Rabu, 30 September 2020

Ford v Ferrari

Tak mengherankan jika kemudian film "Ford v Ferrari" menjadi salah satu film terbaik tahun 2019. Dua penghargaan Oscar diraih, untuk kategori film dan sound editing terbaik. Namun, ada yang lebih dari itu.
 

Ending cerita film ini berkisah tentang kebesaran hati legenda balap mobil Ken Miles yang rela laju mobilnya dikurangi agar dapat membersamai dua rekan setimnya menyentuh garis finis. Kala itu, Ken Miles sudah berada di atas angin, tak terkejar lagi dalam ajang balap Le Mans tahun 1966 bersama tim Ford. Ia bahkan mengalahkan Ferrari yang selalu menjadi pemenang di era itu. 

Usai menyentuh garis finis, piala sebagai pemenang ternyata tidak jatuh kepada Miles, namun kepada rekan setimnya yang ia bersamai di akhir lintasan balap. Usut punya usut, ternyata permintaan memperlambat laju mobil ini hanyalah "tipuan"  dari manajer balap Ford, yang memang tidak suka dengan kehadiran Miles. 

Kecewa. Jengkel. Tentu saja. Raut emosi Miles pun digambarkan seperti itu dalam ending film tersebut. Sudah berbaik hati, namun ditikam dari belakang. Miles pada akhirnya bisa menguasai emosi dirinya. Tidak semua orang bisa berbesar hati dan dapat menerima hal semacam ini. Namun, yang jelas, emas tetaplah emas, sekalipun ia dikubur dalam-dalam, ditutup-tutupi serapat-rapatnya. Ia tetaplah cemerlang.

Kamis, 17 September 2020

Overhaul!

Hingga sejauh ini, barangkali upaya merestorasi mobil setengah tua saya yang paling menguras isi dompet adalah pada saat Si SimplyCity, panggilan saya pada mobil ini, harus di-overhaul transmisi matiknya. Episode ini terjadi di awal tahun 2020. Tidak hanya menguras sebagian besar isi tabungan, tetapi juga mengagetkan lantaran saya tak pernah menduga, apalagi merencanakan, untuk melakukan ‘turun mesin’ pada mobil yang baru satu setengah bulan membersamai langkah saya waktu itu.

Awal ceritanya begini. Suatu pagi, mobil ini masih tampak sehat-sehat saja. Bahkan, saya pun sangat merasa percaya diri dengan kondisi Si City ini. Apalagi setelah membaca sebuah ulasan di internet, bahwa Si City Type Z ini punya tenaga sebesar 115 HP, terbesar di kelasnya. Kalaupun diadu dengan mobil-mobil baru saat ini, masih cukup bertaji. Dalam perjalanan, saya pun sempat menggeber mesinnya hingga 80 km/jam. Kecepatan segini bagi para racer mungkin belumlah seberapa, tapi bagi saya adalah sebuah capaian. Inilah pertama kali ‘ngebut’ dengan mobil, hehehe… Masalah muncul bukan pada saat memacu mobil pada kecepatan itu, melainkan pada saat mobil akan dijalankan lagi setelah diparkir sesampainya di tempat tujuan.

Mekanik sedang membongkar transmisi matik Si City

Sekira pukul setengah Sembilan pagi, mobil tak mau berjalan maju sama sekali. Mesin sudah digeber, hingga sampai putaran cukup tinggi. Tetapi, tidak ada energi yang kunjung tersalurkan pada roda-rodanya. Si City sempat saya matikan sebentar mesinnya. Akhirnya, ia mau berjalan dan melaju ke depan. Entahlah apa penyebabnya, ketika itu saya tak bisa menemukan jawabnya. Mesin Si City ini rasanya sehat-sehat saja, tak pernah saya temui ada gejala raungannya tidak normal. Tak berpikir panjang, saya langsung membawanya ke bengkel. Alhamdulillah, Si City sempat kooperatif hingga tinggal beberapa kilometer saja dari lokasi bengkel. Ia sempat mogok lagi, tetapi dengan trik saya matikan mesin terlebih dahulu, ia pun mau bergegas berjalan lagi. 

Jeroan transmisi matik Si City

Sesampai di bengkel, tim mekanik pun sebenarnya tak langsung tahu problem yang mendera Si SimplyCity. Mobil ini hanya dicek dan dibersihkan bagian-bagian mesinnya. Hampir tiga jam saya tunggui, hingga akhirnya saya bawa Si City ini keluar bengkel lagi dan dinyatakan sudah baik. Keadaan memang membaik, namun ternyata tak berlangsung lama. Ia kehilangan traksi lagi saat digeber melaju. Saya putuskan kembali ke bengkel seusai Sholat Jumat di hari itu. 

Kali ini, mungkin mekanik bengkel tidak mau ‘kecolongan’ lagi. Test-driver bengkel pun turun tangan. Ia mengajak saya menguji dan membuktikan problem yang mendera mobil ini. Si City digeber dengan kecepatan tinggi. Awalnya ia biasa-biasa saja. Namun akhirnya ia ketahuan juga sikap tak kooperatifnya, bahkan ia sempat mogok dan harus restart agar bisa berjalan lagi. Test-drive ini berhasil menguak bahwa masalah Si City ternyata ada pada sektor transmisi matiknya, terindikasi dari gejala-gejalanya itu, terutama kehilangan traksi beberapa kali walaupun sudah digas hingga putaran tinggi. Solusi satu-satunya adalah overhaul transmisi matiknya tersebut. Ya, turun mesin!

Jujur, mendengar kata turun mesin dan perkiraan biayanya, saya terkejut bukan main. Tanpa menyebut harga, bila ditotal, biaya overhaul ini mencapai hampir seperempat harga Si City. Tapi tidak ada solusi lain. Saya tetap harus merelakan kocek tabungan saya lagi. Proses reparasi transmisi ini pun tidak sebentar, butuh waktu hingga satu bulan! Cukup lama bagi saya yang masih sangat menikmati mengendarai Si City, mobil impian say aitu.

Satu bulan kemudian, reparasi Si City pun selesai. Saya datang ke bengkel untuk menjemputnya. Ada rasa haru juga begitu melihat Si City mulai menampakkan diri di sela-sela mobil-mobil muda yang tengah diservis di bengkel. Penantian yang cukup lama, at least bagi saya sebulan tak bertemu mobil saya ini rasanya lama. Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa merawat mobil tua itu perlu kesabaran, bukan hanya dana tetapi juga waktu. Namun, di balik beragam kerusakan, proses reparasi dan restorasinya, saya menjadi paham tentang seluk beluk permobilan, baik mesin, konstruksi maupun printilan-printilan kecilnya. Lain halnya, mungkin, bila saya mengadopsi mobil yang sama sekali baru; bisa jadi saya masih hanya menikmati mengendarainya saja, sementara tidak terlalu banyak tahu masalah-masalah atau sistem-sistem mekanik maupun elektrik yang ada pada sebuah kendaraan beroda empat ini.