Sabtu, 30 Mei 2020

Pak Subagio dalam Kenangan


Siang itu, akhir tahun 2005. Santap siang di warung makan Kopma UGM kala itu terasa nikmat sekali. Maklum, lapar. Di warung itu, harga sepiring nasi dan lauk untuk makan siang cukup bersahabat bagi kantong seorang mahasiswa era awal millennium. Murah dan banyak pula pilihan menu makanan yang disediakan. Meski saya sudah berstatus bukan mahasiswa lagi sejak lulus tiga bulan sebelumnya, warung makan Kopma UGM di belakang BNI UGM ini masih saja menjadi tempat tujuan saya untuk makan siang. Apalagi saat itu tugas sebagai asisten laboratorium di kampus tempat saya kuliah empat tahun terakhir masih tersematkan.

Tengah asyik berbincang sambil makan siang bersama pacar saya -alhamdulillah kini adalah istri saya- tiba-tiba handphone Siemens dekil saya berdering. Suara khas nada panggil telepon terdengar dari ponsel yang belum mempunyai fitur aplikasi semacam Whatsapp waktu itu. Panggilan telepon berasal dari nomor yang belum saya kenal saat itu. Saya angkat. Tiba-tiba suara seorang bapak-bapak terdengar, “Mas Budi, segera ke kampus. Ini ada rapat jurusan.” Saya mencoba mengenali suara itu dengan cepat, secepat saya harus mengiyakan permintaan bapak tersebut. Benar, saya mengenali suara itu. Itu suara Pak Subagio, dosen saya yang sudah tergolong sepuh di teknik mesin UGM di masa itu. 


Jujur saja, saya sebenarnya berada dalam keadaan setengah bingung. Saya harus segera memutuskan permintaan Pak Bagio, begitu saya sapa beliau, di tengah ketidaksiapan saya untuk sebuah rapat yang saya anggap sangat formal bagi saya. Ketika itu, rapat inilah sebuah rapat yang mengawali periode saya bekerja secara profesional. Saya canggung, saya tahu diri bahwa saya tidak pintar berkomunikasi di depan orang banyak, apalagi dengan kostum minimalis yang saya kenakan saat itu: hanya sepasang sepatu butut warna putih yang sudah pudar, sobek di beberapa bagian, plus jaket bonus pembelian sepeda motor bapak saya. Saya pun akhirnya datang, dengan wajah dan rasa tak percaya diri yang berusaha saya sembunyikan. Saya lawan rasa tidak pede itu ketika masuk ruang sidang, tempat rapat diselenggarakan. Saya duduk di pojok dan mulai mencoba memperkenalkan diri secara personal dengan bapak ibu dosen yang lain.


Saya ikut rapat. Rapat dosen untuk pertama kalinya. Ya, sekira awal November 2005 itu menjadi hari yang bersejarah bagi saya. Meski sudah tidak lagi menjadi ketua jurusan di teknik mesin, Pak Bagio-lah yang memperkenalkan saya di forum. Inilah salah satu momen paling berkesan bagi saya dengan beliau. 


Sebenarnya, perjumpaan saya pertama kali dengan Pak Bagio bisa ditarik sekitar empat tahun beberapa bulan sebelumnya. Yakni ketika saya baru seminggu duduk secara resmi sebagai mahasiswa S1 teknik mesin UGM. Cukup menggelikan momennya, namun tetap berkesan bagi saya. Hari itu Rabu pagi, kuliah perdana Menggambar Teknik bagi mahasiswa semester satu yang diampu oleh Pak Bagio. saya termasuk mahasiswa beliau di kelas tersebut. Awal cerita, saya sudah berangkat cukup pagi dari rumah, berharap pukul tujuh tepat sudah sampai di kelas untuk mengikuti kuliah. Namun, takdir berkata lain. 


Di perempatan Jetis, insiden itu terjadi. Gegara saya ingin mengambil jalan pintas agar cepat sampai kampus, saya menerobos divider jalan, mengambil sedikit jalan di lajur yang berlawanan. Priitt… tiba-tiba suara peluit menggelegar, bersamaan dengan datangnya seorang polisi. Ya, Pak Polisi menghampiri untuk menilang saya. Saya panik. Seumur-umur baru saat itulah saya ditilang. Lantaran harus mengurus surat-surat tilang, jadilah kuliah saya terlambat. Terlambatnya bukan hanya lima atau sepuluh menit, tetapi hanya menyisakan sepuluh menit saja dari keseluruhan jam kuliah pagi itu. Saya mencoba tenang dan tetap masuk ke kelas. Kuliah Pak Bagio tinggal menyisakan waktu bagi beliau untuk meng-absen semua mahasiswanya. Saya tetap masuk kelas dan memohon maaf atas keterlambatan yang teramat parah itu. Saya pasrah, kalaupun dimarahi, ya sudah, tidak apa-apa. Namun, ternyata Pak Bagio tetap tersenyum dan mempersilakan saya untuk duduk. Beliau pun tetap menganggap saya masuk dalam daftar presensi. Barangkali Pak Bagio maklum, anak baru, masih kinyis-kinyis, baru lulus SMA, ikut kuliah telat. Dimaklumi saja, hahahaa…


Selang beberapa tahun di semester-semester akhir masa kuliah S1 saya, pengalaman unik juga saya alami saat berinteraksi dengan Pak Bagio. Pembawaan Pak Bagio sejak dulu saya anggap berwibawa di hadapan para mahasiswa. Ada rasa sungkan. Termasuk dalam peristiwa ketika saya ‘usil’ membuka dan melihat daftar kehadiran dosen di ruang tata usaha, memastikan apakah kuliah yang diajarkan oleh salah satu dosen hari itu isi atau kosong. Tiba-tiba Pak Bagio masuk ke ruangan itu, dan menegur saya. Ujar beliau, saya tidak berhak tahu kehadiran dosen. Kaget sekali saya ditegur. Sambil meminta maaf saya pun undur diri dari handapan beliau. Tetapi setelah saya pikir panjang, akhirnya saya sadar, bahwa sayalah yang salah. Kadangkala karena ingin tahu sesuatu, kita mengambil jalan yang tidak semestinya kita tempuh, tidak benar secara prosedur. Apa haknya seorang mahasiswa tanpa seizin dosen melihat kehadiran dosen yang bersangkutan. Bukankah presensi itu sebenarnya adalah perkara privat yang hanya boleh diakses oleh yang bersangkutan dan pemeriksanya? Pak Bagio mengajarkan saya tentang ini.


Perjalanan hidup membawa saya menjadi lebih sering berinteraksi dengan Pak Bagio di tahun 2006 hingga 2011. Selepas diterima menjadi dosen di teknik mesin, saya ditunjuk menjadi anggota tim yang dipimpin Pak Bagio sendiri untuk merevisi kurikulum teknik mesin UGM. Dari sinilah saya sekali lagi mengenal sosok Pak Bagio dan belajar beberapa hal dari beliau. Misal, tentang visi beliau tentang pendidikan teknik mesin yang seharusnya. Pak Bagio yang merancang grand-design kurikulum, sementara para dosen yang lain hanya melengkapi dan mengkoreksi apabila ada yang kurang. 


Interaksi berlanjut ketika saya akhirnya kecemplung masuk di program rekayasa biomedis, Sekolah Pasca Sarjana UGM untuk menempuh S2. Pak Bagio adalah salah satu founding figures program yang sama sekali gress, sangat baru ini di UGM. Beliaulah tokoh di balik program ini dan saya menjadi salah satu mahasiswa pertama, pilot student, ‘kelinci percobaan’ selain dua kawan saya dari fakultas kedokteran dan kedokteran gigi. Banyak ketidakpastian di program yang berlangsung selama tahun 2006-2008 ini. Namun, Pak Bagio bersama tiga dosen utama lainnya tampaknya cukup gigih mempertahankan program ini agar berhasil. Di masa perdana ini, program pasca sarjana rekayasa biomedis dicangklongkan dengan program serupa yang dipunggawai enam universitas Asia dan Eropa. Ada Ghent University (Belgia), University of Groningen (Belanda), Leeds University (Inggris), Indian Institute of Technology (India), ITB dan UGM (Indonesia). Pada episode inilah saya lebih banyak berinteraksi dengan Pak Bagio, sekalipun interaksi itu masih layaknya dosen dan mahasiswanya, senior dan juniornya. Saya menghormati beliau, sebagai dosen saya, sebagai senior saya. Meski begitu, di episode inilah saya menjadi lebih banyak tahu tentang sisi-sisi humor dalam kehidupan beliau. Seingat saya, beberapa kali tim dosen di kampus bingung dengan apa yang harus mereka lakukan dalam mengelola program S2 baru yang saya ikuti. Banyak kali, Pak Bagio tampil sebagai problem solver-nya. Tidak dengan wajah tegang, tetapi dengan cara beliau sendiri yang sering lucu dan membuat orang tertawa. Tepatnya, mungkin kalau boleh saya sebut Pak Bagio punya jurus “menggampangkan masalah” untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Tetapi uniknya, ternyata solusi yang ditawarkan Pak Bagio seringkali berhasil! Agustus 2008, program S2 dengan skema program kerjasama internasional enam universitas pun berakhir dan ditutup di Delhi, India. Alhamdulillah, saya pun mampu menyelesaikan program ini tanpa meninggalkan sisa tugas yang harus disusulkan. Ada raut senang yang saya tangkap dari Pak Bagio, mengetahui juniornya bisa membereskan tugas sebagai pilot student ini tepat pada waktunya.


Waktu terus berlalu, membawa saya di era tahun 2009 hingga 2011. Yang teringat di tahun 2009 adalah, sebuah “pembelaan” dari Pak Bagio dalam sebuah forum di kampus. Cerita berawal dari sebuah diskusi untuk memetakan potensi dan kelanjutan studi staf pengajar di kampus. Saya, ketika itu, masih belum kunjung juga mendapatkan beasiswa untuk lanjut studi S3. Dalam forum, sempat dibahas, bagaimana apabila para dosen muda ini diminta segera sekolah, walaupun di kampus sendiri. Jujur, sejak berjibaku sebagai mahasiswa S2, saya merasa tidak terlalu nyaman ‘sekolah di kandang sendiri’. Saya ingin merantau ke negeri lain, hingga saya bisa belajar banyak di luar sana. Sangat tidak nyaman perasaan saya ketika mengikuti forum diskusi itu. Namun, Pak Bagio tampil di forum itu. Tanpa ada diskusi awal dengan saya, seolah beliau tahu isi hati saya. “Saya kira, untuk Mas Budi biarkan saja mencari sekolah sendiri dulu. Dia masih muda, masih banyak waktu.” begitu kira-kira kata-kata Pak Bagio yang saya ingat. Sebuah pembelaan bagi saya, hehehe… 


Jika pembaca sempat mengikuti kisah saya di tahun 2010-2011, ada perjalanan hidup yang berkesan bagi saya. Ceritanya bisa disimak di link ini. Singkat cerita, saya pulang kembali ke Indonesia setelah tidak berhasil melanjutkan program S3 saya di University of Groningen. Saya pulang dan kembali ke kampus tanpa membawa hasil atau capaian akademik sesuai harapan pada awal April 2011. Ya, kepulangan saya pun mungkin mengawali masa yang sedikit sulit hingga tiga bulan ke depannya. Saya tidak punya jadwal mengajar, karena saya datang tidak di awal semesteran. Praktis tidak ada kegiatan yang wajib saya lakukan di kampus ketika itu. Namun, saya masih punya tim riset yang menjadi tempat saya berkreasi kembali di masa yang relatif sulit itu. Saya jalankan agenda riset saya yang sempat tertunda karena studi tak selesai saya di tahun 2010 di Belanda. Selebihnya, tidak ada kegiatan lain. Di tengah situasi ini, tiba-tiba saja sebuah pesan singkat masuk ke handphone saya. Dari Pak Bagio. Sebuah permintaan untuk menggantikan jam mengajar beliau tentang sistematika desain. Pak Bagio memberikan ‘jatah’ mengajar beliau ke saya, hingga saya pun bisa masuk dan mengajar di kelas. Ketika saya konfirmasi permintaan beliau ini secara langsung, ada semburat kepercayaan beliau kepada saya untuk mengampu kuliah ini. Inilah jiwa besar Pak Bagio yang saya rasakan bagi saya. Beliau percaya kepada saya, lantaran beliaulah saksi bahwa saya dulu pernah mengambil dan menyelesaikan kuliah sistematika desain ketika S2 lalu.


30 November 2019. Tanggal inilah yang saya ingat sebagai momen terakhir bertemu Pak Bagio. Pertemuan tak sengaja di jalan menuju parkiran motor dan mobil pada acara resepsi kawan yang sedang digelar. Saya bersalaman, saling tersenyum menanyakan kabar masing-masing. Sejak itu, kami tak pernah bersua lagi. Hingga tersiar kabar Alloh Yang Maha Kuasa memanggilnya kembali ke haribaanNya pada 17 Mei 2020 silam. Cerita yang lumayan panjang ini lalu meletup seusai sholat tarawih malam hari itu, teringat masa-masa bersama beliau. Semoga Pak Bagio kembali dalam kedamaian, mendapatkan ampunan dan rahmat dari Alloh Swt, serta mendapatkan balasan atas semua kebaikan-kebaikan yang pernah beliau lakukan. Mungkin, cerita ini subjektif, berangkat murni dari pengalaman saya bersama beliau. Tetapi, semoga saja cerita ini adalah salah satu saksi atas kebaikan-kebaikan beliau. Selamat jalan, Pak Bagio…