Jumat, 11 April 2014

Bertahan Menjadi Peneliti di Indonesia: Sebuah Opini Saja


Profesi sebagai peneliti seringkali dianggap elit, keren dan hebat di Indonesia. Umumnya peneliti adalah mereka-mereka yang sudah berpredikat doktor dan profesor. Budaya masyarakat di negeri ini yang sangat gemar menyematkan deretan titel akademis di depan atau di belakang nama seseorang memang seolah-olah memposisikan seorang peneliti sebagai orang terpandang. Padahal, kenyataan yang harus dihadapi oleh seorang para peneliti di Indonesia sungguhlah berat, jauh dari kehidupan ideal sebagaimana para peneliti di negara-negara maju. Selain fasilitas yang serba terbatas, banyak aturan administratif yang tidak mendukung terciptanya atmosfer kehidupan ilmiah yang seharusnya. Tidak sedikit peneliti-peneliti Indonesia yang tidak berkutik, tidak bisa berkarya secara maksimal sebagaimana dulunya ketika mereka menimba ilmu di negara-negara maju yang umumnya menghargai profesi dan dunia penelitian. Tidak sedikit peneliti hebat Indonesia yang akhirnya frustasi akibat minimnya fasilitas di laboratorium dan workshop di institusinya. Namun, adalah tugas dan tanggung jawab penyelenggara negara dan penentu kebijakan di negeri ini untuk menuntaskan masalah minimnya dukungan kepada dunia penelitian Indonesia. Biarkan mereka bekerja menyelesaikan keterbatasan fasilitas dan minimnya dana penelitian serta tingkat penghargaan kepada para peneliti di negeri ini; tentu saja tanpa mengesampingkan peran masyarakat untuk selalu mengingatkan aparatur negara agar konsisten dan terus bekerja dengan benar menuntaskan permasalahan ini. Sementara itu, di sisi lain, rasanya para peneliti juga tidak boleh berpangku tangan menunggu datangnya kebijakan yang berpihak kepada mereka dari pemerintah. Dengan kata lain, tetap diperlukan usaha yang keras, lagi masif, di segala lini, termasuk dari kalangan peneliti melalui karya-karyanya, sekalipun dihinggapi segala keterbatasan yang ada di republik ini.

Dalam sebuah artikel editorialnya yang berjudul Ten Simple Rules for Aspiring Scientists in a Low-Income Country yang diterbitkan oleh PLoS Computational Biology, Volume 4, tahun 2008, Edgardo Moreno dan Jose-Maria Gutierrez menawarkan sejumlah tips tentang bagaimana bertahan menjalani profesi sebagai peneliti di negara-negara dengan ekonomi ‘pas-pasan’. Rasanya artikel ini relevan dan sesuai dengan yang dihadapi oleh para peneliti di Indonesia. Berikut saripati uraian dalam artikel dua halaman tersebut, dengan beberapa tambahan seperlunya agar relevan dengan keadaan di Indonesia.

1.  Memahami kondisi negara kita
Tips pertama yang disarankan oleh penulis artikel tersebut adalah memahami kondisi negara kita sendiri. Ya, memahami bahwa negara ini belumlah sempurna, belumlah sepenuhnya memadai untuk penelitian-penelitian berteknologi tinggi, belumlah didukung oleh literatur yang up-to-date dan lengkap, belumlah ada fasilitas internet yang cepat dan bisa diandalkan, serta belum ada dukungan dana riset yang besar. Perlu dipahami pula bahwa sains, riset dan teknologi masih merupakan hal yang mewah, yang belum sepenuhnya dianggap penting oleh masyarakat, politisi, dan penentu kebijakan di negeri ini. Pemahaman akan hal ini mungkin sangat membantu para peneliti mengusir rasa frustasi, stres dan putus asa atas segala keterbatasan yang ada. Meski demikian, keteguhan prinsip untuk menjalani profesi sebagai peneliti tetap harus dipegang. Lalu bagaimana caranya? Saran dari penulis artikel ini adalah mencari keterkaitan antara keahlian yang dimiliki dengan kondisi yang ada di dalam negeri yang bersangkutan. Mengambil isu-isu publik yang sedang hangat dibicarakan untuk dikembangkan untuk dijadikan topik penelitian baru rasanya bukan hal mustahil, misalnya, masalah keterbatasan energi dan kasus-kasus kesehatan yang ada di Indonesia. Dalam aktivitas risetnya, seorang peneliti pun tidak harus bekerja sendiri, tetapi dapat menjalin kerjasama dengan peneliti lain atau membuat kelompok riset untuk mendukung kelangsungan aktivitas penelitian yang dilakukan.

2. Fokus pada pekerjaan ilmiah yang ditekuni
Tips kedua yang disarankan oleh penulis artikel tersebut adalah berfokus pada pekerjaan ilmiah yang ditekuni dan mengurangi aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan ilmiah atau penelitian. Meski demikian, poin kedua dari saran tersebut sepertinya masih sulit untuk dilakukan oleh seorang peneliti atau dosen di Indonesia. Menduduki jabatan struktural dan berkutat dengan urusan administratif di institusi, hingga akhirnya seorang peneliti atau dosen kehabisan waktu untuk melakukan penelitiannya sendiri tampaknya sudah bukan barang baru di Indonesia. Jika memang ‘terpaksa’ harus demikian - setidaknya untuk periode tertentu, hendaknya komitmen untuk tetap meneliti tetap dipelihara.

3. Bijak memilih topik penelitian
Riset atau penelitian memang tak ubahnya seperti ajang perlombaan memecahkan permasalahan yang dihadapi suatu bidang ilmu tertentu. Bersaing menjadi yang ‘tercepat’ dalam mempublikasikan temuan-temuan penting di bidang tersebut sudah umum terjadi dalam sejarah. Hal ini sulit dilakukan oleh para peneliti di negara-negara dengan income terbatas, jika mereka dituntut untuk bersaing dengan peneliti-peneliti lain di negara-negara maju yang lengkap fasilitasnya, besar dana risetnya serta bagus atmosfer kehidupan penelitiannya. Penulis artikel ini menyarankan agar seorang peneliti di negara dengan income terbatas memilih topik-topik yang tidak menjadi topik mainstream grup-grup penelitian besar di negara maju di awal fase membangun alur penelitiannya. Topik-topik penelitian spesifik yang berada di sekitar kita tetap dapat dijadikan pilihan. Seiring dengan berjalannya waktu, tidak mustahil, ‘cerita panjang’ yang tersusun dari penelitian-penelitian yang dilakukan secara konsisten akan berbuah menjadi bidang penelitian yang menarik, berkualitas dan memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

4. Memperbaiki ketrampilan berkomunikasi
Komunikasi adalah salah satu kunci sukses dalam penelitian. Sebagai contoh, usulan (proposal) maupun hasil-hasil penelitian haruslah disampaikan dengan bahasa yang benar agar terhindar dari kesalahpahaman dalam mengintepretasikannya. Ketrampilan berkomunikasi harus tetap diasah oleh para peneliti, terutama penguasaan bahasa Inggris baik verbal maupun tertulis sebagai bahasa baku dalam publikasi ilmiah.

5. Membangun kolaborasi lokal maupun internasional
Selain menjadi tempat bertukar gagasan, kolaborasi, baik di tingkat lokal maupun internasional, dapat menjadi sarana mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, khususnya fasilitas dan sumber referensi. Kolaborasi sehat hendaknya dibangun, baik dengan institusi di tempat belajar sebelumnya, rekan sejawat di grup riset tempat belajar sebelumnya maupun para peneliti lain yang pernah ditemui dalam forum-forum ilmiah yang diikuti.

6. Mendidik dan membimbing calon-calon peneliti dan para peneliti muda
Potensi calon-calon peneliti (baca: mahasiswa) dan para peneliti muda di sekitar kita harus dikenali dan diberdayakan. Kelak, merekalah partner atau rekan kerja kita dalam penelitian. Kesempatan membimbing mahasiswa-mahasiswa dalam penelitian untuk skripsi atau tesis kiranya sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kaum muda seperti ini suatu saat akan menjadi lini yang dapat membantu penelitian kita. Penulis artikel ini menyarankan, bila memungkinkan, sekali-kali kirimlah para mahasiswa tersebut mengikuti seminar-seminar yang relevan sebagai sarana pembelajaran bagi mereka.

7. Mengajukan proposal hibah dana penelitian dan menulis di jurnal internasional
Saat ini pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan banyak menawarkan hibah dana penelitian yang dapat digunakan untuk menunjang keterbatasan dana penelitian yang dilakukan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh universitas-universitas di Indonesia, menggunakan dana internal kampus-kampus tersebut. Meski jumlahnya tidak besar dan sistem administrasinya terbilang rumit, hal ini tentu jauh lebih baik daripada tidak ada dana sama sekali. Selain itu, menulis di jurnal internasional tetap harus dilakukan, karena dari sinilah eksistensi sebagai peneliti akan dikenal di komunitas keilmuan yang sebenarnya, yaitu tingkat dunia. Jangan terlalu meremehkan hasil-hasil penelitian yang diperoleh walau dengan fasiilitas laboratorium yang serba terbatas. Jangan pula memilih untuk mengirimkan naskah untuk publikasi di jurnal yang rendah kualitasnya. Jika memang hasil tersebut layak, pasti akan diterima.

8. Tetap bertahan dalam menghadapi situasi sulit
Kesulitan karena keterbatasan fasilitas maupun himpitan aturan birokrasi memang tidak bisa dielakkan dan dapat melemahkan antusiasme yang ada. Meski demikian, penulis artikel ini menyarankan para peneliti agar tidak terlalu berlebihan dalam mengeluhkan segala hal negatif yang terjadi. Mengapa? Karena sikap-sikap negatif tersebut dapat menular dan menjalar pada orang-orang di sekitar yang sejatinya mendukung kegiatan si peneliti. Selain itu, sikap-sikap negatif cenderung menurunkan harga diri dan menarik perhatian orang-orang yang tidak produktif. Sebaliknya, peneliti hendaknya konsisten pada upaya mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi.

9. Mendidik diri sendiri menjadi seorang peneliti profesional
Menurut penulis artikel ini, seorang peneliti di negara dengan income terbatas hendaknya tetap memperluas pengetahuannya dan berkontribusi pada hal-hal di luar hal-hal spesifik di bidang penelitian yang ditekuni, meskipun semuanya itu tetap harus relevan dengan semangatnya sebagai peneliti. Sebagai contoh, para peneliti dapat memberikan ceramah ataupun tulisan-tulisan terkait dunia ilmu pengetahuan, penelitian maupun akademik secara umum. Selain akan mendapatkan pengetahuan baru yang menunjang keberlangsungan proyek penelitian yang dijalani, cara semacam ini dapat digunakan sebagai media untuk menyuarakan pentingnya science dalam kehidupan serta mempromosikannya agar diperhatikan perkembangannya oleh para penentu kebijakan di negeri ini.

10. Tetap bangga menjadi dan menekuni profesi sebagai ilmuwan atau peneliti
Pendapatan rendah sepertinya merupakan hal lumrah dialami seorang peneliti, terutama di awal-awal karirnya menjalani profesinya tersebut. Hal yang sama mungkin juga dialami oleh peneliti-peneliti di negara maju. Bedanya, karena atmosfer kehidupan yang lebih baik, para peneliti yang sedang mengawali karirnya di negara-negara yang menghargai penelitian lebih mudah mendapatkan kompensasi, baik berupa finansial maupun penghargaan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, setiap peneliti yang konsisten akan menemukan jalan kesuksesannya. Meski demikian, rasanya tidak ada yang lebih membanggakan bagi seorang peneliti selain kontribusinya pada pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasinya kepada masyarakat. Bukankah inilah salah satu motivasi awal dari lubuk hati terdalam seseorang yang ingin mededikasikan dirinya untuk dunia penelitian?


Tips-tips di atas, bagi sebagian orang, mungkin sulit untuk diaplikasikan, mengingat permasalahan yang dihadapi dunia penelitan di Indonesia yang cukup kompleks. Namun, tidak ada salahnya tips-tips di atas dicoba dan diaplikasikan. Harapannya, ketika suatu saat nanti pemerintah republik ini benar-benar menepati janjinya untuk memfasilitasi dan mendukung dunia penelitian di Indonesia dengan sepenuh hati, para peneliti sudah tidak gagap, lamban merespon dan kehilangan kesempatan emas tersebut.

*Repost artikel Kompasiana, 12 April 2014
Foto: TU Delft Library