Rabu, 11 Oktober 2017

Pesan Moral Film "Spider-Man: Homecoming"

Film Spider-Man: Homecoming boleh dikata adalah salah satu dari segelintir film superhero ala negeri Paman Sam yang berhasil membuat saya mengacungkan jempol. Film ini tidak hanya menyodorkan plot cerita yang sedikit beda dengan film-film superhero sejenis, tetapi juga pesan moral yang menurut saya bermanfaat untuk kehidupan. 
Spider-Man: Homecoming (Gambar: Wikipedia)
Dalam penerbangan trans-benua dari Jogja menuju Amsterdam belum lama ini, saya tidak menyiakan waktu memanfaatkan fasilitas in-flight entertainment yang ditawarkan maskapai Garuda Indonesia yang saya tunggangi. Spider-Man: Homecoming, adalah film yang langsung saya putar begitu pesawat sudah tenang mengudara.

Dalam film Spider-Man kali ini, Peter Parker, diperankan oleh Tom Holland, seorang anak SMU, dengan segala tingkahnya sebagai anak muda. Singkat cerita, dalam film ini Peter berusaha membuktikan dirinya pantas mengenakan kostum Spider-Man yang dirancang Tony "Iron Man" Stark (diperankan oleh Robert Downey Jr.), sang pemimpin The Avengers. Kostum rancangan Stark ini mengadopsi teknologi layaknya kostum Iron Man; ada navigator yang menuntun sang superhero saat beraksi, sebagaimana tokoh Jarvis dalam film Iron Man. Selain itu, kostum ini dilengkapi dengan robot laba-laba yang membantu Spider-Man mengintai situasi yang berada di luar jangkauannya.

Namun, Peter harus menelan pil kekecewaan, lantaran Stark mengambil kembali kostum super tersebut dengan alasan bahwa Peter tak bisa memanfaatkan kostum tadi dengan benar. Jadilah, di aksi berikutnya, Peter mengenakan kostum rancangannya sendiri yang masih sangatlah primitive: serupa kaos biasa dengan topeng merah dan 'kacamata google'. Kostum ini mengingatkan saya pada Spider-Man era tahun 70an, yang dulu pernah diputar di salah satu televisi swasta di Indonesia pada tahun 90an. Peter mampu membuktikan, bahwa ia memang tetap bisa berbuat kebaikan dengan kekuatannya sendiri, tidak bergantung pada peralatan dan kostum canggih pemberian Stark.

Stark puas. Di akhir cerita, setelah musuh berhasil dikalahkan oleh Peter -dengan tanpa membunuh-, Stark memberikan kembali kostum Spider-Man rancangannya kepada Peter serta menawarinya sebagai anggota The Avengers. Namun, Peter menolak. Parker tidak ingin menjadi bagian dari The Avengers yang memang sudah dikenal sebagai superhero elit di dunia. Peter memilih menjadi Spider-Man seperti apa adanya, Spiderman yang menjaga lingkungan dan melindungi rakyat kecil. Inilah pesan bijak Parker yang belia kepada Stark yang jauh lebih tua dan dewasa dibanding dirinya. 
Dialog di akhir film antara Peter Parker (kiri) dan Tony Stark (kanan), yang sarat dengan pesan moral.
Potongan cerita di atas, menurut saya, adalah pesan moral yang cukup baik dari film ini. Pelajaran pertama, Peter percaya pada kekuatannya sendiri, bukan atribut artifisial seperti kostum Spider-Man berteknologi canggih pemberian Tony Stark. Peter berhasil menunjukkan siapa dirinya, bahwa ia memang superhero sejati. Meski demikian, pesan yang keduanya, nuraninya menuntun tindakannya, bahwa menjadi superhero tak harus menjadi seorang yang elit, eksklusif dan terkenal. Ia memilih jalan menjadi apa adanya dan tetap rendah hati.

Senin, 09 Oktober 2017

LangitMu

Ya Rabb, ya Tuhanku,
hanya atas izinMu, aku ada di tengah awan-awanMu,
hanya atas ridhoMu, aku melayang di udara setinggi ini, di langitMu
hanya atas karuniaMu, aku berjalan menuju negeri-negeri yang sejatinya asing bagiku.
Tuhanku,
secuil diriku merasa, ketika berada di tengah hamparan angkasaMu,
lemah diriku tak berdaya, tatkala Kau singkap dan tunjukkan langit kekuasaanMu,
tak tegak lagi langkahku, tergetar saat terhembus tiupan angin turbulensiMu
tak kuasa diriku, bila pada masa itu tetiba saja Kau putuskan kehendakMu atas jiwaku.

Tuhanku, maafkan aku, tuntunlah aku, lindungilah aku.
Sungguh, bait-bait salahku pastilah panjang berbondong, menutupi mata hatiku,
hingga sombonglah diriku, congkaklah diriku, arogannya diriku.
Namun, aku masih berharap, tentang ampunan dan pelukanMu.

-Jelang fajar, di atas langit Munster-

Selasa, 03 Oktober 2017

Seratus

Beberapa pertanyaan yang sering terlontar dalam benak saya hampir setiap saat membuka blog yang saya buat empat tahun silam ini: Bisakah saya merawat blog ini? Bisakah saya aktif menulis sesuatu yang berbobot untuk diunggah dalam blog ini? Pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya memang sulit untuk dijawab. 

Salah satu kegemaran saya adalah menulis. Namun ternyata ada kalanya waktu tidak mengizinkan saya leluasa menulis. Saya bukan termasuk penulis yang mudah menuangkan begitu saja gagasan-gagasan yang berkecamuk di pikiran ke dalam bahasa tulis, hingga siap dinikmati oleh para pembaca dalam sekali waktu menulis saja, tanpa editing yang berulang-ulang, tanpa berpikir terlalu lama dan panjang tentang bagaimana 'rasa' dan makna dari setiap kalimat yang saya susun. Akibatnya, proses menulis di hampir semua artikel saya di blog ini membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seringkali harus berjam-jam, bahkan berhari-hari, serta tak jarang berulang kali saya menyimpan dan mendiamkan sebuah draft tulisan untuk sementara waktu dalam laptop maupun ipad saya. 

Blog ini pun pernah beberapa kali vakum, tidak ada tulisan yang saya unggah selama beberapa bulan lamanya karena kesibukan yang mendera bertubi-tubi. Namun, saya tetap punya komitmen, bahwa blog ini harus tetap terisi oleh tulisan-tulisan yang baik, syukur-syukur berbobot dan membawa manfaat, yang itu semua jelas tidak bisa serampangan dalam menyusunnya.

Empat tahun lalu, saya mengawali blog ini termotivasi oleh sebuah kata inspirasi dari seorang kawan saya saat studi di Delft. Ujarnya, bahwa blog-lah tempat kita menuliskan pemikiran kita dengan sebebas-bebasnya, meski kebebasan itu tetap ada batasannya. Namun, menulis di blog itu tidak dibatasi oleh aturan-aturan tertentu seperti halnya dalam jurnal ilmiah maupun buku. Pun, menulis di dalamnya juga tidak dibatasi oleh kehangatan isu seperti halnya pada surat kabar, majalah maupun media massa yang lain.

Melihat ke belakang, tulisan-tulisan yang saya hadirkan dalam blog ini ternyata topiknya cukup variatif. Namun, mayoritas berisi tentang masalah studi, riset dan menulis publikasi ilmiah; hal-hal yang sampai saat ini -alhamdulillah- masih bisa saya tekuni dan pertahankan konsistensinya dalam menjalaninya. Juga, hal-hal yang memang menjadi kegemaran saya, seperti dunia penerbangan, ilmu material dan fotografi. Saya masih berpegang pada prinsip yang saya anut saat mengawali blog ini, yakni membuktikan dulu baru berbicara (atau menuliskannya). 

Akhir kata, di artikel saya yang ke seratus dalam blog pribadi ini, teriring doa semoga blog ini tetap membawa manfaat, walaupun tulisan-tulisan di dalamnya tidaklah sebaik tulisan para blogger maupun penulis kawakan yang telah malang melintang di negeri ini dengan segudang pemikiran hebatnya. 

Minggu, 01 Oktober 2017

Aktivitas Menyambut Pagi


Inilah salah satu foto yang pernah saya bidik pada saat yang istimewa: blue hours. Pun, saya mengambilnya lantaran merasa ada cerita yang ingin saya sampaikan di balik foto tersebut. Aktivitas menyambut pagi di Depo Lokomotif Yogyakarta, yang lokasinya berada di salah satu sudut kompleks Stasiun Tugu Yogyakarta. Pengambilan foto dilakukan bakda Subuh, menjelang jam 5 pagi. Saat itu, hari Minggu, dan saya baru saja sampai di Stasiun Tugu setelah menempuh perjalanan hampir 8 jam dari Bandung. Alih-alih langsung keluar stasiun setelah sholat Subuh, saya memanfaatkan momen jelang matahari terbit untuk mengambil beberapa foto tentang kereta api dan stasiun. Jadilah foto ini. Saya ambil dengan kamera DSLR Canon 1200D dipadu dengan lensa kit-nya EF 18-55 mm, yang saya set pada fokus 50 mm, bukaan lensa f/5.6 serta ISO 1600.
Aktivitas Menyambut Pagi
Awalnya, sempat terpikir di benak saya untuk mengikutsertakan foto ini pada lomba fotografi 150 tahun kereta api Indonesia. Namun, niat tersebut tinggallah sebuah niat dalam hati saja. Saya urung mengirimkannya, karena tidak teliti membaca tertib administrasi lombanya. Beberapa hari belakangan, keputusan saya untuk tidak mengirimkan foto tersebut serasa dibenarkan. Saya tidak pede melihat foto-foto peserta lain yang luar biasa kereeeen dipajang di salah satu sudut ruang tunggu Stasiun Gubeng Surabaya di akhir September lalu. Hahaa... Ya sudah, akhirnya foto tersebut saya upload di akun facebook saya saja.