Senin, 18 Mei 2015

Gado-gado di kantin TU Delft


Sudah banyak yang tahu bahwa menu makan siang orang Belanda bisa dikatakan datar-datar saja. Apalagi kalau bukan roti tawar dengan saus kacang, keju, selai coklat atau buah. Menu yang sedikit kompleks paling-paling berupa sandwich berisi sayuran atau daging. Tapi kembali lagi, rotilah sumber karbohidrat utama bagi orang Belanda.

Namun, fakta tadi ternyata terbantahkan di beberapa kesempatan. Kantin di kampus TU Delft, Belanda adalah salah satu saksi bisunya. Di kantin ini, hampir setiap hari tersedia menu makanan selain roti dan sandwich ala orang Belanda. Bahkan, beberapa bulan silam saya menemukan ‘salad orang Indonesia’ alias gado-gado disajikan sebagai salah satu menu utama makan siang.


Walau rasanya tidak seenak gado-gado favorit saya di Jogja, menu ini bisa menjadi alternatif makan siang saya waktu itu, setidaknya aman dari sisi kehalalannya. Isinya pun boleh dikata lengkap, ada sayurannya, irisan telur, tahu, saus kacang dan taburan emping melinjo. Harganya berapa? Ternyata satu porsi gado-gado dijual dengan harga 3.19 Euro, atau sekitar 47 ribu rupiah (1 Euro kira-kira setara 15 ribu rupiah)! Murah bukan? Hehehe… Eet smakelijk!

Selasa, 12 Mei 2015

Major Revision

Pembaca yang pernah mengirimkan manuskrip ke sebuah jurnal internasional bisa dipastikan semuanya pernah menerima umpan balik (feedback) atau komentar dari reviewer yang mengkoreksi naskah tersebut. Bila tidak, patut dicurigai kemana perginya manuskrip yang dikirimkan, hehehe… Umpan balik itu bisa jadi sangat manis, namun tidak jarang membuat pusing tujuh keliling!

Major revision, dua buah kata singkat yang tidak jarang tertulis di kolom status akun jurnal tempat mengirimkan sebuah manuskrip untuk publikasi ilmiah. Major revision dapat diartikan sebagai revisi besar. Dengan memasang status ini, editor dan reviewer jurnal tersebut menghendaki revisi besar-besaran pada manuskrip yang kita kirimkan. Bisa jadi berupa instruksi untuk menjelaskan alasan penggunaan metode penelitian kita atau mengubah kalimat berbahasa Inggris yang dianggap kurang tepat penggunaannya. Well, meski demikian, status revisi mayor tersebut masih tetap lebih baik daripada ditolak (rejection). Manuskrip dengan major revision masih mempunyai peluang untuk diterima dan dimuat di jurnal yang bersangkutan, walaupun pernyataan ini bukanlah sebuah jaminan.

Meski awalnya hampir selalu merasa kecut, sejauh ini saya tetap merasakan banyak manfaat saat menerima status major revision. Status revisi mayor saya dapatkan pertama kali saat mengirimkan manuskrip pertama saya di jurnal Materials Chemistry and Physics di tahun 2010. Saat itu adalah kali ketiga saya mengirimkan manuskrip pada sebuah jurnal internasional. Sebelumnya, manuskrip yang sama sudah ditolak dua kali dengan alasan tulisan saya tadi tidak sesuai dalam scope atau lingkup topik jurnal yang bersangkutan. Baca kisah saya ini di tulisan berikut.

Sumber: www.phdcomics.com
Lantas, mengapa saya merasa cukup senang dengan status tersebut? Yang jelas, saya saat itu ‘dihibur’ oleh kawan saya yang sudah berpengalaman menulis artikel di jurnal internasional, bahwa major revision masih lebih baik daripada ditolak secara langsung. Masih ada peluang manuskrip tadi diterima, walaupun harus ‘babak belur’ dulu digempur komentar-komentar pedas para reviewer yang sangat kritis. Yang kedua, saya menjadi tahu bahwa ternyata umpan balik dari para reviewer tadi sangatlah detil. Saya belajar bahwa menulis artikel di jurnal yang baik tidak bisa serampangan, asal selesai, namun harus detil dan bisa dipertanggungjawabkan isi dan bahasanya.

Status major revision selanjutnya yang berkesan saya dapatkan saat mengirim manuskrip pada jurnal Applied Surface Science di tahun 2012. Meski statusnya revisi mayor, saya bersama kawan-kawan penulis manuskrip tersebut merasa tidak terlalu khawatir. Pertanyaan-pertanyaan dan komentar yang diberikan reviewer bisa kami jawab dalam diskusi sehari saja. Saat itu pula, jurnal yang sama baru saja mempublikasikan tulisan saya yang lain. Sehingga, pikir saya, editor pasti tidak keberatan menerima tulisan baru saya bersama teman-teman. Dengan percaya diri, di hari kedua setelah mendapatkan status major revision, kami kirimkan lagi manuskrip yang sudah direvisi dengan kilat tadi.

Ternyata pikiran saya salah kaprah! Sehari setelah naskah revisi itu kami kirimkan, kami mendapatkan kabar dari editor. Ditolak! Manuskrip kami justru ditolak. Editor dengan permintaan maafnya menolak naskah kami. Sebuah sentilan yang tidak pernah saya lupakan, bahwa editor meminta kami berpikir baik-baik dalam merespon komentar para reviewer. Kami tidak perlu terburu-buru dalam mengirimkan revisi manuskrip walaupun merasa sudah menjawab semua pertanyaan dan komentar para reviewer dengan sangat baik! Editor jurnal internasional yang bereputasi selalu memberikan kesempatan selama tiga bulan untuk merevisinya.

Status major revision terakhir berasal dari manuskrip yang sedang saya proses saat tulisan ini diangkat. Maret 2015 lalu saya mengirimkan manuskrip pada jurnal Powder Technology. Kira-kira dua bulan setelahnya saya mendapatkan kabar dari editor jurnal tersebut. Isinya tentang revisi mayor yang harus saya lakukan. Jujur, saya cukup menghela nafas panjang, sepanjang komentar dari dua orang reviewer yang mencapai hampir dua halaman kertas A4! Belum pernah saya mendapatkan umpan balik sepanjang ini. Saking terkejutnya, saya putuskan untuk menunda membaca tuntas komentar para reviewer tadi hingga dua hari lamanya.

Dua hari berselang, saya baca kembali umpan balik para reviewer tersebut sebaik-baiknya. Akhirnya, saya temukan juga manfaat dari di balik panjangnya komentar-komentar tadi. Yang jelas, dari sekian banyak komentar yang ada, saya menjadi paham bahwa semuanya mengarahkan tulisan saya agar fokus pada audiens atau pembaca jurnal tadi. Semua reviewer menyarankan mengubah bahkan menghapus beberapa kalimat yang saya pikir penting dan membuat tulisan menjadi cukup lengkap dalam menjelaskan penelitian saya. Namun, mereka malah menolaknya. Alasan mereka, kalimat-kalimat tadi ternyata justru terlalu detil dan sudah menjadi ‘rahasia awam’ pembaca jurnal tersebut. Alhasil, saya harus mengubah dan menghapus beberapa bagian hingga tulisan saya menjadi lebih pendek.

Masih banyak pengalaman lain yang bisa diceritakan tentang major revision ini. Namun, tiga contoh kasus saya di atas rasanya sudah bisa kita jadikan perhatian saat menulis manuskrip. Tentunya agar manuskrip yang kita kirimkan semakin baik kualitas isi maupun teknik penulisannya. 

Selasa, 05 Mei 2015

Brussels Air Museum, Museum Pesawat Militer Belgia Punya

Setelah dua tulisan saya sebelumnya tentang Museum Dirgantara Mandala di Yogyakarta, Indonesia dan Aviodrome di Lelystad, Belanda, kali ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang museum penerbangan atau pesawat terbang di negeri jirannya Belanda: Belgia.

Musée de l'Air de Bruxelles atau Brussels Air Museum. Begitulah nama yang disematkan pada museum yang berada di Kota Brussels, ibukota Belgia ini. Tepatnya, museum pesawat militer ini berada di kompleks taman Kota Brussels, Parc du Cinquantenaire. Pembaca yang sedang mengunjungi Kota Brussels dapat dengan mudah mengunjungi museum ini dengan alat transportasi publik. Dari stasiun utama Kota Brussels (Gare Centrale atau Centraal Station), pengunjung cukup menggunakan metro jalur 1 atau 5 dan berhenti di halte Merode, yang terletak di dekat kompleks taman tersebut. Satu lagi, pengunjung tidak dikenakan biaya untuk masuk ke dalam museum ini, hanya donasi sukarela untuk perawatan koleksi-koleksi yang ada.

Brussels Air Museum
Seperti halnya negara-negara di Eropa Barat yang lain, Belgia adalah salah satu negara utama pakta pertahanan atlantik utara (North Atlantic Treaty Organization) atau NATO. Bahkan, Brussels sendiri didaulat menjadi markas utama NATO hingga saat ini. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila koleksi yang tersimpan di dalamnya kebanyakan adalah pesawat-pesawat milik Sekutu atau Blok Barat semasa Perang Dunia maupun Perang Dingin. Meski demikian, di museum ini juga tersimpan pesawat serang darat MiG-27 Flogger-D dan helikopter Mi-24 Hind buatan negara bekas seteru NATO di era Perang Dingin, Uni Sovyet sebelum bubar di tahun 1990. Memang hanya dua buah saja, namun koleksi dari negeri Beruang Merah itu ternyata masih otentik dengan dekorasi atau marking asli ala pesawat militer Uni Sovyet.

Gedung dan tata letak koleksi di Brussels Air Museum ini cukup sederhana. Tidak seperti di Dirgantara Mandala maupun Aviodrome yang terbagi dalam ruang dalam dan luar (indoor and outdoor) untuk menyimpan koleksinya, museum ini hanya menempati satu hall besar dimana pesawat berbagai ukuran diparkir sedemikian rupa dan serapi mungkin.

Begitu melewati pintu gerbang museum, pengunjung ‘disambut’ oleh sebuah pesawat legendaris dari ‘keluarga’ F-4 Phantom buatan Amerika Serikat. Pesawat ini bersalin kode menjadi RF-4 karena perannya sebagai pengintai-tempur (Reconnaissane-Fighter). Sejurus masuk lebih dalam, beragam koleksi mulai tampak batang hidungnya dalam deretan. Mulai dari beberapa helikopter milik militer Belgia, F-104 Starfighter, Mirage F-1, Mystere, F-86 Sabre, Fouga Magister, T-33A Bird dan duo Soviet MiG-27 Flogger-D dan helikopter Mi-24 Hind. Yang menarik, di bagian tengah hall, terpajang pesawat yang cukup modern, yakni F-16A Fighting Falcon bekas pakai Angkatan Udara Belgia. Bagi saya, inilah momen pertama menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebuah pesawat tempur yang konon paling laris dan ‘berprestasi’ di seantero jagad hingga detik ini.

RF-4 Phantom II
MiG-27 Flogger-D (kiri) dan Mi-24 Hind (kanan)

Dassault Mystere
Mirage F.1
F-16A Fighting Falcon
Bagian belakang hall museum diisi dengan berbagai pesawat tempur seperti A-26 Invader, Hawker Hurricane, model B-29 Stratofortress, Pembroke P-38, DC-3 Dakota dan si gembrot C-119 Flying Boxcar. Pesawat yang disebut terakhir mengingatkan saya akan film Flight of the Phoenix (2004), dimana pesawat ini menjadi ‘tokoh utama’ selain Denis Quaid dan Tyrese Gibson.

A-26 Invader
C-119 Flying Boxcar

Hawker Hurricane
Pembroke P-38
Mengarah ke pintu keluar yang dirangkap sekaligus oleh pintu gerbang museum, beragam koleksi masih tertata rapi walau berlumur debu. Misalnya, pesawat tempur jet pertama di dunia: Gloster Meteor dan varian tempur malamnya, F-84F Thunderstreak dan varian intainya, Hawker Hunter, Mirage V dan CF-105 Canuck. Seperti umumnya museum penerbangan, tidak hanya koleksi pesawat saja yang ditampilkan di dalamnya. Di museum ini juga dipajang deretan mesin-mesin yang sengaja dilepas dari badan pesawat untuk dipamerkan. Selain itu, dipamerkan mobil yang sering ‘mejeng’ bersama para ground-crew di lapangan terbang serta sebuah diorama yang bercerita tentang tentara Belgia dengan senjata penangkis serangan udaranya.

CF-105 Canuck
F-84F Thunderstreak
Gloster Meteor NF.11
Gloster Meteor
Mirage V
Secara umum, Brussels Air Museum sangat menarik bagi para peminat penerbangan militer. Walau demikian, urusan perawatan koleksi dan cara menyajikannya tampaknya masih menjadi kendala bagi pengelola museum. Berbeda dengan Aviodrome yang sangat tertata dan berusaha menyajikan informasi selengkap dan semenarik mungkin, bahkan melengkapinya dengan area bermain anak-anak untuk menumbuhkan kecintaan mereka pada dunia dirgantara. Sekedar menerka, hal ini sangat dimungkinkan berkaitan dengan minimnya anggaran untuk operasional Brussels Air Museum ini. Sebagai informasi, Aviodrome yang apik itu mematok harga tiket 16,5 Euro, sedangkan Brussels Air Museum tidak menarik biaya sepeser pun. Apapun itu, pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih jauh dapat mengunjungi situs resmi museum ini.