Judul yang menampar, ya? Bahkan intimidatif, mengancam kesehatan mental, hehehe…
Tetapi, coba saja kita renungkan.
Kita sering kecewa, kecewa karena
tidak dihargai, kecewa akibat tidak dihormati, kecewa lantaran tidak disebut-sebut
namanya, dielu-elukan, ditampilkan kebesarannya.
Kita sering marah, oleh sebab
orang lain, bahkan yang di sekitar kita ternyata mengungguli kita dan ia lebih
dibangga-banggakan, disanjung-sanjung.
Kita dongkol, karena merasa tidak
diapresiasi, padahal sudah bekerja keras, bahkan siang dan malam. Namun, orang
lain yang dengan kerjanya yang di mata kita tampak biasa-biasa saja, tapi
melejit melebihi kita. Dan seterusnya…
Tetapi pernahkah kita melihat
sebentar, dari mana munculnya rasa kecewa itu, rasa dongkol itu, rasa marah,
rasa tersaingi, atau rasa-rasa sejenis lainnya?
Barangkali, awal mulanya ya ada
pada diri kita sendiri, dari dalam hati kita sendiri.
Ada perasaan selalu menjadi orang
penting, menjadi orang yang seharusnya mendapatkan tempat atau merasa menjadi
orang yang perlu diperhatikan, pantas digelari dengan predikat yang ter- atau
si paling bla bla bla, selalu dianggap yang paling hebat, paling keren, paling
pintar, paling berprestasi, berhak dihormati, berhak dihargai, atau berhak
diapresiasi. Tetapi, ternyata tidak! Kecewa pastinya ya.
Mungkin ada kalanya perlu mencoba
dan berpikir hingga akhirnya memutuskan, untuk berkata pada diri ini, bahwa kita
itu sebenarnya tidak penting. Bukan men-demotivasi, tetapi lebih pada upaya
‘menyelamatkan diri’ dari diri kita sendiri. Tidak penting, dari sudut pandang
atau kacamata kita sendiri. Sekali lagi, dari perspektif kita, bukan sudut
pandang orang lain.
Mungkin, sejatinya yang membuat
kita kecewa, adalah sudut pandang kita sendiri yang teramat sangat menganggap
diri kita ini penting, penting bagi orang lain. Padahal, bisa jadi, orang lain
menganggap kita biasa-biasa saja, atau bahkan memang tidak penting.
Kita over ekspektasi, overestimate,
ge-er, atau bahasa Jawanya kegeden rumongso. Merasa penting, atau
tepatnya terlalu merasa penting bagi orang lain. Padahal nyatanya tidak. Harusnya,
anggapan penting itu dari orang lain. Biarlah orang lain yang menganggap kita
penting, tetapi itu bukan urusan kita. Biarlah kita seperti ini saja, apa
adanya, bekerja, belajar, berkarya dan seterusnya, tapi tetap merasa biasa
saja. Bahkan dalam senyap. Tak apa. Dan seharusnya juga memang tidak apa-apa.