Minggu, 28 Juni 2020

Kaca Film atau Film Kaca?

Bahasa aslinya: automotive window film. Kalau diterjemahkan, simpelnya: lapisan tipis jendela mobil. Kata 'lapisan tipis' mungkin lebih keren dan ringkas bila tetap ditulis dengan kata 'film'. Nah, entah bagaimana terjemahan window film menjadi kaca film? Bukannya kata benda dan subjeknya adalah kata 'film', bukan 'kaca'? Tetapi, ya sudahlah, memang banyak terjemahan istilah yang tidak tepat di bahasa kita sehari-hari. Hehehe..


Tentang film kaca, agenda saya selanjutnya berkaitan dengan restorasi mobil tua harian saya adalah penggantian lapisan tipis ini. Selama enam bulan lebih mengoperasikan mobil ini, kabin terasa panas di siang hari. Usut punya usut, ya karena efek rumah kaca, dimana radiasi sinar matahari dengan mudahnya masuk dan memanasi kabin, tetapi panas ini lalu terperangkap dan tidak bisa menembus dinding dan kaca mobil. Menghidupkan AC langsung pada saat situasi yang pengap itu rasanya terlalu berat bebannya. Pernah suatu ketika, saya coba mencari tirai penutup untuk meredakan tingginya temperatur kabin di siang hari. Namun, setelah berpikir ulang, saya urungkan membeli barang ini.

Akhirnya, solusi penggantian film kaca ini saya pilih, setelah tentunya menabung dulu karena harga yang lumayan menguras kantong. Pertimbangan lain adalah, film kaca ini mempengaruhi visibilitas atau pandangan saya saat mengemudi mobil. Film kaca yang terpasang selama ini sudah bisa dikatakan usang. Banyak lekukan-lekukan karena terkelupas, terutama di bagian windshield atau kaca jendela depan. Akibatnya, pandangan sering terganggu. Demikian pula usangnya film ini membuat silau karena tak mampu mereduksi pendaran sorot lampu kendaraan lain di malam hari.


Tibalah saat penggantian film kaca. Secara umumnya sederhana. Film kaca lama dilepas, lalu kaca dibersihkan. Kemudian, film baru dipasang. Kalau lancar, mungkin prosesnya hanya dua jam saja, perkiraan saya lho ya... Hanya saja, kesulitan bisa ditemui saat melepas film lama akibat film yang terlalu tua, sehingga teramat lengket pada kaca. 

Ya, ada juga yang bilang, film kaca ini pilihan masing-masing pemilik mobil. Bahkan, ada pula yang tidak menghendaki mobilnya dipasangi film kaca, sehingga tampak detil interiornya. Ada pula yang memasangnya, namun alakadarnya. Ada pula yang mengejar gengsi merek tertentu. Namun, apapun itu, semua kembali pada pilihan masing-masing pemilik mobil, termasuk pertimbangan budget atau ketersediaan dana. Bukankah mobil itu adalah representasi pemiliknya sendiri?

Selasa, 16 Juni 2020

Throwback 2019 (2): Ritech Expo 2019


Melanjutkan cerita perdana Throwback 2019 yang lalu, di tulisan ini saya hadirkan judul Ritech Expo 2019. Ritech Expo 2019 adalah sebuah perhelatan pameran akbar tahunan yang digelar oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). Tahun 2019, Ritech mengambil tempat di Lapangan Renon, Denpasar, Bali. Karena ketua grup riset kami, Pak Suyitno, sedang berhalangan hingga tidak bisa menghadiri pameran tersebut, jadilah saya yang berangkat membawa bendera grup riset CIMEDs kami ke Denpasar. 


Jujur saja, ini pengalaman saya pertama kali mengikuti perhelatan pameran. Saya sempat berujar ke Pak Yitno, bahwa saya ada rasa tidak pede, gugup untuk datang membawa bendera CIMEDs di pameran tingkat nasional seperti ini. Tapi, Pak Yitno selalu meyakinkan saya: bisa, Bud!

Pameran ini digelar selama empat hari, sejak 25 hingga 28 Agustus 2019. Namun, saya hanya bisa datang dan berada di stan pameran di hari pertama saja, karena pada hari berikutnya saya harus segera bertolak ke Bandar Lampung untuk mewakili CIMEDs sebagai keynote speaker di sebuah seminar internasional.


Hari pertama pameran memang cukup ramai. Banyak hal baru yang saya temui, termasuk bertemu dengan beberapa rekan yang mempunyai stan dengan konten mirip-mirip dengan CIMEDs. Ya, bidang teknologi kedokteran memang sedang naik daun dan beberapa universitas dan Lembaga riset ikut meramaikan bidang ini. Lumayan menghibur, karena dengannya bisa sedikit banyak saling bercerita tentang aktivitas riset yang dilakukan. 

Pengunjung Ritech 2019 ini memang beragam. Kebanyakan orang awam. Apalagi di hari pertama, hari Minggu, Lapangan Renon menjadi salah satu destinasi tempat olahraga masyarakat Denpasar. Setelah berolahraga di pagi harinya, banyak dari mereka yang menyempatkan diri berkunjung ke stan-stan pameran. Karena heterogenitas latar belakang pengunjung inilah, kemampuan berkomunikasi dengan orang awam tentang hasil-hasil riset yang umumnya sangat akademis nuansanya menjadi penting. Di sinilah saya belajar langsung mempraktikkan model komunikasi untuk awam. Ada pengunjung yang biasa-biasa saja responnya, bahkan malah tampak takut kalau saya dekati untuk menjelaskan, hahaha… Namun, banyak pula yang antusias, termasuk seorang wartawan media cetak nasional yang sangat menyenangkan dan cair ketika saya mengajaknya berdiskusi. 


Ya, Ritech 2019 inilah salah satu kenangan manis saya. Membawa bendera CIMEDs ke kancah nasional. Meski di kandang sendiri mungkin CIMEDs tidak begitu didengar, tetapi berupaya sebaik-baiknya agar grup ini bermanfaat dan akhirnya bisa melambai benderanya di kancah yang lebih besar, mungkin adalah suatu hal yang tetap harus disyukuri.