Profesi sebagai peneliti
seringkali dianggap elit, keren dan hebat di Indonesia. Umumnya peneliti adalah
mereka-mereka yang sudah berpredikat doktor dan profesor. Budaya masyarakat di negeri
ini yang sangat gemar menyematkan deretan titel akademis di depan atau di
belakang nama seseorang memang seolah-olah memposisikan seorang peneliti sebagai
orang terpandang. Padahal, kenyataan yang harus dihadapi oleh seorang para peneliti
di Indonesia sungguhlah berat, jauh dari kehidupan ideal sebagaimana para peneliti
di negara-negara maju. Selain fasilitas yang serba terbatas, banyak aturan administratif
yang tidak mendukung terciptanya atmosfer kehidupan ilmiah yang seharusnya.
Tidak sedikit peneliti-peneliti Indonesia yang tidak berkutik, tidak bisa berkarya
secara maksimal sebagaimana dulunya ketika mereka menimba ilmu di negara-negara
maju yang umumnya menghargai profesi dan dunia penelitian. Tidak sedikit peneliti
hebat Indonesia yang akhirnya frustasi akibat minimnya fasilitas di laboratorium
dan workshop di institusinya. Namun,
adalah tugas dan tanggung jawab penyelenggara negara dan penentu kebijakan di
negeri ini untuk menuntaskan masalah minimnya dukungan kepada dunia penelitian
Indonesia. Biarkan mereka bekerja menyelesaikan keterbatasan fasilitas dan
minimnya dana penelitian serta tingkat penghargaan kepada para peneliti di
negeri ini; tentu saja tanpa mengesampingkan peran masyarakat untuk selalu
mengingatkan aparatur negara agar konsisten dan terus bekerja dengan benar
menuntaskan permasalahan ini. Sementara itu, di sisi lain, rasanya para
peneliti juga tidak boleh berpangku tangan menunggu datangnya kebijakan yang
berpihak kepada mereka dari pemerintah. Dengan kata lain, tetap diperlukan
usaha yang keras, lagi masif, di segala lini, termasuk dari kalangan peneliti melalui
karya-karyanya, sekalipun dihinggapi segala keterbatasan yang ada di republik
ini.
Dalam sebuah artikel
editorialnya yang berjudul Ten Simple
Rules for Aspiring Scientists in a Low-Income Country yang diterbitkan oleh
PLoS Computational Biology, Volume 4,
tahun 2008, Edgardo Moreno dan Jose-Maria Gutierrez menawarkan sejumlah tips
tentang bagaimana bertahan menjalani profesi sebagai peneliti di negara-negara dengan
ekonomi ‘pas-pasan’. Rasanya artikel ini relevan dan sesuai dengan yang
dihadapi oleh para peneliti di Indonesia. Berikut saripati uraian dalam artikel
dua halaman tersebut, dengan beberapa tambahan seperlunya agar relevan dengan
keadaan di Indonesia.
1. Memahami kondisi negara kita
Tips pertama yang
disarankan oleh penulis artikel tersebut adalah memahami kondisi negara kita
sendiri. Ya, memahami bahwa negara
ini belumlah sempurna, belumlah sepenuhnya memadai untuk penelitian-penelitian berteknologi
tinggi, belumlah didukung oleh literatur yang up-to-date dan lengkap, belumlah ada fasilitas internet yang cepat
dan bisa diandalkan, serta belum ada dukungan dana riset yang besar. Perlu
dipahami pula bahwa sains, riset dan teknologi masih merupakan hal yang mewah,
yang belum sepenuhnya dianggap penting oleh masyarakat, politisi, dan penentu
kebijakan di negeri ini. Pemahaman akan hal ini mungkin sangat membantu para
peneliti mengusir rasa frustasi, stres dan putus asa atas segala keterbatasan
yang ada. Meski demikian, keteguhan prinsip untuk menjalani profesi sebagai
peneliti tetap harus dipegang. Lalu bagaimana caranya? Saran dari penulis
artikel ini adalah mencari keterkaitan antara keahlian yang dimiliki dengan
kondisi yang ada di dalam negeri yang bersangkutan. Mengambil isu-isu publik
yang sedang hangat dibicarakan untuk dikembangkan untuk dijadikan topik penelitian
baru rasanya bukan hal mustahil, misalnya, masalah keterbatasan energi dan
kasus-kasus kesehatan yang ada di Indonesia. Dalam aktivitas risetnya, seorang
peneliti pun tidak harus bekerja sendiri, tetapi dapat menjalin kerjasama
dengan peneliti lain atau membuat kelompok riset untuk mendukung kelangsungan
aktivitas penelitian yang dilakukan.
2. Fokus pada pekerjaan ilmiah yang
ditekuni
Tips kedua yang disarankan
oleh penulis artikel tersebut adalah berfokus pada pekerjaan ilmiah yang
ditekuni dan mengurangi aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan
ilmiah atau penelitian. Meski demikian, poin kedua dari saran tersebut
sepertinya masih sulit untuk dilakukan oleh seorang peneliti atau dosen di
Indonesia. Menduduki jabatan struktural dan berkutat dengan urusan
administratif di institusi, hingga akhirnya seorang peneliti atau dosen
kehabisan waktu untuk melakukan penelitiannya sendiri tampaknya sudah bukan
barang baru di Indonesia. Jika memang ‘terpaksa’ harus demikian - setidaknya
untuk periode tertentu, hendaknya komitmen untuk tetap meneliti tetap
dipelihara.
3. Bijak memilih topik penelitian
Riset atau penelitian
memang tak ubahnya seperti ajang perlombaan memecahkan permasalahan yang
dihadapi suatu bidang ilmu tertentu. Bersaing menjadi yang ‘tercepat’ dalam
mempublikasikan temuan-temuan penting di bidang tersebut sudah umum terjadi
dalam sejarah. Hal ini sulit dilakukan oleh para peneliti di negara-negara dengan
income terbatas, jika mereka dituntut
untuk bersaing dengan peneliti-peneliti lain di negara-negara maju yang lengkap
fasilitasnya, besar dana risetnya serta bagus atmosfer kehidupan penelitiannya.
Penulis artikel ini menyarankan agar seorang peneliti di negara dengan income terbatas memilih topik-topik yang
tidak menjadi topik mainstream grup-grup
penelitian besar di negara maju di awal fase membangun alur penelitiannya. Topik-topik
penelitian spesifik yang berada di sekitar kita tetap dapat dijadikan pilihan. Seiring
dengan berjalannya waktu, tidak mustahil, ‘cerita panjang’ yang tersusun dari
penelitian-penelitian yang dilakukan secara konsisten akan berbuah menjadi bidang
penelitian yang menarik, berkualitas dan memiliki kontribusi dalam pengembangan
ilmu pengetahuan.
4. Memperbaiki ketrampilan berkomunikasi
Komunikasi adalah
salah satu kunci sukses dalam penelitian. Sebagai contoh, usulan (proposal)
maupun hasil-hasil penelitian haruslah disampaikan dengan bahasa yang benar
agar terhindar dari kesalahpahaman dalam mengintepretasikannya. Ketrampilan
berkomunikasi harus tetap diasah oleh para peneliti, terutama penguasaan bahasa
Inggris baik verbal maupun tertulis sebagai bahasa baku dalam publikasi ilmiah.
5. Membangun kolaborasi lokal maupun internasional
Selain menjadi tempat
bertukar gagasan, kolaborasi, baik di tingkat lokal maupun internasional, dapat
menjadi sarana mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, khususnya
fasilitas dan sumber referensi. Kolaborasi sehat hendaknya dibangun, baik dengan
institusi di tempat belajar sebelumnya, rekan sejawat di grup riset tempat
belajar sebelumnya maupun para peneliti lain yang pernah ditemui dalam
forum-forum ilmiah yang diikuti.
6. Mendidik dan membimbing calon-calon peneliti
dan para peneliti muda
Potensi calon-calon
peneliti (baca: mahasiswa) dan para peneliti muda di sekitar kita harus
dikenali dan diberdayakan. Kelak, merekalah partner
atau rekan kerja kita dalam penelitian. Kesempatan membimbing
mahasiswa-mahasiswa dalam penelitian untuk skripsi atau tesis kiranya sayang
untuk dilewatkan begitu saja. Kaum muda seperti ini suatu saat akan menjadi
lini yang dapat membantu penelitian kita. Penulis artikel ini menyarankan, bila
memungkinkan, sekali-kali kirimlah para mahasiswa tersebut mengikuti
seminar-seminar yang relevan sebagai sarana pembelajaran bagi mereka.
7. Mengajukan proposal hibah dana penelitian
dan menulis di jurnal internasional
Saat ini pemerintah
Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan banyak menawarkan hibah
dana penelitian yang dapat digunakan untuk menunjang keterbatasan dana
penelitian yang dilakukan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh
universitas-universitas di Indonesia, menggunakan dana internal kampus-kampus
tersebut. Meski jumlahnya tidak besar dan sistem administrasinya terbilang
rumit, hal ini tentu jauh lebih baik daripada tidak ada dana sama sekali. Selain
itu, menulis di jurnal internasional tetap harus dilakukan, karena dari sinilah
eksistensi sebagai peneliti akan dikenal di komunitas keilmuan yang sebenarnya,
yaitu tingkat dunia. Jangan terlalu meremehkan hasil-hasil penelitian yang diperoleh
walau dengan fasiilitas laboratorium yang serba terbatas. Jangan pula memilih
untuk mengirimkan naskah untuk publikasi di jurnal yang rendah kualitasnya.
Jika memang hasil tersebut layak, pasti akan diterima.
8. Tetap bertahan dalam menghadapi situasi
sulit
Kesulitan karena
keterbatasan fasilitas maupun himpitan aturan birokrasi memang tidak bisa
dielakkan dan dapat melemahkan antusiasme yang ada. Meski demikian, penulis
artikel ini menyarankan para peneliti agar tidak terlalu berlebihan dalam
mengeluhkan segala hal negatif yang terjadi. Mengapa? Karena sikap-sikap negatif
tersebut dapat menular dan menjalar pada orang-orang di sekitar yang sejatinya
mendukung kegiatan si peneliti. Selain itu, sikap-sikap negatif cenderung menurunkan
harga diri dan menarik perhatian orang-orang yang tidak produktif. Sebaliknya, peneliti
hendaknya konsisten pada upaya mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.
9. Mendidik diri sendiri menjadi seorang
peneliti profesional
Menurut penulis
artikel ini, seorang peneliti di negara dengan income terbatas hendaknya tetap memperluas pengetahuannya dan
berkontribusi pada hal-hal di luar hal-hal spesifik di bidang penelitian yang
ditekuni, meskipun semuanya itu tetap harus relevan dengan semangatnya sebagai
peneliti. Sebagai contoh, para peneliti dapat memberikan ceramah ataupun
tulisan-tulisan terkait dunia ilmu pengetahuan, penelitian maupun akademik
secara umum. Selain akan mendapatkan pengetahuan baru yang menunjang
keberlangsungan proyek penelitian yang dijalani, cara semacam ini dapat
digunakan sebagai media untuk menyuarakan pentingnya science dalam kehidupan serta mempromosikannya agar diperhatikan
perkembangannya oleh para penentu kebijakan di negeri ini.
10. Tetap bangga menjadi dan menekuni profesi
sebagai ilmuwan atau peneliti
Pendapatan rendah sepertinya
merupakan hal lumrah dialami seorang peneliti, terutama di awal-awal karirnya
menjalani profesinya tersebut. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh
peneliti-peneliti di negara maju. Bedanya, karena atmosfer kehidupan yang lebih
baik, para peneliti yang sedang mengawali karirnya di negara-negara yang
menghargai penelitian lebih mudah mendapatkan kompensasi, baik berupa finansial
maupun penghargaan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, setiap peneliti
yang konsisten akan menemukan jalan kesuksesannya. Meski demikian, rasanya
tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang peneliti selain kontribusinya
pada pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya kepada masyarakat. Bukankah
inilah salah satu motivasi awal dari lubuk hati terdalam seseorang yang ingin
mededikasikan dirinya untuk dunia penelitian?
Tips-tips di atas,
bagi sebagian orang, mungkin sulit untuk diaplikasikan, mengingat permasalahan
yang dihadapi dunia penelitan di Indonesia yang cukup kompleks. Namun, tidak
ada salahnya tips-tips di atas dicoba dan diaplikasikan. Harapannya, ketika
suatu saat nanti pemerintah republik ini benar-benar menepati janjinya untuk
memfasilitasi dan mendukung dunia penelitian di Indonesia dengan sepenuh hati, para
peneliti sudah tidak gagap, lamban merespon dan kehilangan kesempatan emas
tersebut.
*Repost artikel Kompasiana, 12 April 2014
Foto: TU Delft Library