Bercerita tentang alasan memilih tempat studi
di luar negeri memang tidak ada habisnya. Di sisi lain, bagi pendengar atau
pembaca kisah tadi, banyak hikmah maupun pesan yang bisa dipetik. Satu cerita
dengan cerita yang lain bisa jadi berbeda rasanya sekalipun berkisah tentang
sebuah negeri tujuan studi yang sama. Maklumlah, semua itu karena setiap cerita
didasari oleh kesan dan pengalaman unik dari pribadi penulis atau penuturnya.
Bagi saya, setiap cerita yang disajikan tanpa –maaf- unjuk kesombongan tentu
menarik untuk disimak. Pun saya yakin dalam setiap cerita atau tulisan tadi
pasti terkandung luapan semangat yang bisa menjalar pada diri kita serta pelajaran-pelajaran
berharga yang bisa kita timba.
Dalam tulisan saya terdahulu (Bagian 1 dan Bagian 2), ulasan saya
tentang alasan saya memilih Belanda sebagai tempat tujuan studi lanjut sudah saya
jabarkan dengan nuansa dan bahasa yang sedikit serius, agak jauh dari kesan
emosional saya sebagai penulisnya. Di tulisan kali ini, sekaligus menutup
trilogi tulisan bertitel “Mengapa Belanda?” ini, saya ingin berbagi cerita tentang
alasan saya yang lebih emosional memilih Belanda sebagai tempat studi lanjut.
Harapan saya, para pembaca juga menemukan sisi-sisi manusiawi yang menyelubungi
keputusan saya atas pilihan ini.
***
Cerita bermula dari tahun 2006, saat pertama kalinya saya mendapatkan kesempatan
pergi ke luar negeri. Tentu alasannya adalah studi, bukan berlibur. Meski
demikian, kesempatan studi ini bukanlah kesempatan belajar full-time selama satu atau dua tahun seperti kebanyakan kawan saya
yang mengambil program master di luar negeri.
Groningen adalah tempat tujuan saya saat itu. Kota yang terletak di ujung
utara Belanda itu menjadi persinggahan saya sekitar 11 hari saja. Itupun harus
dikurangi total waktu perjalanan pergi-pulang Yogyakarta-Amsterdam yang memakan
waktu hampir tiga hari. Meski sebentar, inilah perjalanan pertama yang membuka
mata saya tentang dunia luar. Kepergian saya kali itu bagaikan angin segar yang
menyejukkan. Saya merasa seperti meneguk segarnya air pegunungan di tengah
riuhnya cerita para dosen senior di kampus yang membuat saya hanya bisa menelan
ludah. Sering sekali mereka bercerita tentang kisah dan pengalamannya hidup dan
studi luar negeri. Saya, kala itu, sama sekali belum pernah bepergian ke luar
negeri! Jangankan ke luar negeri, naik pesawat terbang saja belum pernah ketika
itu!
Di Groningen, saya dan beberapa kawan serta staf pengajar dari kampus UGM
menghadiri pembukaan program internasional S2 yang saya ikuti. Saat itulah, saya
begitu terpesona dengan University of Groningen. Semangat untuk bersekolah ke
luar negeri menjadi semakin menggebu-gebu, walau saat itu keinginan tersebut
harus tertunda karena program S2 saya tidak memberikan kesempatan untuk mengambil
kuliah secara langsung di luar negeri. Mungkin karena cinta pada pandangan
pertama, pikiran bawah sadar saya ketika itu berkata suatu saat saya pasti akan
ke Belanda untuk melanjutkan studi. Bak orang yang tergila-gila pada sesuatu,
akhirnya terucap pula keinginan ke Belanda (Groningen) dalam setiap doa yang
saya panjatkan seusai sholat.
***
Tahun 2009, mimpi saya terwujud. Akhir November tahun itu, saya mendapat undangan wawancara sebagai calon
mahasiswa doktoral di University of Groningen. Untuk kedua kalinya saya
menginjakkan kaki ke Groningen. Kali ini saya pergi sendirian, namun semangat
yang menggebu membuat saya tak gentar meski tidak ada kawan yang bisa menemani
saya di kota tersebut. Tak berselang
lama setelah tes wawancara, saya pun mendapatkan kabar gembira: diterima
sebagai seorang promovendus,
mahasiswa doktoral di University of Groningen, terhitung sejak Maret 2010. Berangkatlah
saya ke Groningen menjemput jawaban atas doa dan cita-cita saya saat itu.
Namun, kehidupan saya di Groningen ternyata tidak lama. Akhir Januari 2011,
kontrak studi saya dihentikan karena suatu hal yang membuat pembimbing dan
promotor saya kala itu merasa tidak yakin saya bisa meneruskan studi saya. Dengan kata lain, saya mendapatkan
status “No Go” dalam evaluasi tahun
pertama saya. Tanpa banyak beralibi, saya pun menerima dengan sadar keputusan
itu. Dua bulan kemudian, saya pulang, kembali ke tanah air, tanpa hasil
sebagaimana yang diharapkan saat berangkat setahun sebelumnya. Di Bandara Schiphol
Amsterdam, 31 Maret 2011, saat menunggu penerbangan pesawat Malaysia Airlines yang
akan membawa saya beserta anak dan istri menuju Jakarta via Kuala Lumpur, hati
saya berbisik, “Suatu saat saya akan kembali lagi ke negeri ini!”
***
Perjuangan saya untuk ‘kembali’ lagi ke Belanda langsung dimulai sejak
kepulangan saya di Indonesia di tahun 2011. Saya memulai segala sesuatunya dari
titik nol lagi, khususnya dalam upaya mendapatkan beasiswa untuk membiayai
studi saya. Yang saya syukuri, saat itu saya sudah diterima secara personal sebagai
calon mahasiswa doktoral oleh seorang staf peneliti yang kini menjadi
pembimbing harian saya di TU Delft. Awal September 2012, saya akhirnya kembali
bersua dengan Belanda lagi. Kali ini bukan Groningen lagi tujuan saya, namun
Delft! Saya berangkat kembali ke Belanda dengan segudang amunisi untuk ‘membalas’ dan menebus kesalahan yang
berujung dengan terhentinya studi saya di Groningen.
Barangkali terbesit dalam pikiran pembaca, mengapa saya tidak memilih
negara selain Belanda untuk studi setelah ‘kegagalan’ yang saya alami di Groningen? Apakah
tidak takut hal serupa terulang lagi? Janji saya untuk kembali adalah
jawabannya. Lepas dari segala hal yang berbau studi, kehidupan saya di
Groningen bersama keluarga kecil saya saat itu membuat saya merasa mempunyai ‘ikatan
batin’ dengan Belanda. Di Belanda-lah saya pertama kali mengasah keberanian
menantang dunia luar. Di negeri Oranye itulah terlalu banyak kenangan yang
harus disimpan, termasuk momen kelahiran putri saya ke dunia. Hingga sekarang
saya pun tidak tahu akan berakhir seperti apa kehidupan di Belanda yang saya jalani saat ini. Namun
yang jelas, saya masih ingin membuktikan bahwa saya pun kelak akan sukses di negeri kincir ini. Inilah alasan emosional saya memilih Belanda sebagai tempat studi
saya saat ini. Bagaimana dengan para pembaca?
***
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar