Sabtu, di
penghujung tahun 2014. Bergegas aku menbereskan tas ransel yang akan kubawa
untuk pergi di hari itu. Bagiku ini adalah salah satu perjalanan penting. Bukan
untuk sekolah, bukan pula untuk tujuan akademik atau yang serius lainnya.
Namun, hanya sebuah perjalanan untuk mengisi liburan akhir tahun yang sudah
beberapa hari ini kulalui.
Kali ini,
aku mantapkan diri untuk pergi menuju Antwerp, sebuah kota terbesar kedua di
Belgia setelah ibukotanya, Brussels. Perjalanan yang akan memakan waktu kurang
lebih 1,5 jam dengan kereta ini adalah yang pertama untuk ke luar Belanda
bagiku dalam kurun 2 tahun lebih masa tinggal sementaraku di negeri tulip ini.
Selama ini perjalanan ke luar Belanda hanya kulakukan sebatas untuk mudik ke
Indonesia saja.
Sesampainya
di hall stasiun Rotterdam Centraal, kujumpai beberapa kawan dalam satu
rombongan yang sudah menunggu untuk berangkat bersama. Lengkap sudah perbekalan
kami, walaupun perjalanan wisata ini tidaklah sepanjang dan semelelahkan menuju
Paris atau Berlin, yang cukup jauh dari tempat kami berpijak saat itu.
Kereta
menuju Antwerp berangkat pukul 9:08 pagi, saat mentari masih malu-malu menampakkan
diri. Dingin pun terasa kian menggigit, karena sejak malam sebelumnya salju
berhamburan di luar rumah. Inilah salju pertama kali tahun ini di Belanda,
tepatnya untuk wilayah Zuid-Holland, tempatku tinggal selama ini. Bahkan,
mungkin ini juga kali pertama salju turun dalam dua tahun terakhir, mengingat
salju tidak turun tahun lalu. Seorang kolega asal Belanda pernah berkata bahwa
musim dingin 2013-2014 lalu adalah salah satu yang terpanas dalam sejarahnya di
negeri kincir ini.
Beberapa
menit sebelum 9:08 kami sudah bergegas menuju gerbong kereta menuju Brussels di
platform 4. Kereta ini memang menuju Brussels, namun di tengah jalan ia
berhenti di Antwerp. Masing-masing dari kami berpencar mencari tempat duduk
dalam gebong yang berselempang warna kuning-biru itu, ciri khas Nederlandse
Spoorwegen (NS), perusahaan kereta milik Belanda. Penghangat dalam
gerbong cukup membuatku merasa nyaman dari gigitan dingin di luar sana. Namun,
hingga waktu keberangkatan yang tertera dalam jadwal, kereta tak kunjung beranjak
dari tempat diamnya. "Ah, mungkin hanya terlambat beberapa menit
saja, 'kan biasa itu terjadi." gumamku dalam hati memakluminya.
Bagiku, kereta terlambat di Belanda sudah bukan barang asing. Walaupun boleh
dibilang keberangkatan kereta di negeri ini mayoritas tepat waktu, telat
bukanlah suatu hal yang tabu. Sudah puluhan kali aku mengalaminya saat
berangkat maupun pulang dari kampusku di Delft. Terlambat 5 menit, 10 menit, 15
menit bahkan tidak ada kereta karena masalah teknis di jalur yang akan dilalui
sudah bukan hal aneh.
Masih
saja, kereta belum juga berangkat, padahal jarum jam tanganku sudah menunjuk
pukul 9:25. Ada apa gerangan? Aku mulai penasaran, "Jangan-jangan derasnya
salju semalam dan pagi ini membuat gangguan di jalur kereta." pikirku. Tak
lama berselang, petugas memberikan penjelasan bahwa ada keterlambatan
keberangkatan karena gangguan salju di daerah Dordrecht dan Roosendaal, dua
wilayah di Belanda selatan yang akan dilalui kereta menuju Antwerp dan
Brussels. Petugas tadi, lewat corong pengeras suara dalam gerbong, juga memohon
penumpang untuk menunggu sejenak di dalam gerbong, sambil menunggu perkembangan
pulihnya jalur kereta dan menghangatkan badan di dalamnya.
Jarum jam
terus melangkah hingga terpaku pada jam 9:45. Kereta ini pun masih belum
berangkat. Sudah beberapa
halaman majalah National Geographic aku lahap untuk mengusir
bosan. Tiba-tiba, aku dan penumpang lain dikejutkan dengan pengumuman bahwa
kereta ke Brussels pada keberangkatan ini dibatalkan karena salju yang terus
mengguyur tidak kunjung memulihkan jalur kereta yang akan dilewati. Banyak
penumpang yang tampak kecewa, termasuk seorang bapak bule yang duduk di
sebelahku. Ia mengangkat bahunya, menunjukkan kecewanya. Aku yang sekilas
menatap bapak tadi, hanya membalas dengan senyum, sekedar menunjukkan empatiku
kepadanya. Mungkin bapak tadi mempunyai keperluan yang sangat penting, hingga
tampak sekali raut kecewa di wajahnya saat petugas mengumumkan pembatalan
perjalanan kereta ke Brussels tersebut. Dalam hitungan detik, para
penumpang beranjak berdiri dan mengantri di lorong gerbong menuju pintu keluar.
Hawa dingin pun menyambut kembali, memaksaku mengenakan sarung tangan abu-abu
yang sudah kusiapkan di kantong jaket.
Aku dan
kawan-kawanku kembali berkumpul di platform kereta untuk mendiskusikan
apa langkah selanjutnya. Setahuku, insiden kereta batal jalan karena hambatan
salju biasanya tidak diiringi dengan kepastian. Bisa jadi kereta lalu
dinyatakan siap karena situasi membaik, tetapi tidak ada jam pasti kapan hal
itu bisa terjadi. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi customer service
(CS), menanyakan apakah mungkin kami bisa mendapatkan uang kami kembali
karena pembatalan ini. Setelah berada dalam antrian sekian menit, kami
berbicara dengan petugas di bagian CS tersebut. Namun, di luar dugaan
kami, petugas malah menyarankan kami kembali ke platform kereta menuju
Brussels, karena kereta dengan jam keberangkatan 10:08 sudah siap. Aku tengok
jam tanganku, tepat pukul 10:00, artinya kami hanya punya waktu 8 menit saja
untuk berlari menuju platform 4 lagi yang letaknya cukup membuat kami
terengah-engah berlari.
Kami kembali ke gerbong kereta yang tadi, bersama banyak
penumpang lain. Namun, tak lama kemudian, salah satu kawan kami yang berada di
luar memberi kode, bahwa kereta yang kami naiki salah, walaupun di papan
pengumumannya tertulis menuju ke Brussels. Kereta yang akan berangkat menuju
Brussels via Antwerp berada di rel seberang. Bergegas dan setengah buru-buru
aku dan beberapa kawanku berusaha keluar dari kereta yang mangkrak, tidak jalan
tadi. Kami berlari menuju kereta di rel seberang, bergabung dalam antrian masuk
ke gerbong yang sudah agak penuh. Kami susuri lorong gerbong kereta, berharap
dapat tempat duduk tersisa. Namun, rupanya usaha kami sia-sia. Tidak ada
satupun tempat duduk di dalam gerbong, kecuali di ruang dekat pintu yang memang
disediakan beberapa bangku lipat untuk penumpang tambahan. Bagiku tidak masalah
duduk di ruang dekat pintu keluar, mengingat perjalanan dari Rotterdam ke
Antwerp tidak akan lama, paling tidak 1,5 jam saja sesuai jadwalnya.
Menit
demi menit berlalu. Aku dan kawan-kawanku tetap setia menunggu kereta yang
sudah kami tumpangi untuk berangkat. Namun, kereta tak kunjung berangkat juga.
Hati kecilku perlahan sudah membisikkan bahwa kunjungan Antwerp ini harus
ditunda dulu. Entah sampai
kapan.
Benar saja. Setelah kira menunggu
hampir setengah jam, petugas memberitahu para penumpang lewat corong pengeras
suara. Perjalanan menuju Brussels terpaksa dibatalkan karena gangguan
salju yang masih mengguyur daerah Dordrecht dan Roosendaal. Kami pun keluar
lagi dari gerbong kereta, berdiskusi lagi apa langkah selanjutnya. Akhirnya,
kami memutuskan untuk menyudahi 'perjalanan' ini. Rencana menuju Antwerp kami
batalkan, menimbang waktu yang semakin beranjak siang. Kalaupun kami mengambil
kereta selanjutnya -yang belum tentu berangkat juga- waktu kami untuk leluasa
'bercengkrama' dengan Antwerp sudah berkurang banyak. Di musim dingin seperti
ini, waktu maghrib atau saat matahari terbenam juga lebih awal di daratan Eropa
Barat, termasuk Antwerp. Belum lagi, kemungkinan tiadanya kereta dari Antwerp
menuju Rotterdam yang akan membawa kami kembali ke daratan Belanda. Kami pun
menuju bagian CS lagi untuk memastikan pembatalan ini, dan meminta
kembali uang tiket kami.
***
Dalam
perjalanan pulang ke rumah, aku sempat larut mengulik facebook yang
terinstal di ponselku. Guyuran salju di luar tram yang membawaku pulang seolah
tak mampu mengalihkan perhatianku dari layar ponselku. Pandanganku tertuju pada
beberapa foto yang diunggah oleh kawan kuliahku dulu. Warto namanya. Lama juga
aku tak bertemu dengannya. Mungkin hampir satu dekade, sejak aku mendahuluinya
naik status menjadi seorang alumnus dari universitas almamater kami dulu. Warto
anak yang kalem. Bahkan, saking kalemnya, ia nyaris tak pernah bercerita
tentang mimpi-mimpinya, apalagi mimpi berpetualang ke luar negeri. Hebatnya
Warto, sekalipun ia anak dari daerah yang agak terpencil di Jawa, ia termasuk
anak yang punya prestasi akademik yang bagus, walau bukan yang paling top di
kelas. Ia rendah hati dan tak punya potongan mahasiswa aktivis yang katanya
penuh dengan idealisme. Kalau kuliah, cukup berpakaian sopan ala mahasiswa awal
tahun 2000an saja penampilannya. Entah mengapa, aku merasa cocok berkawan
dengan Warto semasa kuliah dulu.
Di
fotonya, Warto tampak beda. Yang
menarik perhatianku, Warto dengan wajah bersinar dan mata penuh semangat
berfoto di depan White House, Gedung Putih, di Washington DC. Di foto lainnya,
tampak ia mengacungkan tangannya di depan menara Eiffel di Paris, seolah
berkata pada dunia bahwa ia kini bisa menginjak negeri para pemimpi itu. Kuusap
layar pomselku, muncullah foto Warto yang lain. Kini ia sedang di suatu tempat
di Swedia. Tertulis di belakangnya Stockholm. Ia memakai mantel agak tebal karena
di foto itu tampaknya Stockholm juga baru diliputi salju. Ada lagi beberapa foto
menarik punya Warto di belahan bumi yang lain, seperti Manchester dan London di
Inggris, Berlin di Jerman, dan sebuah foto dengan latar
belakang tulisan yang familiar di mataku akhir-akhir ini: Antwerp!
Sejenak
aku larut dalam lamunan. "Hebat kawanku yang satu ini. Warto tak pernah
bercerita tentang mimpi-mimpinya ke luar negeri. Tapi sekarang ia sudah
kemana-mana." hatiku berbisik. Benar, Warto tidak pernah bercerita
tentang mimpinya ke luar negeri, untuk belajar apalagi. Namun kini lain. Justru
dari laman facebook-nya saat ini aku tahu bahwa dulu ia pun ternyata
menyimpan mimpi belajar di luar negeri. Ia tuliskan hal ini di salah satu caption
fotonya. Dan kini, Warto membuktikan bahwa ia bisa, tanpa banyak sesumbar dan
cerita tentang mimpinya di masa mudanya itu. Warto kini sedang menempuh program
S2-nya di beberapa negara Eropa, sehingga dengannya ia bisa berpindah-pindah ke
beberapa universitas tempat belajarnya.
Barangkali
orang seperti Warto ini menjadi antitesis ucapan para motivator, bahkan novelis
yang seringkali berujar, "Ceritakan mimpimu pada dunia, maka engkau akan
dapat mewujudkannya!". Bolehlah mereka para motivator maupun novelis
bercerita tentang kisah hidupnya yang dramatis. Namun, hidup orang itu adalah
milik orang itu sendiri. Mempunyai mimpi itu memang wajib, agar hidup terus
bersemangat. Namun, bercerita tentang mimpi kepada orang lain sebelum terwujud adalah sebuah pilihan. Dan, orang yang
tampak kalem seperti Warto kawan saya tadi belum tentu tak punya mimpi dan
hidupnya datar-datar saja.
***
Lamunanku
tiba-tiba terhenti setelah tram direm mendadak karena ada mobil yang ngawur
menerobos jalur tram, walaupun lampu peringatan akan ada tram lewat sudah
berkedip-kedip. Aku lalu menutup ponselku, merogoh saku jaket tebalku untuk
mengambil kartu OV untuk check out dari tram. Sebentar lagi tram
akan tiba di halte terdekat dengan rumahku. Dan salju masih saja turun dengan
lebatnya.
*Warto adalah tokoh fiktif. Mohon maaf bila ada
kesamaan nama dan karakter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar