Barangkali anggapan bahwa budaya barat itu
tidak layak ditiru oleh kita sebagai orang timur mungkin tidak sepenuhnya
benar. Selepas sholat Subuh hari ini, istri saya bergegas menuju ruang tengah,
menggelar kertas-kertas warna dan beberapa atribut layaknya dagangan. Gunting,
lem beserta pensil warna tak lupa disiapkan. Dimulailah aksi membuat sketsa, gunting-menggunting,
membuat kartu ucapan dan menghiasinya hingga unik bentuknya. Tak berselang
lama, anak saya pun bangun dan tanpa basa-basi nimbrung-lah ia ke dalam workshop ibunya. Saya pun akhirnya turun
tangan.
Apa yang kami lakukan di pagi hari di awal
musim panas ini bukan dalam rangka lebaran yang baru saja lewat dua hari yang
lalu. Kami tidak membuat kartu ucapan selamat Idul Fitri dan ucapan ‘mohon maaf
lahir batin’-nya. Bukan. Kami sedang membuat ucapan untuk beberapa ibu guru
yang mengajar di sekolah anak saya, sebagai pengantar kado yang siap kami kemas
dan hantarkan sepulang sekolah anak saya di siang harinya.
Hari ini adalah hari terakhir di tahun ajaran
sekolah anak saya. Minggu depan adalah permulaan libur panjang musim panas di
Belanda hingga akhir Agustus nanti. Jadi, hari ini adalah hari spesial, dimana
para anak peserta didik membawa kado untuk gurunya di sekolah. Itulah mengapa
sejak beberapa hari terakhir, saya kerap melihat para orang tua bersama anaknya
di toko-toko mencari dan membeli barang-barang yang layak dikemas menjadi
sebuah kado istimewa. Entah sejak kapan budaya ini ada. Yang jelas, budaya atau
tradisi pendidikan ala negeri Barat –Belanda- yang seperti ini rasanya patut
kita jadikan cermin untuk mengevaluasi diri kita. Sejauh mana kita menghargai
seorang guru. Tentu, penghargaan materi seperti kado atau bingkisan tidak
pernah sepadan dengan pendidikan yang ditularkan oleh guru. Terlalu kecil
nilainya. Namun, tradisi seperti ini mengajarkan pada anak sejak dini bagaimana
berterima kasih kepada orang yang pernah berjasa membimbing dan mengajarinya
tentang ilmu di sekolah.
Masih lekat dalam ingatan, kondisi
yang memilukan justru terjadi di negeri kita. Bagaimana logikanya, seorang guru
yang notabene ingin mengarahkan muridnya ke jalan yang benar, malah harus
masuk bui, dipidanakan! Sungguh keterlaluan! Memang, banyak hal yang harus
dibenahi pada profesi guru di negeri kita, misalnya bagaimana metode seorang guru
mengajar di kelas, bagaimana cara mereka menilai dan mengevaluasi hasil
belajar, dsb. Harus diakui, semua itu memang masih menjadi nilai minus di
negeri kita, hingga berimbas pada tertinggalnya kualitas pendidikan kita dari
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang, bahkan Singapura. Namun,
tidak adil rasanya bila hanya guru saja yang disalahkan dan menjadi ‘bulan-bulanan’
untuk dikritik habis-habisan. Sebaliknya, justru sangat mungkin kita sendiri, yang tak
punya tradisi menghargai guru itu, yang harus dikritik pedas atau –meminjam istilah
Presiden Jokowi- di-revolusi mental-nya.
Hari ini, saya sebagai orang timur dan
Indonesia, mungkin harus mengakui lagi, bahwa ada tradisi bangsa Barat yang
harus ditiru. Setelah budaya sabar dalam antrian, menghargai pejalan kaki dan
tertib di jalan raya, tradisi menghormati guru dan berterima kasih kepadanya
rasanya perlu kita ajarkan bukan hanya kepada anak kita, melainkan juga pada
diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar