Kamis, 01 Januari 2015

Rotterdam - (Antwerp) - Rotterdam dan Salju Pertama Winter Kali Ini


Sabtu, di penghujung tahun 2014. Bergegas aku menbereskan tas ransel yang akan kubawa untuk pergi di hari itu. Bagiku ini adalah salah satu perjalanan penting. Bukan untuk sekolah, bukan pula untuk tujuan akademik atau yang serius lainnya. Namun, hanya sebuah perjalanan untuk mengisi liburan akhir tahun yang sudah beberapa hari ini kulalui.

Kali ini, aku mantapkan diri untuk pergi menuju Antwerp, sebuah kota terbesar kedua di Belgia setelah ibukotanya, Brussels. Perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam dengan kereta ini adalah yang pertama untuk ke luar Belanda bagiku dalam kurun 2 tahun lebih masa tinggal sementaraku di negeri tulip ini. Selama ini perjalanan ke luar Belanda hanya kulakukan sebatas untuk mudik ke Indonesia saja.

Sesampainya di hall stasiun Rotterdam Centraal, kujumpai beberapa kawan dalam satu rombongan yang sudah menunggu untuk berangkat bersama. Lengkap sudah perbekalan kami, walaupun perjalanan wisata ini tidaklah sepanjang dan semelelahkan menuju Paris atau Berlin, yang cukup jauh dari tempat kami berpijak saat itu.

Kereta menuju Antwerp berangkat pukul 9:08 pagi, saat mentari masih malu-malu menampakkan diri. Dingin pun terasa kian menggigit, karena sejak malam sebelumnya salju berhamburan di luar rumah. Inilah salju pertama kali tahun ini di Belanda, tepatnya untuk wilayah Zuid-Holland, tempatku tinggal selama ini. Bahkan, mungkin ini juga kali pertama salju turun dalam dua tahun terakhir, mengingat salju tidak turun tahun lalu. Seorang kolega asal Belanda pernah berkata bahwa musim dingin 2013-2014 lalu adalah salah satu yang terpanas dalam sejarahnya di negeri kincir ini.

Beberapa menit sebelum 9:08 kami sudah bergegas menuju gerbong kereta menuju Brussels di platform 4. Kereta ini memang menuju Brussels, namun di tengah jalan ia berhenti di Antwerp. Masing-masing dari kami berpencar mencari tempat duduk dalam gebong yang berselempang warna kuning-biru itu, ciri khas Nederlandse Spoorwegen (NS), perusahaan kereta milik Belanda. Penghangat dalam gerbong cukup membuatku merasa nyaman dari gigitan dingin di luar sana. Namun, hingga waktu keberangkatan yang tertera dalam jadwal, kereta tak kunjung beranjak dari tempat diamnya. "Ah, mungkin hanya terlambat beberapa menit saja, 'kan biasa itu terjadi." gumamku dalam hati memakluminya. Bagiku, kereta terlambat di Belanda sudah bukan barang asing. Walaupun boleh dibilang keberangkatan kereta di negeri ini mayoritas tepat waktu, telat bukanlah suatu hal yang tabu. Sudah puluhan kali aku mengalaminya saat berangkat maupun pulang dari kampusku di Delft. Terlambat 5 menit, 10 menit, 15 menit bahkan tidak ada kereta karena masalah teknis di jalur yang akan dilalui sudah bukan hal aneh.

Masih saja, kereta belum juga berangkat, padahal jarum jam tanganku sudah menunjuk pukul 9:25. Ada apa gerangan? Aku mulai penasaran, "Jangan-jangan derasnya salju semalam dan pagi ini membuat gangguan di jalur kereta." pikirku. Tak lama berselang, petugas memberikan penjelasan bahwa ada keterlambatan keberangkatan karena gangguan salju di daerah Dordrecht dan Roosendaal, dua wilayah di Belanda selatan yang akan dilalui kereta menuju Antwerp dan Brussels. Petugas tadi, lewat corong pengeras suara dalam gerbong, juga memohon penumpang untuk menunggu sejenak di dalam gerbong, sambil menunggu perkembangan pulihnya jalur kereta dan menghangatkan badan di dalamnya.

Jarum jam terus melangkah hingga terpaku pada jam 9:45. Kereta ini pun masih belum berangkat. Sudah beberapa halaman majalah National Geographic aku lahap untuk mengusir bosan. Tiba-tiba, aku dan penumpang lain dikejutkan dengan pengumuman bahwa kereta ke Brussels pada keberangkatan ini dibatalkan karena salju yang terus mengguyur tidak kunjung memulihkan jalur kereta yang akan dilewati. Banyak penumpang yang tampak kecewa, termasuk seorang bapak bule yang duduk di sebelahku. Ia mengangkat bahunya, menunjukkan kecewanya. Aku yang sekilas menatap bapak tadi, hanya membalas dengan senyum, sekedar menunjukkan empatiku kepadanya. Mungkin bapak tadi mempunyai keperluan yang sangat penting, hingga tampak sekali raut kecewa di wajahnya saat petugas mengumumkan pembatalan perjalanan kereta ke Brussels tersebut. Dalam hitungan detik, para penumpang beranjak berdiri dan mengantri di lorong gerbong menuju pintu keluar. Hawa dingin pun menyambut kembali, memaksaku mengenakan sarung tangan abu-abu yang sudah kusiapkan di kantong jaket.

Aku dan kawan-kawanku kembali berkumpul di platform kereta untuk mendiskusikan apa langkah selanjutnya. Setahuku, insiden kereta batal jalan karena hambatan salju biasanya tidak diiringi dengan kepastian. Bisa jadi kereta lalu dinyatakan siap karena situasi membaik, tetapi tidak ada jam pasti kapan hal itu bisa terjadi. Akhirnya, kami memutuskan untuk mendatangi customer service (CS), menanyakan apakah mungkin kami bisa mendapatkan uang kami kembali karena pembatalan ini. Setelah berada dalam antrian sekian menit, kami berbicara dengan petugas di bagian CS tersebut. Namun, di luar dugaan kami, petugas malah menyarankan kami kembali ke platform kereta menuju Brussels, karena kereta dengan jam keberangkatan 10:08 sudah siap. Aku tengok jam tanganku, tepat pukul 10:00, artinya kami hanya punya waktu 8 menit saja untuk berlari menuju platform 4 lagi yang letaknya cukup membuat kami terengah-engah berlari.

Kami kembali ke gerbong kereta yang tadi, bersama banyak penumpang lain. Namun, tak lama kemudian, salah satu kawan kami yang berada di luar memberi kode, bahwa kereta yang kami naiki salah, walaupun di papan pengumumannya tertulis menuju ke Brussels. Kereta yang akan berangkat menuju Brussels via Antwerp berada di rel seberang. Bergegas dan setengah buru-buru aku dan beberapa kawanku berusaha keluar dari kereta yang mangkrak, tidak jalan tadi. Kami berlari menuju kereta di rel seberang, bergabung dalam antrian masuk ke gerbong yang sudah agak penuh. Kami susuri lorong gerbong kereta, berharap dapat tempat duduk tersisa. Namun, rupanya usaha kami sia-sia. Tidak ada satupun tempat duduk di dalam gerbong, kecuali di ruang dekat pintu yang memang disediakan beberapa bangku lipat untuk penumpang tambahan. Bagiku tidak masalah duduk di ruang dekat pintu keluar, mengingat perjalanan dari Rotterdam ke Antwerp tidak akan lama, paling tidak 1,5 jam saja sesuai jadwalnya.

Menit demi menit berlalu. Aku dan kawan-kawanku tetap setia menunggu kereta yang sudah kami tumpangi untuk berangkat. Namun, kereta tak kunjung berangkat juga. Hati kecilku perlahan sudah membisikkan bahwa kunjungan Antwerp ini harus ditunda dulu. Entah sampai kapan.

Benar saja. Setelah kira menunggu hampir setengah jam, petugas memberitahu para penumpang lewat corong pengeras suara. Perjalanan menuju Brussels terpaksa dibatalkan karena gangguan salju yang masih mengguyur daerah Dordrecht dan Roosendaal. Kami pun keluar lagi dari gerbong kereta, berdiskusi lagi apa langkah selanjutnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk menyudahi 'perjalanan' ini. Rencana menuju Antwerp kami batalkan, menimbang waktu yang semakin beranjak siang. Kalaupun kami mengambil kereta selanjutnya -yang belum tentu berangkat juga- waktu kami untuk leluasa 'bercengkrama' dengan Antwerp sudah berkurang banyak. Di musim dingin seperti ini, waktu maghrib atau saat matahari terbenam juga lebih awal di daratan Eropa Barat, termasuk Antwerp. Belum lagi, kemungkinan tiadanya kereta dari Antwerp menuju Rotterdam yang akan membawa kami kembali ke daratan Belanda. Kami pun menuju bagian CS lagi untuk memastikan pembatalan ini, dan meminta kembali uang tiket kami.

***

Dalam perjalanan pulang ke rumah, aku sempat larut mengulik facebook yang terinstal di ponselku. Guyuran salju di luar tram yang membawaku pulang seolah tak mampu mengalihkan perhatianku dari layar ponselku. Pandanganku tertuju pada beberapa foto yang diunggah oleh kawan kuliahku dulu. Warto namanya. Lama juga aku tak bertemu dengannya. Mungkin hampir satu dekade, sejak aku mendahuluinya naik status menjadi seorang alumnus dari universitas almamater kami dulu. Warto anak yang kalem. Bahkan, saking kalemnya, ia nyaris tak pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya, apalagi mimpi berpetualang ke luar negeri. Hebatnya Warto, sekalipun ia anak dari daerah yang agak terpencil di Jawa, ia termasuk anak yang punya prestasi akademik yang bagus, walau bukan yang paling top di kelas. Ia rendah hati dan tak punya potongan mahasiswa aktivis yang katanya penuh dengan idealisme. Kalau kuliah, cukup berpakaian sopan ala mahasiswa awal tahun 2000an saja penampilannya. Entah mengapa, aku merasa cocok berkawan dengan Warto semasa kuliah dulu.

Di fotonya, Warto tampak beda. Yang menarik perhatianku, Warto dengan wajah bersinar dan mata penuh semangat berfoto di depan White House, Gedung Putih, di Washington DC. Di foto lainnya, tampak ia mengacungkan tangannya di depan menara Eiffel di Paris, seolah berkata pada dunia bahwa ia kini bisa menginjak negeri para pemimpi itu. Kuusap layar pomselku, muncullah foto Warto yang lain. Kini ia sedang di suatu tempat di Swedia. Tertulis di belakangnya Stockholm. Ia memakai mantel agak tebal karena di foto itu tampaknya Stockholm juga baru diliputi salju. Ada lagi beberapa foto menarik punya Warto di belahan bumi yang lain, seperti Manchester dan London di Inggris, Berlin di Jerman, dan sebuah foto dengan latar belakang tulisan yang familiar di mataku akhir-akhir ini: Antwerp!

Sejenak aku larut dalam lamunan. "Hebat kawanku yang satu ini. Warto tak pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya ke luar negeri. Tapi sekarang ia sudah kemana-mana." hatiku berbisik. Benar, Warto tidak pernah bercerita tentang mimpinya ke luar negeri, untuk belajar apalagi. Namun kini lain. Justru dari laman facebook-nya saat ini aku tahu bahwa dulu ia pun ternyata menyimpan mimpi belajar di luar negeri. Ia tuliskan hal ini di salah satu caption fotonya. Dan kini, Warto membuktikan bahwa ia bisa, tanpa banyak sesumbar dan cerita tentang mimpinya di masa mudanya itu. Warto kini sedang menempuh program S2-nya di beberapa negara Eropa, sehingga dengannya ia bisa berpindah-pindah ke beberapa universitas tempat belajarnya.

Barangkali orang seperti Warto ini menjadi antitesis ucapan para motivator, bahkan novelis yang seringkali berujar, "Ceritakan mimpimu pada dunia, maka engkau akan dapat mewujudkannya!". Bolehlah mereka para motivator maupun novelis bercerita tentang kisah hidupnya yang dramatis. Namun, hidup orang itu adalah milik orang itu sendiri. Mempunyai mimpi itu memang wajib, agar hidup terus bersemangat. Namun, bercerita tentang mimpi kepada orang lain sebelum terwujud adalah sebuah pilihan. Dan, orang yang tampak kalem seperti Warto kawan saya tadi belum tentu tak punya mimpi dan hidupnya datar-datar saja.

***
Lamunanku tiba-tiba terhenti setelah tram direm mendadak karena ada mobil yang ngawur menerobos jalur tram, walaupun lampu peringatan akan ada tram lewat sudah berkedip-kedip. Aku lalu menutup ponselku, merogoh saku jaket tebalku untuk mengambil kartu OV untuk check out dari tram. Sebentar lagi tram akan tiba di halte terdekat dengan rumahku. Dan salju masih saja turun dengan lebatnya.


*Warto adalah tokoh fiktif. Mohon maaf bila ada kesamaan nama dan karakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar