Rabu, 21 Januari 2015

Kunjungan ke Simulator Pesawat SIMONA TU Delft

Jumat 16 Januari lalu, saya bersama rombongan mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delft (PPI Delft) berkesempatan mengunjungi fasilitas simulator pesawat terbang di TU Delft. Simulator ini diberi nama SIMONA, kepanjangan dari SImulation, MOvement and NAvigation. Nama yang cukup cantik, bukan?

Bagi saya, kesempatan ini langka dan sayang bila dilewatkan. Saya memang pernah mendengar bahwa beberapa maskapai di tanah air dan TNI Angkatan Udara mempunyai fasilitas simulator. Namun, untuk mengunjunginya pasti bukanlah hal yang gampang, apalagi untuk orang awam seperti saya. Sehingga, begitu kawan saya di Fakultas Aerospace Engineering TU Delft mengabarkan kepastian diperbolehkannya rombongan PPI Delft berkunjung ke simulator ini, saya langsung mengajukan diri sebagai peserta tur.
 
Gambar dari atas, searah jarum jam: SIMONA, kokpit dan pintu masuknya
Kurang lebih pukul 4 sore, program tur dimulai. Cuaca cerah yang membalut sore itu seakan menyambut rasa gembira hati saya untuk mengunjungi simulator ini. Alasannya simpel. Saya memang menggemari dunia penerbangan. Bisa menyentuh pesawat terbang dan teknologi pendukungnya sudah sangat membahagiakan bagi saya.

Begitu masuk ke ruang tempat simulator berada, saya tidak menjumpai bentuk badan pesawat atau setidaknya kepala pesawat. Yang saya temui adalah bangunan mirip cangkang berukuran besar dan ditopang dengan kaki-kaki dari logam. Itulah SIMONA, sang simulator! Selidik punya selidik, dari keterangan yang saya baca di website resmi SIMONA, bangunan cangkang simulator tersebut terbuat dari serat aramid-carbon. Demikian pula dengan interiornya, terbuat dari bahan yang sama. Bahan rigid tersebut, bersama dengan sistem penggeraknya, menjadikan SIMONA cukup responsif karena keterlambatan respon gerakan (delays) akibat inersia badan simulator tersebut. Bila dihitung, total massa kabin simulator ini tidak lebih dari 4.500 kg.

Sistem penggerak SIMONA, yang berada di bagian bawah, memungkinkan bangunan cangkang simulator ini bergerak dengan 6-derajat-kebebasan (six-degrees-of-freedom). Bingung ya? Simak gambar yang saya cuplik dari Wikipedia di bawah ini. Kaki-kaki aktuatornya dilengkapi dengan bantalan hidrostatik yang memungkinkan untuk memendek hingga 1,25 meter.
 
Sumber gambar: Wikipedia (digambar oleh: Horia Ionescu)
Six degrees of freedom (6DoF) refers to the freedom of movement of a rigid body in three-dimensional space. Specifically, the body is free to move forward/backward, up/down, left/right (translation in three perpendicular axes) combined with rotation about three perpendicular axes, often termed pitch, yaw, and roll. (Wikipedia)
Beruntungnya, saya dan kawan-kawan peserta tur lainnya dipersilakan untuk masuk ke dalam kabin simulator tersebut. Wah, serasa menjadi pilot! Rasanya tidak aneh bagi saya melihat berbagai instrument yang ada dalam kabin tersebut. Hobi merakit pesawat model membuat saya familiar dengan kokpit pesawat, meski tentunya saya tidak tahu fungsi masing-masing tombol dan kendali yang ada di dalamnya. Namun, familiar tetap lebih baik daripada tidak tahu sama sekali ‘kan, hehehe… Di dalam kokpit simulator tadi, terdapat dua kursi ‘pilot’ yang mengendarai simulator tersebut, mirip dengan kabin pesawat penumpang modern. Di sebelah kanan dilengkapi dengan tuas kendali ala pesawat tempur atau helikopter, dimana tangan kanan dan kiri pilot memegang tuas yang berlainan. Sedangkan yang di sebelah kiri, seperti foto saya di atas, mirip dengan kendali pesawat sipil, dengan setir layaknya mobil balap.

Layaknya mesin-mesin simulator yang lain, SIMONA dilengkapi dengan layar yang terpasang bak jendela (windshield) pesawat terbang. Layar tersebut menampilkan ‘dunia luar’ (outside world) yang tentu saja untuk membantu ‘pilot’ dalam melihat keadaan di luar sana saat pesawat simulator tersebut digerakan.

Tur istimewa ini berlangsung hampir satu jam. Di tengah acara, penanggung jawab SIMONA, Ir. Olaf Stroosma, juga berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta tur. Kira-kira pukul lima petang waktu Delft, tur diakhiri. Ingin lebih tahu tentang SIMONA? Tautan video dari youtube berikut semoga bisa mengobati rasa ingin tahu pembaca tentang simulator ini.
 

Selasa, 06 Januari 2015

Segelas Kopi di Awal Tahun

Liburan akhir tahun telah usai. Tahun yang lama pun sudah berganti dengan yang baru. Saatnya kembali ke meja kerja untuk berkarya lagi. 

Kemarin adalah hari pertama saya masuk kerja di tahun 2015, meski hari itu diliput mendung dan kabut sejak paginya. Seperti biasa, di universitas tempat saya belajar, hari pertama masuk kerja di awal tahun selalu diisi dengan social event, alias kumpul-kumpul bersama semua kolega di kampus, utamanya mereka yang berada dalam satu departemen. Oleh sekretaris departemen, acara sosial semacam ini sudah diumumkan jauh hari sebelum libur panjang Hari Natal dan Tahun Baru lalu tiba, sehingga setiap staf dan mahasiswa di departemen dapat menyesuaikan jadwalnya untuk hadir.


Di departemen saya, event sosial ini diadakan saat coffee break, atau istirahat minum kopi. Sambil meneguk hangatnya segelas kopi yang diseduh dari mesin, bincang-bincang apapun dengan kolega berlangsung kira-kira hampir 45 menitan. 

Bagi saya, acara kumpul kolega semacam ini memang bukan hal wajib yang untuk dihadiri. Namun saya merasa perlu untuk datang. Setidaknya saya bisa setor muka, bertemu dengan kolega lain yang jarang ditemui, walaupun masih dalam satu atap di gedung yang sama. Memang tidak semua kolega di departemen saya kenal, mengingat ‘gemuk’-nya departemen yang saya diami ini. Tetapi, beberapa kawan yang saya kenal dengan baik ternyata tidak selalu gampang ditemui setiap harinya, karena kesibukan masing-masing. Seperti halnya momen pasca lebaran di Indonesia, inilah momen baik untuk menyambung tali silaturrahim dengan kawan-kawan di kampus. Walaupun kawan kita sedikit, rasanya tetap penting menjaga hubungan baik dengan mereka semua.

Satu hal yang membuat saya belajar dari acara sosial semacam ini adalah keterampilan berbasa-basi. Bagaimanapun juga rasanya basa-basi itu penting, meski mungkin hati kecil kita tidak suka dengannya. Sekadar bertanya kabar, kemana saja liburan kemarin, dan seterusnya, memang tampak basa-basi. Tetapi, siapapun pasti senang bila ditanya dengan hal itu. Inilah bentuk perhatian seorang manusia kepada manusia yang lain. Memang kita harus memutar otak lagi memikirkan dengan kilat apa yang harus dibicarakan selanjutnya. Namun, seiring dengan kentalnya pertemanan dan frekuensi kita berbicara dengan kawan, berpikir kilat untuk mencari bahan omongan bukan hal yang sangat sulit lagi. Tentu saja, tetap ada waktu dimana kita kehabisan kata-kata atau tidak nyambung lagi dengan topik yang dibicarakan, terutama bila lawan bicaranya adalah orang-orang yang tidak begitu akrab. Namun, rasanya kendala ini tetap saja wajar terjadi!

Kamis, 01 Januari 2015

Rotterdam - (Antwerp) - Rotterdam dan Salju Pertama Winter Kali Ini


Sabtu, di penghujung tahun 2014. Bergegas aku menbereskan tas ransel yang akan kubawa untuk pergi di hari itu. Bagiku ini adalah salah satu perjalanan penting. Bukan untuk sekolah, bukan pula untuk tujuan akademik atau yang serius lainnya. Namun, hanya sebuah perjalanan untuk mengisi liburan akhir tahun yang sudah beberapa hari ini kulalui.

Kali ini, aku mantapkan diri untuk pergi menuju Antwerp, sebuah kota terbesar kedua di Belgia setelah ibukotanya, Brussels. Perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam dengan kereta ini adalah yang pertama untuk ke luar Belanda bagiku dalam kurun 2 tahun lebih masa tinggal sementaraku di negeri tulip ini. Selama ini perjalanan ke luar Belanda hanya kulakukan sebatas untuk mudik ke Indonesia saja.

Sesampainya di hall stasiun Rotterdam Centraal, kujumpai beberapa kawan dalam satu rombongan yang sudah menunggu untuk berangkat bersama. Lengkap sudah perbekalan kami, walaupun perjalanan wisata ini tidaklah sepanjang dan semelelahkan menuju Paris atau Berlin, yang cukup jauh dari tempat kami berpijak saat itu.

Kereta menuju Antwerp berangkat pukul 9:08 pagi, saat mentari masih malu-malu menampakkan diri. Dingin pun terasa kian menggigit, karena sejak malam sebelumnya salju berhamburan di luar rumah. Inilah salju pertama kali tahun ini di Belanda, tepatnya untuk wilayah Zuid-Holland, tempatku tinggal selama ini. Bahkan, mungkin ini juga kali pertama salju turun dalam dua tahun terakhir, mengingat salju tidak turun tahun lalu. Seorang kolega asal Belanda pernah berkata bahwa musim dingin 2013-2014 lalu adalah salah satu yang terpanas dalam sejarahnya di negeri kincir ini.

Beberapa menit sebelum 9:08 kami sudah bergegas menuju gerbong kereta menuju Brussels di platform 4. Kereta ini memang menuju Brussels, namun di tengah jalan ia berhenti di Antwerp. Masing-masing dari kami berpencar mencari tempat duduk dalam gebong yang berselempang warna kuning-biru itu, ciri khas Nederlandse Spoorwegen (NS), perusahaan kereta milik Belanda. Penghangat dalam gerbong cukup membuatku merasa nyaman dari gigitan dingin di luar sana. Namun, hingga waktu keberangkatan yang tertera dalam jadwal, kereta tak kunjung beranjak dari tempat diamnya. "Ah, mungkin hanya terlambat beberapa menit saja, 'kan biasa itu terjadi." gumamku dalam hati memakluminya. Bagiku, kereta terlambat di Belanda sudah bukan barang asing. Walaupun boleh dibilang keberangkatan kereta di negeri ini mayoritas tepat waktu, telat bukanlah suatu hal yang tabu. Sudah puluhan kali aku mengalaminya saat berangkat maupun pulang dari kampusku di Delft. Terlambat 5 menit, 10 menit, 15 menit bahkan tidak ada kereta karena masalah teknis di jalur yang akan dilalui sudah bukan hal aneh.

Masih saja, kereta belum juga berangkat, padahal jarum jam tanganku sudah menunjuk pukul 9:25. Ada apa gerangan? Aku mulai penasaran, "Jangan-jangan derasnya salju semalam dan pagi ini membuat gangguan di jalur kereta." pikirku. Tak lama berselang, petugas memberikan penjelasan bahwa ada keterlambatan keberangkatan karena gangguan salju di daerah Dordrecht dan Roosendaal, dua wilayah di Belanda selatan yang akan dilalui kereta menuju Antwerp dan Brussels. Petugas tadi, lewat corong pengeras suara dalam gerbong, juga memohon penumpang untuk menunggu sejenak di dalam gerbong, sambil menunggu perkembangan pulihnya jalur kereta dan menghangatkan badan di dalamnya.

Jarum jam terus melangkah hingga terpaku pada jam 9:45. Kereta ini pun masih belum berangkat. Sudah beberapa halaman majalah National Geographic aku lahap untuk mengusir bosan. Tiba-tiba, aku dan penumpang lain dikejutkan dengan pengumuman bahwa kereta ke Brussels pada keberangkatan ini dibatalkan karena salju yang terus mengguyur tidak kunjung memulihkan jalur kereta yang akan dilewati. Banyak penumpang yang tampak kecewa, termasuk seorang bapak bule yang duduk di sebelahku. Ia mengangkat bahunya, menunjukkan kecewanya. Aku yang sekilas menatap bapak tadi, hanya membalas dengan senyum, sekedar menunjukkan empatiku kepadanya. Mungkin bapak tadi mempunyai keperluan yang sangat penting, hingga tampak sekali raut kecewa di wajahnya saat petugas mengumumkan pembatalan perjalanan kereta ke Brussels tersebut. Dalam hitungan detik, para penumpang beranjak berdiri dan mengantri di lorong gerbong menuju pintu keluar. Hawa dingin pun menyambut kembali, memaksaku mengenakan sarung tangan abu-abu yang sudah kusiapkan di kantong jaket.

Aku dan kawan-kawanku kembali berkumpul di platform kereta untuk mendiskusikan apa langkah selanjutnya. Setahuku, insiden kereta batal jalan karena hambatan salju biasanya tidak diiringi dengan kepastian. Bisa jadi kereta lalu dinyatakan siap karena situasi membaik, tetapi tidak ada jam pasti kapan hal itu bisa terjadi. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi customer service (CS), menanyakan apakah mungkin kami bisa mendapatkan uang kami kembali karena pembatalan ini. Setelah berada dalam antrian sekian menit, kami berbicara dengan petugas di bagian CS tersebut. Namun, di luar dugaan kami, petugas malah menyarankan kami kembali ke platform kereta menuju Brussels, karena kereta dengan jam keberangkatan 10:08 sudah siap. Aku tengok jam tanganku, tepat pukul 10:00, artinya kami hanya punya waktu 8 menit saja untuk berlari menuju platform 4 lagi yang letaknya cukup membuat kami terengah-engah berlari.

Kami kembali ke gerbong kereta yang tadi, bersama banyak penumpang lain. Namun, tak lama kemudian, salah satu kawan kami yang berada di luar memberi kode, bahwa kereta yang kami naiki salah, walaupun di papan pengumumannya tertulis menuju ke Brussels. Kereta yang akan berangkat menuju Brussels via Antwerp berada di rel seberang. Bergegas dan setengah buru-buru aku dan beberapa kawanku berusaha keluar dari kereta yang mangkrak, tidak jalan tadi. Kami berlari menuju kereta di rel seberang, bergabung dalam antrian masuk ke gerbong yang sudah agak penuh. Kami susuri lorong gerbong kereta, berharap dapat tempat duduk tersisa. Namun, rupanya usaha kami sia-sia. Tidak ada satupun tempat duduk di dalam gerbong, kecuali di ruang dekat pintu yang memang disediakan beberapa bangku lipat untuk penumpang tambahan. Bagiku tidak masalah duduk di ruang dekat pintu keluar, mengingat perjalanan dari Rotterdam ke Antwerp tidak akan lama, paling tidak 1,5 jam saja sesuai jadwalnya.

Menit demi menit berlalu. Aku dan kawan-kawanku tetap setia menunggu kereta yang sudah kami tumpangi untuk berangkat. Namun, kereta tak kunjung berangkat juga. Hati kecilku perlahan sudah membisikkan bahwa kunjungan Antwerp ini harus ditunda dulu. Entah sampai kapan.

Benar saja. Setelah kira menunggu hampir setengah jam, petugas memberitahu para penumpang lewat corong pengeras suara. Perjalanan menuju Brussels terpaksa dibatalkan karena gangguan salju yang masih mengguyur daerah Dordrecht dan Roosendaal. Kami pun keluar lagi dari gerbong kereta, berdiskusi lagi apa langkah selanjutnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyudahi 'perjalanan' ini. Rencana menuju Antwerp kami batalkan, menimbang waktu yang semakin beranjak siang. Kalaupun kami mengambil kereta selanjutnya -yang belum tentu berangkat juga- waktu kami untuk leluasa 'bercengkrama' dengan Antwerp sudah berkurang banyak. Di musim dingin seperti ini, waktu maghrib atau saat matahari terbenam juga lebih awal di daratan Eropa Barat, termasuk Antwerp. Belum lagi, kemungkinan tiadanya kereta dari Antwerp menuju Rotterdam yang akan membawa kami kembali ke daratan Belanda. Kami pun menuju bagian CS lagi untuk memastikan pembatalan ini, dan meminta kembali uang tiket kami.

***

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku sempat larut mengulik facebook yang terinstal di ponselku. Guyuran salju di luar tram yang membawaku pulang seolah tak mampu mengalihkan perhatianku dari layar ponselku. Pandanganku tertuju pada beberapa foto yang diunggah oleh kawan kuliahku dulu. Warto namanya. Lama juga aku tak bertemu dengannya. Mungkin hampir satu dekade, sejak aku mendahuluinya naik status menjadi seorang alumnus dari universitas almamater kami dulu. Warto anak yang kalem. Bahkan, saking kalemnya, ia nyaris tak pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya, apalagi mimpi berpetualang ke luar negeri. Hebatnya Warto, sekalipun ia anak dari daerah yang agak terpencil di Jawa, ia termasuk anak yang punya prestasi akademik yang bagus, walau bukan yang paling top di kelas. Ia rendah hati dan tak punya potongan mahasiswa aktivis yang katanya penuh dengan idealisme. Kalau kuliah, cukup berpakaian sopan ala mahasiswa awal tahun 2000an saja penampilannya. Entah mengapa, aku merasa cocok berkawan dengan Warto semasa kuliah dulu.

Di fotonya, Warto tampak beda. Yang menarik perhatianku, Warto dengan wajah bersinar dan mata penuh semangat berfoto di depan White House, Gedung Putih, di Washington DC. Di foto lainnya, tampak ia mengacungkan tangannya di depan menara Eiffel di Paris, seolah berkata pada dunia bahwa ia kini bisa menginjak negeri para pemimpi itu. Kuusap layar pomselku, muncullah foto Warto yang lain. Kini ia sedang di suatu tempat di Swedia. Tertulis di belakangnya Stockholm. Ia memakai mantel agak tebal karena di foto itu tampaknya Stockholm juga baru diliputi salju. Ada lagi beberapa foto menarik punya Warto di belahan bumi yang lain, seperti Manchester dan London di Inggris, Berlin di Jerman, dan sebuah foto dengan latar belakang tulisan yang familiar di mataku akhir-akhir ini: Antwerp!

Sejenak aku larut dalam lamunan. "Hebat kawanku yang satu ini. Warto tak pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya ke luar negeri. Tapi sekarang ia sudah kemana-mana." hatiku berbisik. Benar, Warto tidak pernah bercerita tentang mimpinya ke luar negeri, untuk belajar apalagi. Namun kini lain. Justru dari laman facebook-nya saat ini aku tahu bahwa dulu ia pun ternyata menyimpan mimpi belajar di luar negeri. Ia tuliskan hal ini di salah satu caption fotonya. Dan kini, Warto membuktikan bahwa ia bisa, tanpa banyak sesumbar dan cerita tentang mimpinya di masa mudanya itu. Warto kini sedang menempuh program S2-nya di beberapa negara Eropa, sehingga dengannya ia bisa berpindah-pindah ke beberapa universitas tempat belajarnya.

Barangkali orang seperti Warto ini menjadi antitesis ucapan para motivator, bahkan novelis yang seringkali berujar, "Ceritakan mimpimu pada dunia, maka engkau akan dapat mewujudkannya!". Bolehlah mereka para motivator maupun novelis bercerita tentang kisah hidupnya yang dramatis. Namun, hidup orang itu adalah milik orang itu sendiri. Mempunyai mimpi itu memang wajib, agar hidup terus bersemangat. Namun, bercerita tentang mimpi kepada orang lain sebelum terwujud adalah sebuah pilihan. Dan, orang yang tampak kalem seperti Warto kawan saya tadi belum tentu tak punya mimpi dan hidupnya datar-datar saja.

***
Lamunanku tiba-tiba terhenti setelah tram direm mendadak karena ada mobil yang ngawur menerobos jalur tram, walaupun lampu peringatan akan ada tram lewat sudah berkedip-kedip. Aku lalu menutup ponselku, merogoh saku jaket tebalku untuk mengambil kartu OV untuk check out dari tram. Sebentar lagi tram akan tiba di halte terdekat dengan rumahku. Dan salju masih saja turun dengan lebatnya.


*Warto adalah tokoh fiktif. Mohon maaf bila ada kesamaan nama dan karakter.