Siang itu, akhir tahun 2005. Santap
siang di warung makan Kopma UGM kala itu terasa nikmat sekali. Maklum, lapar.
Di warung itu, harga sepiring nasi dan lauk untuk makan siang cukup bersahabat bagi
kantong seorang mahasiswa era awal millennium. Murah dan banyak pula pilihan menu
makanan yang disediakan. Meski saya sudah berstatus bukan mahasiswa lagi sejak
lulus tiga bulan sebelumnya, warung makan Kopma UGM di belakang BNI UGM ini
masih saja menjadi tempat tujuan saya untuk makan siang. Apalagi saat itu tugas
sebagai asisten laboratorium di kampus tempat saya kuliah empat tahun terakhir masih
tersematkan.
Tengah asyik berbincang sambil
makan siang bersama pacar saya -alhamdulillah kini adalah istri saya-
tiba-tiba handphone Siemens dekil saya berdering. Suara khas nada
panggil telepon terdengar dari ponsel yang belum mempunyai fitur aplikasi semacam
Whatsapp waktu itu. Panggilan telepon berasal dari nomor yang belum saya kenal
saat itu. Saya angkat. Tiba-tiba suara seorang bapak-bapak terdengar, “Mas
Budi, segera ke kampus. Ini ada rapat jurusan.” Saya mencoba mengenali suara
itu dengan cepat, secepat saya harus mengiyakan permintaan bapak tersebut. Benar,
saya mengenali suara itu. Itu suara Pak Subagio, dosen saya yang sudah tergolong
sepuh di teknik mesin UGM di masa itu.
Jujur saja, saya sebenarnya
berada dalam keadaan setengah bingung. Saya harus segera memutuskan permintaan
Pak Bagio, begitu saya sapa beliau, di tengah ketidaksiapan saya untuk sebuah rapat
yang saya anggap sangat formal bagi saya. Ketika itu, rapat inilah sebuah rapat
yang mengawali periode saya bekerja secara profesional. Saya canggung, saya tahu
diri bahwa saya tidak pintar berkomunikasi di depan orang banyak, apalagi
dengan kostum minimalis yang saya kenakan saat itu: hanya sepasang sepatu butut
warna putih yang sudah pudar, sobek di beberapa bagian, plus jaket bonus pembelian
sepeda motor bapak saya. Saya pun akhirnya datang, dengan wajah dan rasa tak
percaya diri yang berusaha saya sembunyikan. Saya lawan rasa tidak pede
itu ketika masuk ruang sidang, tempat rapat diselenggarakan. Saya duduk di
pojok dan mulai mencoba memperkenalkan diri secara personal dengan bapak ibu
dosen yang lain.
Saya ikut rapat. Rapat dosen
untuk pertama kalinya. Ya, sekira awal November 2005 itu menjadi hari yang
bersejarah bagi saya. Meski sudah tidak lagi menjadi ketua jurusan di teknik
mesin, Pak Bagio-lah yang memperkenalkan saya di forum. Inilah salah satu momen
paling berkesan bagi saya dengan beliau.
Sebenarnya, perjumpaan saya pertama
kali dengan Pak Bagio bisa ditarik sekitar empat tahun beberapa bulan
sebelumnya. Yakni ketika saya baru seminggu duduk secara resmi sebagai
mahasiswa S1 teknik mesin UGM. Cukup menggelikan momennya, namun tetap berkesan
bagi saya. Hari itu Rabu pagi, kuliah perdana Menggambar Teknik bagi mahasiswa semester
satu yang diampu oleh Pak Bagio. saya termasuk mahasiswa beliau di kelas
tersebut. Awal cerita, saya sudah berangkat cukup pagi dari rumah, berharap
pukul tujuh tepat sudah sampai di kelas untuk mengikuti kuliah. Namun, takdir
berkata lain.
Di perempatan Jetis, insiden itu
terjadi. Gegara saya ingin mengambil jalan pintas agar cepat sampai kampus,
saya menerobos divider jalan, mengambil sedikit jalan di lajur yang
berlawanan. Priitt… tiba-tiba suara peluit menggelegar, bersamaan dengan
datangnya seorang polisi. Ya, Pak Polisi menghampiri untuk menilang saya. Saya
panik. Seumur-umur baru saat itulah saya ditilang. Lantaran harus mengurus
surat-surat tilang, jadilah kuliah saya terlambat. Terlambatnya bukan hanya
lima atau sepuluh menit, tetapi hanya menyisakan sepuluh menit saja dari
keseluruhan jam kuliah pagi itu. Saya mencoba tenang dan tetap masuk ke kelas.
Kuliah Pak Bagio tinggal menyisakan waktu bagi beliau untuk meng-absen semua
mahasiswanya. Saya tetap masuk kelas dan memohon maaf atas keterlambatan yang
teramat parah itu. Saya pasrah, kalaupun dimarahi, ya sudah, tidak apa-apa.
Namun, ternyata Pak Bagio tetap tersenyum dan mempersilakan saya untuk duduk. Beliau
pun tetap menganggap saya masuk dalam daftar presensi. Barangkali Pak Bagio
maklum, anak baru, masih kinyis-kinyis, baru lulus SMA, ikut kuliah telat.
Dimaklumi saja, hahahaa…
Selang beberapa tahun di
semester-semester akhir masa kuliah S1 saya, pengalaman unik juga saya alami saat
berinteraksi dengan Pak Bagio. Pembawaan Pak Bagio sejak dulu saya anggap
berwibawa di hadapan para mahasiswa. Ada rasa sungkan. Termasuk dalam peristiwa
ketika saya ‘usil’ membuka dan melihat daftar kehadiran dosen di ruang tata
usaha, memastikan apakah kuliah yang diajarkan oleh salah satu dosen hari itu
isi atau kosong. Tiba-tiba Pak Bagio masuk ke ruangan itu, dan menegur saya. Ujar
beliau, saya tidak berhak tahu kehadiran dosen. Kaget sekali saya ditegur.
Sambil meminta maaf saya pun undur diri dari handapan beliau. Tetapi setelah
saya pikir panjang, akhirnya saya sadar, bahwa sayalah yang salah. Kadangkala
karena ingin tahu sesuatu, kita mengambil jalan yang tidak semestinya kita
tempuh, tidak benar secara prosedur. Apa haknya seorang mahasiswa tanpa seizin
dosen melihat kehadiran dosen yang bersangkutan. Bukankah presensi itu
sebenarnya adalah perkara privat yang hanya boleh diakses oleh yang
bersangkutan dan pemeriksanya? Pak Bagio mengajarkan saya tentang ini.
Perjalanan hidup membawa saya menjadi
lebih sering berinteraksi dengan Pak Bagio di tahun 2006 hingga 2011. Selepas
diterima menjadi dosen di teknik mesin, saya ditunjuk menjadi anggota tim yang
dipimpin Pak Bagio sendiri untuk merevisi kurikulum teknik mesin UGM. Dari
sinilah saya sekali lagi mengenal sosok Pak Bagio dan belajar beberapa hal dari
beliau. Misal, tentang visi beliau tentang pendidikan teknik mesin yang
seharusnya. Pak Bagio yang merancang grand-design kurikulum, sementara
para dosen yang lain hanya melengkapi dan mengkoreksi apabila ada yang kurang.
Interaksi berlanjut ketika saya
akhirnya kecemplung masuk di program rekayasa biomedis, Sekolah Pasca Sarjana
UGM untuk menempuh S2. Pak Bagio adalah salah satu founding figures
program yang sama sekali gress, sangat baru ini di UGM. Beliaulah tokoh di
balik program ini dan saya menjadi salah satu mahasiswa pertama, pilot
student, ‘kelinci percobaan’ selain dua kawan saya dari fakultas kedokteran
dan kedokteran gigi. Banyak ketidakpastian di program yang berlangsung selama tahun
2006-2008 ini. Namun, Pak Bagio bersama tiga dosen utama lainnya tampaknya
cukup gigih mempertahankan program ini agar berhasil. Di masa perdana ini,
program pasca sarjana rekayasa biomedis dicangklongkan dengan program serupa
yang dipunggawai enam universitas Asia dan Eropa. Ada Ghent University
(Belgia), University of Groningen (Belanda), Leeds University (Inggris), Indian
Institute of Technology (India), ITB dan UGM (Indonesia). Pada episode inilah
saya lebih banyak berinteraksi dengan Pak Bagio, sekalipun interaksi itu masih
layaknya dosen dan mahasiswanya, senior dan juniornya. Saya menghormati beliau,
sebagai dosen saya, sebagai senior saya. Meski begitu, di episode inilah saya
menjadi lebih banyak tahu tentang sisi-sisi humor dalam kehidupan beliau. Seingat
saya, beberapa kali tim dosen di kampus bingung dengan apa yang harus mereka
lakukan dalam mengelola program S2 baru yang saya ikuti. Banyak kali, Pak Bagio
tampil sebagai problem solver-nya. Tidak dengan wajah tegang, tetapi
dengan cara beliau sendiri yang sering lucu dan membuat orang tertawa.
Tepatnya, mungkin kalau boleh saya sebut Pak Bagio punya jurus “menggampangkan
masalah” untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Tetapi uniknya, ternyata
solusi yang ditawarkan Pak Bagio seringkali berhasil! Agustus 2008, program S2 dengan
skema program kerjasama internasional enam universitas pun berakhir dan ditutup
di Delhi, India. Alhamdulillah, saya pun mampu menyelesaikan program ini
tanpa meninggalkan sisa tugas yang harus disusulkan. Ada raut senang yang saya
tangkap dari Pak Bagio, mengetahui juniornya bisa membereskan tugas sebagai pilot
student ini tepat pada waktunya.
Waktu terus berlalu, membawa saya
di era tahun 2009 hingga 2011. Yang teringat di tahun 2009 adalah, sebuah “pembelaan”
dari Pak Bagio dalam sebuah forum di kampus. Cerita berawal dari sebuah diskusi
untuk memetakan potensi dan kelanjutan studi staf pengajar di kampus. Saya, ketika
itu, masih belum kunjung juga mendapatkan beasiswa untuk lanjut studi S3. Dalam
forum, sempat dibahas, bagaimana apabila para dosen muda ini diminta segera
sekolah, walaupun di kampus sendiri. Jujur, sejak berjibaku sebagai mahasiswa
S2, saya merasa tidak terlalu nyaman ‘sekolah di kandang sendiri’. Saya ingin
merantau ke negeri lain, hingga saya bisa belajar banyak di luar sana. Sangat
tidak nyaman perasaan saya ketika mengikuti forum diskusi itu. Namun, Pak Bagio
tampil di forum itu. Tanpa ada diskusi awal dengan saya, seolah beliau tahu isi
hati saya. “Saya kira, untuk Mas Budi biarkan saja mencari sekolah sendiri dulu.
Dia masih muda, masih banyak waktu.” begitu kira-kira kata-kata Pak Bagio yang
saya ingat. Sebuah pembelaan bagi saya, hehehe…
Jika pembaca sempat mengikuti
kisah saya di tahun 2010-2011, ada perjalanan hidup yang berkesan bagi saya.
Ceritanya bisa disimak di link ini. Singkat cerita, saya pulang kembali ke
Indonesia setelah tidak berhasil melanjutkan program S3 saya di University of
Groningen. Saya pulang dan kembali ke kampus tanpa membawa hasil atau capaian
akademik sesuai harapan pada awal April 2011. Ya, kepulangan saya pun mungkin mengawali
masa yang sedikit sulit hingga tiga bulan ke depannya. Saya tidak punya jadwal
mengajar, karena saya datang tidak di awal semesteran. Praktis tidak ada kegiatan
yang wajib saya lakukan di kampus ketika itu. Namun, saya masih punya tim riset
yang menjadi tempat saya berkreasi kembali di masa yang relatif sulit itu. Saya
jalankan agenda riset saya yang sempat tertunda karena studi tak selesai saya
di tahun 2010 di Belanda. Selebihnya, tidak ada kegiatan lain. Di tengah
situasi ini, tiba-tiba saja sebuah pesan singkat masuk ke handphone
saya. Dari Pak Bagio. Sebuah permintaan untuk menggantikan jam mengajar beliau
tentang sistematika desain. Pak Bagio memberikan ‘jatah’ mengajar beliau ke
saya, hingga saya pun bisa masuk dan mengajar di kelas. Ketika saya konfirmasi
permintaan beliau ini secara langsung, ada semburat kepercayaan beliau kepada
saya untuk mengampu kuliah ini. Inilah jiwa besar Pak Bagio yang saya rasakan
bagi saya. Beliau percaya kepada saya, lantaran beliaulah saksi bahwa saya dulu
pernah mengambil dan menyelesaikan kuliah sistematika desain ketika S2 lalu.
30 November 2019. Tanggal inilah
yang saya ingat sebagai momen terakhir bertemu Pak Bagio. Pertemuan tak sengaja
di jalan menuju parkiran motor dan mobil pada acara resepsi kawan yang sedang
digelar. Saya bersalaman, saling tersenyum menanyakan kabar masing-masing. Sejak
itu, kami tak pernah bersua lagi. Hingga tersiar kabar Alloh Yang Maha Kuasa
memanggilnya kembali ke haribaanNya pada 17 Mei 2020 silam. Cerita yang lumayan
panjang ini lalu meletup seusai sholat tarawih malam hari itu, teringat masa-masa
bersama beliau. Semoga Pak Bagio kembali dalam kedamaian, mendapatkan ampunan
dan rahmat dari Alloh Swt, serta mendapatkan balasan atas semua kebaikan-kebaikan
yang pernah beliau lakukan. Mungkin, cerita ini subjektif, berangkat murni dari
pengalaman saya bersama beliau. Tetapi, semoga saja cerita ini adalah salah
satu saksi atas kebaikan-kebaikan beliau. Selamat jalan, Pak Bagio…