah mesin yang mengupayakan semakin besarnya peluang sebuah artikel atau karya akan dibaca oleh lebih banyak peneliti atau dosen lain, terutama yang berkepentingan dengan bidang penelitian tersebut. Tidak ada jaminan suatu karya terindeks Scopus lantas menjadi karya yang bermutu. Bukan seperti itu Scopus dan kawan-kawannya bekerja. Kualitas sebuah artikel atau karya tulis ya terletak pada isi dan bagaimana sang penulis menyampaikan gagasan-gagasannya dalam artikel tersebut.
Kedua, Scopus dan kawan-kawannya itu, sebagai akibat dari fungsinya sebagai pendata karya ilmiah, akan membantu menciptakan branding atau label keahlian ilmiah yang melekat pada diri kita. Ya, branding keahlian akademik kita yang dibangun dari rekam jejak ilmiah atau track record penelitian yang kita lakukan. Karenanya, kita sendirilah yang memberikan seperti apa label kita, apakah kita seorang peneliti teknologi nanomaterial, green technology, energi terbarukan, dan sebagainya. Scopus akan mendaftar semua karya tulis kita yang diindeks olehnya, sehingga seseorang atau peneliti lain yang sekadar kepo sekalipun menjadi tahu siapa orang yang konsisten berkontribusi dalam pengembangan suatu bidang ilmu, berkat sederet artikel-artikel ilmiah karyanya yang dirangkum Scopus tadi. Lalu, kita pun akan tahu seperti apa perkembangan suatu ilmu yang ditekuni oleh seorang peneliti tadi, dengan siapa nantinya kita bisa berkolaborasi dalam riset, atau, mungkin saja, kepada siapa kita harus belajar tentang suatu ilmu.
Akhir kata, jangan sampai kita keliru memahami Scopus dan kawan-kawan pengindeks jurnal lainnya. Scopus tidaklah keliru, asalkan kita bisa mendudukan mereka pada kursi yang semestinya.

Selasa, 04 Desember 2018

Jenius, Apakah Itu Hasil Kerja Keras?


Konon, orang bilang jenius itu adalah hasil dari kerja keras, bukan muncul menyertai saat kita dilahirkan. Kalau demikian, berarti setiap orang bisa berpotensi menjadi jenius, tergantung pada usahanya, apakah dengan kerja keras atau tidak. Tetapi, kenyataannya kok tidak begitu ya. Sudah berusaha sekuat dan sekeras mungkin, tetapi tetap saja begitu-begitu saja pencapaiannya.

Benar, setiap orang itu berpotensi jenius. Sepakat, bahwa setiap orang bisa menjadi jenius. Ya, tinggal sekarang kita lihat dari sudut mana dulu. Barangkali kita tidak jenius manakala definisi jenius itu hanya dari satu sudut pandang dunia sains teknologi, sementara kita lebih tertarik, menyukai dan nyaman beraktivitas, bahkan ahli, di bidang administrasi dan surat-menyurat. Sekeras apapun usaha kita mempelajari teori mekanika atau tata surya, maka tidak akan cemerlang hasilnya lantaran kita sehari-hari lebih gandrung bahkan aktif berorganisasi dan berpartisipasi di panggung politik. Begitu pula sebaliknya.

Albert Einstein itu jenius. Setuju. Mungkin dia dulu juga bekerja keras untuk menelurkan teori relativitas yang mendunia hingga saat ini. Tetapi, apakah kejeniusannya hanya berasal dari kerja kerasnya saja? Tampaknya tidak ya. Dia punya bakat. Ya, bakat! Dan, bakat Einstein memang ada di bidang ilmu sains yang dia kembangkan. Makanya lahirlah teori relativitas. Juga, sederet ilmuwan-ilmuwan lain, mereka punya bakat, dan salah satu bakat terkuat yang memang mereka miliki adalah berpikir mendalam dan -sangat mungkin- menulis, sehingga bisa dipahami mereka bisa menghasilkan karya-karya yang tertuang dalam tulisan-tulisannya yang hebat.

Nah, kalau begitu, apakah ada orang yang menyandang gelar ilmuwan yang tidak, atau kurang, berbakat? Saya tidak berhak menjawabnya. Tetapi, setidaknya ada cara yang bisa kita pakai untuk mengenali bakat yang melekat pada diri seseorang, atau setidaknya pada kita sendiri. Adalah 4E, menurut Abah Rama Royani, penulis buku bertitel Talents Mapping. Apakah 4E itu? Adalah Enjoy, Easy, Excellent dan Earn.

Enjoy, berarti yang bersangkutan itu bisa asyik, masyuk menikmati aktivitas tertentu yang ia lakukan. Bahkan, ia kerap lupa waktu karena keasyikan mengerjakan aktivitas tersebut. Ia begitu menikmati satu demi satu tahapan pekerjaan atau aktivitasnya.

Easy maksudnya bahwa yang bersangkutan bisa melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dengan baik. Ia tidak tergagap-gagap mengerjakannya. Kalaupun tidak mudah dikerjakan atau ia menemui kesulitan, maka tidak akan terlalu melelahkan baginya untuk mempelajari dan mencari solusinya.

Excellent, maknanya bahwa yang bersangkutan mampu mendulang prestasi dari sebuah aktivitas yang ia lakukan. Prestasi tidak selalu identik dengan juara, melainkan sebuah kegemilangan yang ia hasilkan pada saat mengerjakan aktivitas tadi. Prestasi tak selalu berwujud piala, sertifikat, peringkat atau titel the best dan seterusnya. Hasil pekerjaan atau aktivitas yang sangat bagus dan membuatnya puas adalah indikasi bahwa kita bisa excellent. Dan, karena kegemilangan ini, banyak orang lantas mengandalkan dan mempercayai kita untuk mengerjakan aktivitas tersebut.

Yang terakhir, earn. Kebanyakan dari kita mengartikan earn dengan definisi bahwa yang bersangkutan mampu menghasilkan uang dari aktivitas yang dilakukan. Tidak salah. Namun, makna sebenarnya lebih luas. Earn adalah kemampuan seseorang untuk bisa menghasilkan karya. Ya, karya yang sesuai dengan aktivitas yang ia lakukan.

Adanya kombinasi dari 4E tadi menunjukkan bahwa kita sudah bekerja atau beraktivitas sesuai dengan bakat kita.

Kembali ke dalam konteks dunia ilmuwan yang saya sebut di atas. Berdasarkan 4E di atas, maka para ilmuwan berbakat adalah mereka-mereka yang bukan saja bisa mempelajari bidang yang ia tekuni, tetapi ia juga asyik, berprestasi dan mampu menghasilkan karya. Barangkali, ia tidak lagi akan terlalu berpikir bahwa ia mengerjakan aktivitas penelitian atau mengajarkan sesuatu karena keharusan untuk memenuhi jabatan atau pangkat tertentu di tempat ia bekerja. Urutan seharusnya adalah, bahwa jabatan atau pangkat itu akan mengikuti kiprah dan karya ilmuwan tertentu, sebagai bentuk penghargaan kepada yang bersangkutan. Ilmuwan berbakat mungkin sudah cukup puas manakala ia bisa menemukan rasa senang, mampu, prestasi serta karya dalam aktivitas atau pekerjaan akademik yang ditekuninya.

Pertanyaan selanjutnya, lalu apakah ada orang yang tidak jenius?

Sekali lagi, jika kita hanya memaknai bahwa jenius itu hanya identik dengan dunia sains dan dunia para ilmuwan, misalnya, ya kita yang berada di luar dunia itu bersiap-siap saja berkecil hati. Kita harus terima kenyataan bahwa kita bukan orang jenius. Tetapi, pada dasarnya kita dilahirkan dengan bakat masing-masing. Yang Maha Kuasa sebenarnya telah menginstal dalam diri kita sebuah software yang bernama bakat yang ternyata berbeda-beda kontennya. Hingga pada akhirnya, aplikasinya pun akan ketahuan berbeda-beda setelah kita dilahirkan dan tumbuh dewasa.

Setiap kita punya peran masing-masing, akibat bakat yang berbeda-beda tersebut. Tinggal kita mau atau tidak, memfokuskan diri pada bakat yang kita punya, sehingga lahirlah kekuatan unik pada diri kita. Atau sebaliknya, kita memaksakan memfokuskan diri pada sesuatu yang sebenarnya bukan bakat kita. Tentu, yang terakhir ini hanya akan menghasilkan kelelahan saja, setidaknya kelelahan pada jiwa kita, sekalipun kita berusaha keras menyangkalnya.

Pada akhirnya, kejeniusan bukanlah diperoleh dari kerja keras semata, tetapi lebih merupakan kombinasi antara bakat dan kerja. Kata ‘keras’ di belakang kata ‘kerja’ kadang tidak perlu diikutsertakan, karena biasanya orang yang berbakat akan merasa bahwa ia tidak perlu bekerja keras, tetapi ia memang menyenangi dan menikmati pekerjaan atau aktivitasnya itu, hingga ia bisa berprestasi dan menghasilkan karya.