Minggu, 25 Mei 2025

Kita Itu Memang Tidak Penting…

Judul yang menampar, ya? Bahkan intimidatif, mengancam kesehatan mental, hehehe…

Tetapi, coba saja kita renungkan.

 

Kita sering kecewa, kecewa karena tidak dihargai, kecewa akibat tidak dihormati, kecewa lantaran tidak disebut-sebut namanya, dielu-elukan, ditampilkan kebesarannya.

Kita sering marah, oleh sebab orang lain, bahkan yang di sekitar kita ternyata mengungguli kita dan ia lebih dibangga-banggakan, disanjung-sanjung.

Kita dongkol, karena merasa tidak diapresiasi, padahal sudah bekerja keras, bahkan siang dan malam. Namun, orang lain yang dengan kerjanya yang di mata kita tampak biasa-biasa saja, tapi melejit melebihi kita. Dan seterusnya…

 

Tetapi pernahkah kita melihat sebentar, dari mana munculnya rasa kecewa itu, rasa dongkol itu, rasa marah, rasa tersaingi, atau rasa-rasa sejenis lainnya?

 

Barangkali, awal mulanya ya ada pada diri kita sendiri, dari dalam hati kita sendiri.

 

Ada perasaan selalu menjadi orang penting, menjadi orang yang seharusnya mendapatkan tempat atau merasa menjadi orang yang perlu diperhatikan, pantas digelari dengan predikat yang ter- atau si paling bla bla bla, selalu dianggap yang paling hebat, paling keren, paling pintar, paling berprestasi, berhak dihormati, berhak dihargai, atau berhak diapresiasi. Tetapi, ternyata tidak! Kecewa pastinya ya.

 

Mungkin ada kalanya perlu mencoba dan berpikir hingga akhirnya memutuskan, untuk berkata pada diri ini, bahwa kita itu sebenarnya tidak penting. Bukan men-demotivasi, tetapi lebih pada upaya ‘menyelamatkan diri’ dari diri kita sendiri. Tidak penting, dari sudut pandang atau kacamata kita sendiri. Sekali lagi, dari perspektif kita, bukan sudut pandang orang lain.

Mungkin, sejatinya yang membuat kita kecewa, adalah sudut pandang kita sendiri yang teramat sangat menganggap diri kita ini penting, penting bagi orang lain. Padahal, bisa jadi, orang lain menganggap kita biasa-biasa saja, atau bahkan memang tidak penting.

 

Kita over ekspektasi, overestimate, ge-er, atau bahasa Jawanya kegeden rumongso. Merasa penting, atau tepatnya terlalu merasa penting bagi orang lain. Padahal nyatanya tidak. Harusnya, anggapan penting itu dari orang lain. Biarlah orang lain yang menganggap kita penting, tetapi itu bukan urusan kita. Biarlah kita seperti ini saja, apa adanya, bekerja, belajar, berkarya dan seterusnya, tapi tetap merasa biasa saja. Bahkan dalam senyap. Tak apa. Dan seharusnya juga memang tidak apa-apa.