Kamis, 17 April 2014

E-mail!

Hidup di zaman yang serba terkoneksi dengan internet sungguh memudahkan kita untuk sejenak larut dalam kehidupan di masa lalu, cukup hanya dengan duduk di depan laptop atau komputer. Sudah menjadi rahasia umum, media sosial semacam Facebook sering menjadi ajang reuni dengan para sahabat atau kawan karib di masa silam yang lama tak bersua. Demikian juga dengan e-mail. Di suatu sore yang berbalut rintik hujan, sekedar iseng saya membuka kembali puluhan surat-surat elektronik di masa lampau yang masih tersimpan dalam inbox saya. Salah satu yang membuat saya bernostalgia sejenak dengan masa lalu adalah ketika membaca surat-surat lawas dari para editor jurnal internasional yang pernah saya kirimi naskah untuk publikasi.

Peristiwa yang tersurat dalam e-mail itu terjadi sudah hampir lima tahun yang lalu. Namun, bagi saya rangkaian peristiwa inilah yang menjadi salah satu dari sekian tonggak pencapaian dalam kehidupan saya hingga sekarang. Dari ketiga surat lawas itu, dua di antaranya berisi penolakan (rejection) dari editor jurnal terhadap manuskrip tulisan yang saya buat. Sementara, satu surat lagi adalah surat dari editor jurnal terakhir yang akhirnya mau menerima tulisan saya.

Surat pertama berisi penolakan dari editor Materials Science and Engineering C (MSEC), sebuah jurnal internasional di bidang biomaterial atau material untuk aplikasi biomedik yang saat ini tengah naik daun. Impact factor, salah satu ukuran kualitas jurnal, jurnal ini saat itu bertengger di angka yang cukup lumayan untuk klaster ilmu material. Di jurnal inilah saya mengirimkan naskah saya yang pertama kali untuk publikasi di jurnal internasional. Mengapa saya pilih MSEC? Seingat saya tidak ada alasan yang jelas, kecuali karena topik tulisan yang saya susun relevan dengan topik yang diusung jurnal ini. Tulisan yang sudah susah payah saya susun berjudul “Effect of surface mechanical attrition treatment (SMAT) on microhardness, surface roughness and wettability of AISI 316L”, berisi temuan saya tentang karakteristik permukaan baja setelah mendapatkan sebuah perlakuan yang disebut SMAT. Boleh dibilang, ini adalah salah satu aksi ‘nekat’ yang pernah saya jalani bersama teman saya di kelompok penelitian kami yang baru seumur jagung waktu itu. Bagaimana tidak? Tulisan ini hanya bermodal barang-barang seadanya. Mesin yang digunakan untuk penelitian didesain sendiri oleh kawan saya dan dibangun dengan logam-logam yang mudah ditemui di pasaran. Sampel baja yang diteliti dibeli dari kios di Pasar Beringharjo, Yogyakarta – tentunya, sebelum penelitian dilakukan, sampel baja tersebut diuji komposisinya untuk memastikan apakah sesuai standar atau tidak. Pengujian sampel saya lakukan dengan peralatan serba terbatas dan tua usianya di laboratorium kampus tempat saya dan teman saya bekerja. Namun, idealisme kami ternyata masih cukup untuk menelurkan keputusan ‘nekat’ mengirimkan hasil penelitian tersebut ke jurnal internasional. Memang diakui, tetap ada keraguan di balik manuskrip tersebut, apakah diterima atau tidak. Tetapi semboyan “tidak ada salahnya mencoba” sudah merasuki kami untuk terus maju membidik jurnal internasional, yang konon sulit ditembus dengan hasil-hasil penelitian di Indonesia yang umumnya ditetaskan dengan peralatan yang terbatas.

E-mail 'rejection' dari editor Materials Science and Engineering C

Kira-kira satu bulan setelah pengiriman naskah melalui website jurnal tersebut, saya mendapatkan respon dari editor jurnal tersebut. Intinya, sang editor menolak naskah saya, meskipun disampaikan dengan bahasa yang cukup santun. Alasan penolakan manuskrip saya memang masuk akal, karena reviewer yang meneliti naskah itu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab di naskah yang saya tulis. Akan butuh perombakan besar untuk memperbaiki naskah tersebut sehingga sesuai dengan keinginan reviewer. Selain itu, tentunya akan ada riset tambahan yang cukup panjang namun harus dijalani untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sang reviewer. Walhasil, penolakanlah jawaban yang paling bijaksana dari sang editor.

Tidak putus harapan, setelah berdiskusi dengan kawan saya, saya mencoba mengirimkan kembali naskah tersebut ke jurnal lain, tanpa ada perubahan sedikitpun dalam naskah. Sasaran kali ini adalah jurnal Materials Science and Engineering A (MSEA). Namun, siapa sangka, saya justru mendapatkan respon tidak melegakan dari editor jurnal ini dalam kurun waktu lebih cepat dari jurnal sebelumnya. Hanya terpaut beberapa hari saja, berita penolakan itu dikirimkan melalui e-mail. Alasan penolakan berkaitan dengan konten naskah yang tidak sesuai dengan bidang jurnal ini.

E-mail 'rejection' dari editor Materials Science and Engineering A

Berangkat dari dua penolakan di atas, saya berpikir kembali untuk memperbaiki tulisan saya. Saya kumpulkan beberapa paper yang mendukung temuan saya dalam tulisan tersebut. Setelah semua terangkum kembali dengan bahasa yang rapi –setidaknya menurut saya, hehehe.., saya kirimkan kembali naskah tersebut. Jurnal yang disasar kali ini adalah Materials Chemistry and Physics, yang justru mempunyai impact factor lebih besar dibandingkan kedua jurnal sebelumnya saat itu.  Alasan pemilihannya karena topik tulisan saya juga tampak relevan dengan topik umum jurnal ini. Kali ini, saya harus menunggu kurang lebih tiga bulan sebelum datang respon dari reviewer. Sifat saya yang kurang sabaran membuat saya tak pernah bosan membuka akun saya di jurnal tersebut, sekedar melihat status dari proses review-nya. Akhirnya, kurang lebih dua bulan berselang, sebuah e-mail dari editor menyapa saya dan dengan halus menyuruh saya memperbaiki tulisan saya tersebut, atau major revision. Namun ada rasa lega dalam benak saya. Bagi saya, ini hal yang positif. Instruksi untuk memperbaiki tidak sama dengan penolakan, dengan kata lain masih ada peluang memperbaiki tulisan tersebut sesuai dengan arahan reviewer. Saya hanya diberi waktu tiga bulan untuk memperbaikinya. Lebih dari itu, tulisan saya akan ditolak.

E-mail 'major revision' dari editor Materials Chemistry and Physics

Lebih kurang satu bulan saya habiskan untuk bergulat dengan perbaikan manuskrip. Beberapa hal saya tambahkan dalam naskah tersebut, termasuk ilustrasi untuk menjelaskan fenomena yang terjadi pada temuan saya. Naskah yang sudah direvisi pun dikirim kembali, dengan harapan besar sebuah pernyataan acceptance dari editor. Sebuah kejutan di akhir minggu datang! Akhirnya, setelah harus sabar menunggu selama satu bulan, naskah saya pun diterima untuk dipublikasikan di jurnal tersebut. Usai sudah perjuangan saya untuk sebuah publikasi pertama di jurnal internasional.

E-mail 'acceptance' dari editor Materials Chemistry and Physics

Sudah barang tentu, diterimanya naskah saya untuk publikasi ini membuat hari Minggu saya cerah, diliputi kebahagiaan. Namun, bagi saya, ada yang lebih membahagiakan selain kabar tentang diterimanya tulisan saya ini. Kebahagiaan itu muncul saat mengenang perjuangan yang tak kenal lelah dan menyerah dalam mempersiapkan naskah hingga akhirnya diterima untuk publikasi. Perjuangan ini tidak dimulai saat menulis manuskrip seperti diceritakan di awal. Namun, sudah dimulai sejak satu setengah tahun sebelumnya, dimana saya bersama kawan saya bahu membahu menyusun serangkaian program penelitian yang akhirnya dapat berbuah menjadi karya, baik tulisan maupun prototip produk, serta membangun sebuah kelompok riset yang mandiri. Perjuangan itu dimulai saat dini hari ketika kami menyusun proposal-proposal penelitian untuk mendapatkan dana hibah dijadikan modal untuk meneliti. Perjuangan ini dihiasi dengan aksi ‘blusukan’ di Pasar Beringharjo di Yogyakarta, perusahaan supplier baja di Surabaya hingga instansi semacam balai pelatihan teknik di Tegal, hanya untuk mendapatkan sampel dan data-data yang diperlukan. Perjuangan ini juga diwarnai dengan kecewa karena peralatan yang rusak, mandi keringat saat menjalankan eksperimen di laboratorium yang pengap, hingga lelah setelah seharian penuh bekerja. Namun, semua itu terbayar dengan hadirnya episode-episode yang membahagiakan, termasuk dipublikasikannya temuan kami yang membuktikan penelitian dengan modal teknologi lokal juga layak didiskusikan di kalangan komunitas ilmuwan internasional. 

Jumat, 11 April 2014

Bertahan Menjadi Peneliti di Indonesia: Sebuah Opini Saja


Profesi sebagai peneliti seringkali dianggap elit, keren dan hebat di Indonesia. Umumnya peneliti adalah mereka-mereka yang sudah berpredikat doktor dan profesor. Budaya masyarakat di negeri ini yang sangat gemar menyematkan deretan titel akademis di depan atau di belakang nama seseorang memang seolah-olah memposisikan seorang peneliti sebagai orang terpandang. Padahal, kenyataan yang harus dihadapi oleh seorang para peneliti di Indonesia sungguhlah berat, jauh dari kehidupan ideal sebagaimana para peneliti di negara-negara maju. Selain fasilitas yang serba terbatas, banyak aturan administratif yang tidak mendukung terciptanya atmosfer kehidupan ilmiah yang seharusnya. Tidak sedikit peneliti-peneliti Indonesia yang tidak berkutik, tidak bisa berkarya secara maksimal sebagaimana dulunya ketika mereka menimba ilmu di negara-negara maju yang umumnya menghargai profesi dan dunia penelitian. Tidak sedikit peneliti hebat Indonesia yang akhirnya frustasi akibat minimnya fasilitas di laboratorium dan workshop di institusinya. Namun, adalah tugas dan tanggung jawab penyelenggara negara dan penentu kebijakan di negeri ini untuk menuntaskan masalah minimnya dukungan kepada dunia penelitian Indonesia. Biarkan mereka bekerja menyelesaikan keterbatasan fasilitas dan minimnya dana penelitian serta tingkat penghargaan kepada para peneliti di negeri ini; tentu saja tanpa mengesampingkan peran masyarakat untuk selalu mengingatkan aparatur negara agar konsisten dan terus bekerja dengan benar menuntaskan permasalahan ini. Sementara itu, di sisi lain, rasanya para peneliti juga tidak boleh berpangku tangan menunggu datangnya kebijakan yang berpihak kepada mereka dari pemerintah. Dengan kata lain, tetap diperlukan usaha yang keras, lagi masif, di segala lini, termasuk dari kalangan peneliti melalui karya-karyanya, sekalipun dihinggapi segala keterbatasan yang ada di republik ini.

Dalam sebuah artikel editorialnya yang berjudul Ten Simple Rules for Aspiring Scientists in a Low-Income Country yang diterbitkan oleh PLoS Computational Biology, Volume 4, tahun 2008, Edgardo Moreno dan Jose-Maria Gutierrez menawarkan sejumlah tips tentang bagaimana bertahan menjalani profesi sebagai peneliti di negara-negara dengan ekonomi ‘pas-pasan’. Rasanya artikel ini relevan dan sesuai dengan yang dihadapi oleh para peneliti di Indonesia. Berikut saripati uraian dalam artikel dua halaman tersebut, dengan beberapa tambahan seperlunya agar relevan dengan keadaan di Indonesia.

1.  Memahami kondisi negara kita
Tips pertama yang disarankan oleh penulis artikel tersebut adalah memahami kondisi negara kita sendiri. Ya, memahami bahwa negara ini belumlah sempurna, belumlah sepenuhnya memadai untuk penelitian-penelitian berteknologi tinggi, belumlah didukung oleh literatur yang up-to-date dan lengkap, belumlah ada fasilitas internet yang cepat dan bisa diandalkan, serta belum ada dukungan dana riset yang besar. Perlu dipahami pula bahwa sains, riset dan teknologi masih merupakan hal yang mewah, yang belum sepenuhnya dianggap penting oleh masyarakat, politisi, dan penentu kebijakan di negeri ini. Pemahaman akan hal ini mungkin sangat membantu para peneliti mengusir rasa frustasi, stres dan putus asa atas segala keterbatasan yang ada. Meski demikian, keteguhan prinsip untuk menjalani profesi sebagai peneliti tetap harus dipegang. Lalu bagaimana caranya? Saran dari penulis artikel ini adalah mencari keterkaitan antara keahlian yang dimiliki dengan kondisi yang ada di dalam negeri yang bersangkutan. Mengambil isu-isu publik yang sedang hangat dibicarakan untuk dikembangkan untuk dijadikan topik penelitian baru rasanya bukan hal mustahil, misalnya, masalah keterbatasan energi dan kasus-kasus kesehatan yang ada di Indonesia. Dalam aktivitas risetnya, seorang peneliti pun tidak harus bekerja sendiri, tetapi dapat menjalin kerjasama dengan peneliti lain atau membuat kelompok riset untuk mendukung kelangsungan aktivitas penelitian yang dilakukan.

2. Fokus pada pekerjaan ilmiah yang ditekuni
Tips kedua yang disarankan oleh penulis artikel tersebut adalah berfokus pada pekerjaan ilmiah yang ditekuni dan mengurangi aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan ilmiah atau penelitian. Meski demikian, poin kedua dari saran tersebut sepertinya masih sulit untuk dilakukan oleh seorang peneliti atau dosen di Indonesia. Menduduki jabatan struktural dan berkutat dengan urusan administratif di institusi, hingga akhirnya seorang peneliti atau dosen kehabisan waktu untuk melakukan penelitiannya sendiri tampaknya sudah bukan barang baru di Indonesia. Jika memang ‘terpaksa’ harus demikian - setidaknya untuk periode tertentu, hendaknya komitmen untuk tetap meneliti tetap dipelihara.

3. Bijak memilih topik penelitian
Riset atau penelitian memang tak ubahnya seperti ajang perlombaan memecahkan permasalahan yang dihadapi suatu bidang ilmu tertentu. Bersaing menjadi yang ‘tercepat’ dalam mempublikasikan temuan-temuan penting di bidang tersebut sudah umum terjadi dalam sejarah. Hal ini sulit dilakukan oleh para peneliti di negara-negara dengan income terbatas, jika mereka dituntut untuk bersaing dengan peneliti-peneliti lain di negara-negara maju yang lengkap fasilitasnya, besar dana risetnya serta bagus atmosfer kehidupan penelitiannya. Penulis artikel ini menyarankan agar seorang peneliti di negara dengan income terbatas memilih topik-topik yang tidak menjadi topik mainstream grup-grup penelitian besar di negara maju di awal fase membangun alur penelitiannya. Topik-topik penelitian spesifik yang berada di sekitar kita tetap dapat dijadikan pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak mustahil, ‘cerita panjang’ yang tersusun dari penelitian-penelitian yang dilakukan secara konsisten akan berbuah menjadi bidang penelitian yang menarik, berkualitas dan memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Memperbaiki ketrampilan berkomunikasi
Komunikasi adalah salah satu kunci sukses dalam penelitian. Sebagai contoh, usulan (proposal) maupun hasil-hasil penelitian haruslah disampaikan dengan bahasa yang benar agar terhindar dari kesalahpahaman dalam mengintepretasikannya. Ketrampilan berkomunikasi harus tetap diasah oleh para peneliti, terutama penguasaan bahasa Inggris baik verbal maupun tertulis sebagai bahasa baku dalam publikasi ilmiah.

5. Membangun kolaborasi lokal maupun internasional
Selain menjadi tempat bertukar gagasan, kolaborasi, baik di tingkat lokal maupun internasional, dapat menjadi sarana mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, khususnya fasilitas dan sumber referensi. Kolaborasi sehat hendaknya dibangun, baik dengan institusi di tempat belajar sebelumnya, rekan sejawat di grup riset tempat belajar sebelumnya maupun para peneliti lain yang pernah ditemui dalam forum-forum ilmiah yang diikuti.

6. Mendidik dan membimbing calon-calon peneliti dan para peneliti muda
Potensi calon-calon peneliti (baca: mahasiswa) dan para peneliti muda di sekitar kita harus dikenali dan diberdayakan. Kelak, merekalah partner atau rekan kerja kita dalam penelitian. Kesempatan membimbing mahasiswa-mahasiswa dalam penelitian untuk skripsi atau tesis kiranya sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kaum muda seperti ini suatu saat akan menjadi lini yang dapat membantu penelitian kita. Penulis artikel ini menyarankan, bila memungkinkan, sekali-kali kirimlah para mahasiswa tersebut mengikuti seminar-seminar yang relevan sebagai sarana pembelajaran bagi mereka.

7. Mengajukan proposal hibah dana penelitian dan menulis di jurnal internasional
Saat ini pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan banyak menawarkan hibah dana penelitian yang dapat digunakan untuk menunjang keterbatasan dana penelitian yang dilakukan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh universitas-universitas di Indonesia, menggunakan dana internal kampus-kampus tersebut. Meski jumlahnya tidak besar dan sistem administrasinya terbilang rumit, hal ini tentu jauh lebih baik daripada tidak ada dana sama sekali. Selain itu, menulis di jurnal internasional tetap harus dilakukan, karena dari sinilah eksistensi sebagai peneliti akan dikenal di komunitas keilmuan yang sebenarnya, yaitu tingkat dunia. Jangan terlalu meremehkan hasil-hasil penelitian yang diperoleh walau dengan fasiilitas laboratorium yang serba terbatas. Jangan pula memilih untuk mengirimkan naskah untuk publikasi di jurnal yang rendah kualitasnya. Jika memang hasil tersebut layak, pasti akan diterima.

8. Tetap bertahan dalam menghadapi situasi sulit
Kesulitan karena keterbatasan fasilitas maupun himpitan aturan birokrasi memang tidak bisa dielakkan dan dapat melemahkan antusiasme yang ada. Meski demikian, penulis artikel ini menyarankan para peneliti agar tidak terlalu berlebihan dalam mengeluhkan segala hal negatif yang terjadi. Mengapa? Karena sikap-sikap negatif tersebut dapat menular dan menjalar pada orang-orang di sekitar yang sejatinya mendukung kegiatan si peneliti. Selain itu, sikap-sikap negatif cenderung menurunkan harga diri dan menarik perhatian orang-orang yang tidak produktif. Sebaliknya, peneliti hendaknya konsisten pada upaya mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.

9. Mendidik diri sendiri menjadi seorang peneliti profesional
Menurut penulis artikel ini, seorang peneliti di negara dengan income terbatas hendaknya tetap memperluas pengetahuannya dan berkontribusi pada hal-hal di luar hal-hal spesifik di bidang penelitian yang ditekuni, meskipun semuanya itu tetap harus relevan dengan semangatnya sebagai peneliti. Sebagai contoh, para peneliti dapat memberikan ceramah ataupun tulisan-tulisan terkait dunia ilmu pengetahuan, penelitian maupun akademik secara umum. Selain akan mendapatkan pengetahuan baru yang menunjang keberlangsungan proyek penelitian yang dijalani, cara semacam ini dapat digunakan sebagai media untuk menyuarakan pentingnya science dalam kehidupan serta mempromosikannya agar diperhatikan perkembangannya oleh para penentu kebijakan di negeri ini.

10. Tetap bangga menjadi dan menekuni profesi sebagai ilmuwan atau peneliti
Pendapatan rendah sepertinya merupakan hal lumrah dialami seorang peneliti, terutama di awal-awal karirnya menjalani profesinya tersebut. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh peneliti-peneliti di negara maju. Bedanya, karena atmosfer kehidupan yang lebih baik, para peneliti yang sedang mengawali karirnya di negara-negara yang menghargai penelitian lebih mudah mendapatkan kompensasi, baik berupa finansial maupun penghargaan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, setiap peneliti yang konsisten akan menemukan jalan kesuksesannya. Meski demikian, rasanya tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang peneliti selain kontribusinya pada pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya kepada masyarakat. Bukankah inilah salah satu motivasi awal dari lubuk hati terdalam seseorang yang ingin mededikasikan dirinya untuk dunia penelitian?


Tips-tips di atas, bagi sebagian orang, mungkin sulit untuk diaplikasikan, mengingat permasalahan yang dihadapi dunia penelitan di Indonesia yang cukup kompleks. Namun, tidak ada salahnya tips-tips di atas dicoba dan diaplikasikan. Harapannya, ketika suatu saat nanti pemerintah republik ini benar-benar menepati janjinya untuk memfasilitasi dan mendukung dunia penelitian di Indonesia dengan sepenuh hati, para peneliti sudah tidak gagap, lamban merespon dan kehilangan kesempatan emas tersebut.

*Repost artikel Kompasiana, 12 April 2014
Foto: TU Delft Library

Sabtu, 05 April 2014

Semarak Pemilu Legislatif 2014 di KBRI Den Haag


Sebagaimana putusan dari pemerintah, pemilu legislatif bagi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri dilaksanakan lebih awal dari jadwal pemilu legislatif di tanah air yang dilaksanakan serentak pada 9 April 2014. Tak terkecuali di Belanda. Pemilu legislatif bagi WNI di Belanda dilaksanakan 5 April 2014 bertempat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kota Den Haag. Adanya pro dan kontra tentang pelaksanaan pemilu legislatif di luar negeri yang lebih awal dari pemilu di tanah air tampaknya tidak begitu menyurutkan niat baik WNI di Belanda untuk memberikan suaranya.

Hari-H pemilu legislatif di Belanda ini dilaksanakan bertepatan dengan hari Sabtu, yang mungkin sengaja dipilih agar tidak mengganggu jam kerja atau studi para WNI di negeri Raja Willem-Alexander ini. Beberapa bulan sebelum hari-H pemilu, panitia pemilihan luar negeri (PPLN) KBRI Den Haag sudah melakukan pendataan WNI yang berhak memberikan suaranya. Hasil pendataan yang berupa daftar calon pemilih selanjutnya diumumkan melalui website resmi PPLN (http://ppln.nl/dptln). Meski demikian, update daftar calon pemilih terus dilakukan hingga beberapa hari sebelum hari-H pelaksanaan pemilu (http://ppln.nl/dptbln). Bahkan, pendaftaran calon pemilih masih dibuka pada saat hari-H dengan membawa paspor sebagai persyaratannya. Prosesi pemilu di KBRI Den Haag tidak ubahnya seperti yang sudah-sudah di tanah air, mulai dari pendaftaran ulang calon pemilih, pengambilan nomor urut, pengambilan surat suara, pencoblosan, pengumpulan surat suara dalam kotak suara, hingga akhirnya pencelupan jari pada tinta sebagai penanda bahwa pemilih telah memberikan suaranya.

Dalam praktiknya, PPLN Den Haag menggunakan dua cara untuk menjaring suara dari calon pemilih. Cara pertama, sebagaimana diuraikan di atas, adalah dengan menyediakan tempat pemungutan suara (TPS) di KBRI Den Haag, dimana pemilih dapat melakukan pencoblosan langsung di tempat tersebut pada hari-H pemilu legislatif. Cara kedua dilakukan dengan perantara jasa pos di Belanda. Dengan cara ini, calon pemilih akan mendapatkan paket kiriman pos berisi surat suara dan kelengkapannya, termasuk sampul yang disediakan dengan ‘perangko’-nya untuk pengiriman kembali kepada PPLN apabila surat suara telah dicoblos. Untuk cara yang kedua ini, PPLN KBRI Den Haag menerapkan barcode pada sampul surat suara, dengan tujuan untuk mempercepat proses penghitungan dan pendataan, serta menghindari pemilih melakukan dua kali pencoblosan, yakni via pos dan datang langsung ke TPS (http://ppln.nl/petunjuk-pencoblosan-melalui-pos dan http://ppln.nl/ppln-den-haag-terapkan-barcode).  

Berikut beberapa gambar tentang semarak pemilu legislatif di KBRI Den Haag, 5 April 2014.


Registrasi dan pengambilan nomor urut (Foto: dok. pribadi)
Menunggu sebelum memberikan suara (Foto: dok. pribadi)
Bilik suara (Foto: dok. pribadi)
Kotak suara (Foto: dok. pribadi. Terima kasih kepada Bapak dalam foto tersebut)

*Repost artikel Kompasiana, 6 April 2014