Jumat, 08 Juli 2016

Berburu Hikmah di Bulan Suci



Bagi setiap muslim, bulan Ramadhan adalah sebuah masa yang istimewa. Ia memang dihadirkan olehNya bukan hanya sebagai ruang yang ‘memaksa’ kita untuk tidak tunduk kepada hawa nafsu, melainkan juga momen yang baik untuk berburu hikmah dalam setiap relung kehidupan. Kapanpun dan dimanapun.

Disadari atau tidak, istilah ‘kebetulan’ seringkali terlontar dengan mudahnya saat kita mengomentari kejadian-kejadian yang tetiba hadir tanpa diduga sebelumnya. Padahal, sebenarnya tidak ada yang kebetulan. Yang Maha Kuasa telah menuliskan semuanya, hingga akhirnya kita sebut takdir setelah hal itu terjadi. Pun dengan apa yang berhasil saya ‘tangkap’ lewat lensa kamera handphone selama bulan Ramadhan 1437H lalu. Kejadian dan hikmahnya pastinya tidak dihadirkan olehNya sebagai sebuah kebetulan.

Dalam senyap.


Memang, adakalanya tak perlu banyak bertanya.
Tak usah jua banyak menuntut.
Kerjakan saja apapun yang memberi manfaat.
Sekalipun kecil nilainya bagi orang kebanyakan.
Sekalipun tak ada sorot mata yang memberi harga.
Sekalipun tidak ada yang mengangkat ceritanya di media.  

Foto ini diambil di suatu pagi, hari kedua Ramadhan, di selasar menuju tempat parkir Stasiun Delft, Belanda.

Bayangan.
Pun, acapkali bayangan kita lebih tinggi melampaui realitas yang ada, hingga angan-angan kita terlampau tinggi dan ketakutan kita berlebihan.


Foto diambil di suatu sore, hari keempat Ramadhan, di jalan depan Stasiun Delft, Belanda.

Hujan.
Suatu ketika, langkah kaki ini memang harus ditahan sejenak, hingga rintik hujan yang kelewat lebat itu mereda.


Foto diambil di suatu pagi, hari kesembilan Ramadhan, di sebuah kolong jembatan di Delft, Belanda.

Khusyuk.
Talk less, do more.


Foto diambil di suatu siang, hari ke-24 Ramadhan, di Masjid Al-Hikmah, Den Haag, Belanda.

Kata maaf di suatu pagi.
Sorot mentari di awal 1 Syawal tahun ini memang tak beda dengan hari biasanya.
Pun, maaf tak seharusnya diucap hanya pada hari raya saja.
Namun, tak ada salahnya membuat budaya baik ini lestari.


Foto diambil di suatu pagi, hari pertama Syawal, di Schiedam, Belanda.

*** 

Dan akhirnya, mohon maaf lahir batin. Selamat Idul Fitri 1437 H. Teriring doa, semoga amal dan ibadah kita di Bulan Ramadhan yang baru saja berlalu diterima dan diridhoi-Nya. Dan, semoga kita dipertemukan dengannya lagi tahun depan.

Kado untuk Bu Guru



Barangkali anggapan bahwa budaya barat itu tidak layak ditiru oleh kita sebagai orang timur mungkin tidak sepenuhnya benar. Selepas sholat Subuh hari ini, istri saya bergegas menuju ruang tengah, menggelar kertas-kertas warna dan beberapa atribut layaknya dagangan. Gunting, lem beserta pensil warna tak lupa disiapkan. Dimulailah aksi membuat sketsa, gunting-menggunting, membuat kartu ucapan dan menghiasinya hingga unik bentuknya. Tak berselang lama, anak saya pun bangun dan tanpa basa-basi nimbrung-lah ia ke dalam workshop ibunya. Saya pun akhirnya turun tangan.


Apa yang kami lakukan di pagi hari di awal musim panas ini bukan dalam rangka lebaran yang baru saja lewat dua hari yang lalu. Kami tidak membuat kartu ucapan selamat Idul Fitri dan ucapan ‘mohon maaf lahir batin’-nya. Bukan. Kami sedang membuat ucapan untuk beberapa ibu guru yang mengajar di sekolah anak saya, sebagai pengantar kado yang siap kami kemas dan hantarkan sepulang sekolah anak saya di siang harinya. 

Hari ini adalah hari terakhir di tahun ajaran sekolah anak saya. Minggu depan adalah permulaan libur panjang musim panas di Belanda hingga akhir Agustus nanti. Jadi, hari ini adalah hari spesial, dimana para anak peserta didik membawa kado untuk gurunya di sekolah. Itulah mengapa sejak beberapa hari terakhir, saya kerap melihat para orang tua bersama anaknya di toko-toko mencari dan membeli barang-barang yang layak dikemas menjadi sebuah kado istimewa. Entah sejak kapan budaya ini ada. Yang jelas, budaya atau tradisi pendidikan ala negeri Barat –Belanda- yang seperti ini rasanya patut kita jadikan cermin untuk mengevaluasi diri kita. Sejauh mana kita menghargai seorang guru. Tentu, penghargaan materi seperti kado atau bingkisan tidak pernah sepadan dengan pendidikan yang ditularkan oleh guru. Terlalu kecil nilainya. Namun, tradisi seperti ini mengajarkan pada anak sejak dini bagaimana berterima kasih kepada orang yang pernah berjasa membimbing dan mengajarinya tentang ilmu di sekolah.

Masih lekat dalam ingatan, kondisi yang memilukan justru terjadi di negeri kita. Bagaimana logikanya, seorang guru yang notabene ingin mengarahkan muridnya ke jalan yang benar, malah harus masuk bui, dipidanakan! Sungguh keterlaluan! Memang, banyak hal yang harus dibenahi pada profesi guru di negeri kita, misalnya bagaimana metode seorang guru mengajar di kelas, bagaimana cara mereka menilai dan mengevaluasi hasil belajar, dsb. Harus diakui, semua itu memang masih menjadi nilai minus di negeri kita, hingga berimbas pada tertinggalnya kualitas pendidikan kita dari negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, Jepang, bahkan Singapura. Namun, tidak adil rasanya bila hanya guru saja yang disalahkan dan menjadi ‘bulan-bulanan’ untuk dikritik habis-habisan. Sebaliknya, justru sangat mungkin kita sendiri, yang tak punya tradisi menghargai guru itu, yang harus dikritik pedas atau –meminjam istilah Presiden Jokowi- di-revolusi mental-nya. 

Hari ini, saya sebagai orang timur dan Indonesia, mungkin harus mengakui lagi, bahwa ada tradisi bangsa Barat yang harus ditiru. Setelah budaya sabar dalam antrian, menghargai pejalan kaki dan tertib di jalan raya, tradisi menghormati guru dan berterima kasih kepadanya rasanya perlu kita ajarkan bukan hanya kepada anak kita, melainkan juga pada diri kita sendiri.