Sabtu, 20 November 2021

Honest Thief

Liam Neeson mungkin adalah salah satu aktor yang saya suka terutama ketika ia memerankan tokoh protagonis yang ke-bapak-bapak-an, dewasa, cerdas, tenang tetapi tangguh dan hebat dalam aksi laganya. Film Taken yang ia bintangi di 2008 memberi saya kesan tentang karakter tersebut pada aktor jangkung ini. Di film tersebut, ia berperan sebagai seorang ayah dan mantan agen CIA yang berjuang sendiri melawan gerombolan penculik anaknya yang sedang berlibur ke Eropa. Apik, ciamik walau memang tetap ada sisi-sisi yang impossible – ya namanya saja film, namun tetap dibalut dengan drama yang kadang menguras emosi saya. Nah, di masa pandemi ini, Liam Neeson muncul kembali di film Honest Thief, yang rilis di 2020. 


Liam memerankan tokoh Tom Dolan, seorang mantan marinir yang menjadi perampok bank yang teliti, rapi dalam bekerja sehingga ia tak terdeteksi dan menjadi buruan FBI selama delapan tahun. Tom tak pernah tertangkap selama itu. Namun, bukan kepiawaiannya merampok bank itu yang diceritakan dalam film ini. Honest Thief lebih bercerita tentang Tom yang ingin bertobat setelah ia bertemu dengan kekasihnya, Annie Wilkins, yang membuatnya sadar diri atas beban kesalahannya merampok bank selama itu. Tom berniat menyerahkan diri ke FBI. Namun, proses ia menyerahkan diri membuatnya harus berhadapan dengan dua agen FBI culas, yakni John Nivens dan Ramon Hall. Singkat cerita, Tom harus berjuang sendiri karena ia dituduh menjadi pembunuh seorang agen FBI senior yang sebenarnya ditembak oleh Nivens. Meski aksi Liam Neeson sebenarnya tidak sehebat saat ia memerankan Brian di film Taken, ada beberapa hal menarik, terutama tentang beragam karakter tokoh yang bermain di di Honest Thief ini.

Tokoh yang pertama tentu saja Tom Dolan yang diperankan Neeson. Seperti saya sebut sebelumnya, karakter Tom ini mirip dengan Brian di film Taken. Tom adalah orang yang tak gentar ketika ia harus menghadapi sendiri musuh-musuhnya, berbekal pengalaman yang ia peroleh saat berdinas di CIA atau militer. Baik Tom maupun Brian sama-sama memegang prinsip: ketika jalur hukum tidak bisa menyelesaikan atau tidak memihak kepadanya yang benar, maka ia akan menggunakan cara sendiri untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Tokoh kedua adalah agen Nivens dan agen Hall. Kedua tokoh antagonis ini awalnya berkarakter baik, karena menyandang status sebagai agen FBI. Namun, karena mereka, terutama Nivens, melihat uang jutaan dollar hasil rampokan Tom, ia kalap dan mengajak Hall untuk menyembunyikan uang tersebut, alih-alih melaporkan ke atasannya sebagai barang bukti, seperti pinta Tom saat ingin menyerahkan diri. Nivens justru ingin membunuh Tom untuk menghilangkan jejak. Namun, ketika pistol ditodongkan, tembakan justru tertuju pada agen Baker, tokoh FBI senior yang menjadi atasan Nivens dan Hall. Nivens khawatir Baker telah mengendus rencana busuknya menggelapkan barang bukti. Agak berlainan dengan Nivens, agen Hall ini justru lebih ‘baik’ karakternya. Ia tidak ingin gegabah menodongkan pistol, bahkan sempat mencegah Nivens menggelapkan uang bukti tersebut, menyimpan bukti SD card berisi video keduanya mengangkuti kotak-kotak penuh uang, serta menguak kebenaran di depan Tom saat berhadapan dengan Nivens. Namun, tetap saja, Hall terpaksa mengikuti kemauan rekannya itu. Adalah istri Hall yang dalam cerita berusaha menyadarkan Hall atas kebenaran. Sayang, agen Hall diceritakan tumbang ditembak oleh Nivens sendiri.

Tokoh ketiga adalah agen Sean Meyers, rekan agen Baker yang juga menjadi atasan Nivens dan Hall. Meyers diceritakan sebagai tokoh yang berusaha mencari kebenaran, bukan lantas membabi buta membela anak buahnya yang sedang berusaha memutarbalikkan fakta tentang Tom. Pada akhirnya, Meyers pun tahu bahwa Nivens-lah yang bersalah. 

Boleh dibilang film Honest Thief ini memang tidak terlalu istimewa. Namun, yang menarik adalah karakter-karakter tokoh yang dibuat sedekat dan sealami mungkin seperti dalam kehidupan manusia. Manusia mudah tergoda oleh harta yang banyak. Juga, sebuah pesan lain yang disampaikan dalam film ini adalah: upaya menutupi kesalahan akan memberikan efek domino pada diri seseorang untuk membuat kesalahan yang lain. Pesan ini digambarkan pada tokoh Nivens. Ia berusaha menutupi kesalahan menggelapkan uang sebagai barang bukti kejahatan Tom. Ketakutannya akan terkuak membuat ia menembak agen Baker dan berusaha membunuh Annie, yang menjadi saksi mata saat Nivens dan Hall membawa kardus berisi uang tersebut. 


Senin, 15 November 2021

Memburu Majalah Angkasa

Bagi yang gandrung dunia penerbangan, majalah Angkasa di tahun '90an mungkin bagaikan oase di padang pasir. Mau mencari foto-foto eksklusif pesawat F-16 sampai jumbo jet Boeing 747, ada di majalah bulanan itu. Mau mencari artikel tentang profil 'bintang film' Top Gun yang sebenarnya (baca: F-14 Tomcat), majalah ini berulangkali mengulasnya. Tidak seperti sekarang, cukup kita cari di mbah Google, keluarlah semua informasi atau foto-foto yang diinginkan. Boleh dikata sebelum krisis moneter 1998 adalah periode emas majalah setebal 80 halaman ini. 


Angkasa menarik perhatian saya di tahun 1996, tepatnya sebelum Indonesian Air Show (IAS '96), bulan Juni di tahun yang sama. Entah kenapa, di masa kelas satu SMP, saya lebih suka membaca majalah ini, bukan majalah-majalah sepakbola atau majalah remaja ketika itu. Meski begitu, majalah Angkasa masih merupakan barang mewah. Harganya yang mencapai Rp. 8.000,- per eksemplar terlalu mahal buat anak SMP yang masih menggantungkan uang saku dari orang tua. Jadilah, membeli majalah ini dilakukan tidak rutin, hanya bisa beli ketika diajak bapak ke toko buku atau membuka tabungan. 

Namun, namanya saja getol, gandrung alias suka betul tentang pesawat terbang, aksi blusukan pun rela saya lakukan. Blusukan ke pasar loak, mencari edisi bekas dari majalah ini. Tercatat yang sering disinggahi dulu adalah pasar buku di Kawasan Shopping Centre di Jalan Senopati Jogja (sekarang menjadi Taman Pintar) dan penjual majalah bekas di depan Ramai Mall Malioboro. Dagangan bapak-bapak di kawasan Malioboro ini unik. Majalah Angkasa bisa saya temukan dalam bentuk 'new old stock' (NOS), alias masih baru tapi edisi lama. Dan, tentunya harganya miring, dijual hingga seharga dua sampai empat ribuan saja.

Cerita di Shopping Centre lain lagi. Memang saya sama sekali tidak pernah menemukan majalah dalam kondisi NOS. Namun, saya sering mendapati majalah ini yang sudah berjilid-jilid dan dihargai sangat miring. Selain itu, saya dapatkan juga edisi pertama dari Angkasa semenjak ia menjadi bagian dari Penerbit Kompas di tahun 1990, seperti di foto ini. Sebelumnya, Angkasa adalah majalah internal milik TNI Angkatan Udara. Headline yang diangkat di edisi perdana ini adalah tentang Perang Teluk jilid I. Membaca edisi ini mengingatkan masa ketika saya masih kelas 1 SD yang sayup-sayup mendengar tentang perang besar pertama di era dunia modern.

Setelah bekerja dan bisa punya income sendiri, hampir setiap bulan saya bisa membeli Angkasa di kios-kios pinggir jalan. Hingga 2014, kebiasaan ini berlangsung. Sampai pada akhirnya saya dengar majalah ini berhenti diproduksi pada 2017.