Jumat, 08 Juli 2016

Kado untuk Bu Guru



Barangkali anggapan bahwa budaya barat itu tidak layak ditiru oleh kita sebagai orang timur mungkin tidak sepenuhnya benar. Selepas sholat Subuh hari ini, istri saya bergegas menuju ruang tengah, menggelar kertas-kertas warna dan beberapa atribut layaknya dagangan. Gunting, lem beserta pensil warna tak lupa disiapkan. Dimulailah aksi membuat sketsa, gunting-menggunting, membuat kartu ucapan dan menghiasinya hingga unik bentuknya. Tak berselang lama, anak saya pun bangun dan tanpa basa-basi nimbrung-lah ia ke dalam workshop ibunya. Saya pun akhirnya turun tangan.


Apa yang kami lakukan di pagi hari di awal musim panas ini bukan dalam rangka lebaran yang baru saja lewat dua hari yang lalu. Kami tidak membuat kartu ucapan selamat Idul Fitri dan ucapan ‘mohon maaf lahir batin’-nya. Bukan. Kami sedang membuat ucapan untuk beberapa ibu guru yang mengajar di sekolah anak saya, sebagai pengantar kado yang siap kami kemas dan hantarkan sepulang sekolah anak saya di siang harinya. 

Hari ini adalah hari terakhir di tahun ajaran sekolah anak saya. Minggu depan adalah permulaan libur panjang musim panas di Belanda hingga akhir Agustus nanti. Jadi, hari ini adalah hari spesial, dimana para anak peserta didik membawa kado untuk gurunya di sekolah. Itulah mengapa sejak beberapa hari terakhir, saya kerap melihat para orang tua bersama anaknya di toko-toko mencari dan membeli barang-barang yang layak dikemas menjadi sebuah kado istimewa. Entah sejak kapan budaya ini ada. Yang jelas, budaya atau tradisi pendidikan ala negeri Barat –Belanda- yang seperti ini rasanya patut kita jadikan cermin untuk mengevaluasi diri kita. Sejauh mana kita menghargai seorang guru. Tentu, penghargaan materi seperti kado atau bingkisan tidak pernah sepadan dengan pendidikan yang ditularkan oleh guru. Terlalu kecil nilainya. Namun, tradisi seperti ini mengajarkan pada anak sejak dini bagaimana berterima kasih kepada orang yang pernah berjasa membimbing dan mengajarinya tentang ilmu di sekolah.

Masih lekat dalam ingatan, kondisi yang memilukan justru terjadi di negeri kita. Bagaimana logikanya, seorang guru yang notabene ingin mengarahkan muridnya ke jalan yang benar, malah harus masuk bui, dipidanakan! Sungguh keterlaluan! Memang, banyak hal yang harus dibenahi pada profesi guru di negeri kita, misalnya bagaimana metode seorang guru mengajar di kelas, bagaimana cara mereka menilai dan mengevaluasi hasil belajar, dsb. Harus diakui, semua itu memang masih menjadi nilai minus di negeri kita, hingga berimbas pada tertinggalnya kualitas pendidikan kita dari negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang, bahkan Singapura. Namun, tidak adil rasanya bila hanya guru saja yang disalahkan dan menjadi ‘bulan-bulanan’ untuk dikritik habis-habisan. Sebaliknya, justru sangat mungkin kita sendiri, yang tak punya tradisi menghargai guru itu, yang harus dikritik pedas atau –meminjam istilah Presiden Jokowi- di-revolusi mental-nya. 

Hari ini, saya sebagai orang timur dan Indonesia, mungkin harus mengakui lagi, bahwa ada tradisi bangsa Barat yang harus ditiru. Setelah budaya sabar dalam antrian, menghargai pejalan kaki dan tertib di jalan raya, tradisi menghormati guru dan berterima kasih kepadanya rasanya perlu kita ajarkan bukan hanya kepada anak kita, melainkan juga pada diri kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar