Akhir tahun 2017 ini, saya sempat
meluangkan waktu untuk menonton Star Wars: The Last Jedi di sebuah bioskop di
Jogja. Meski tergolong film lepas, Star Wars ternyata tak ubahnya sebuah
serial, yang ceritanya saling bersambung dari satu episode dengan episode film yang
lainnya. Tercatat sejak rilis pertamanya di tahun 1970an hingga akhir tahun
2017 ini, serial Star Wars sudah mengantongi delapan episode, plus satu
tambahan film ‘sisipan’ yang rilis tahun 2016 lalu, Rogue One. Episode yang terakhir: The Last Jedi adalah episode
kedelapan, yang baru saja dirilis pertengahan Desember tahun ini. Konon, Star
Wars adalah sebuah fenomena, yang tidak saja menjadi gebrakan dalam industri perfilman
dunia, tetapi juga menggerakkan perekonomian. Lihat saja, berbagai merchandise film ini ramai diserbu para penggemar
cerita fiksi ini di seluruh dunia.
Bagi saya, Star Wars memang
berkesan. Film ini pertama kali saya tonton di stasiun televisi TVRI saat masih
tduduk di bangku sekolah dasar awal tahun 90an. Di hari film itu diputar, saya
relakan tidur malam. Toh, malam itu
juga hari Sabtu, sehingga saya libur sekolah keesokan harinya. Saya begitu
terpukau melihat adegan demi adegan pertempuran di ruang angkasa dalam film
Star Wars. Saat itu, saya pikir film Star Wars ya cuma satu film lepas saja,
tidak berseri. Belakangan, setelah saya dewasa, saya baru tahu albahwa film
yang saya tonton semasa kecil dulu adalah Star Wars Episode IV: A New Hope; walaupun
ia dirilis paling awal sebelum episode-episode lainnya.
Singkatnya, The Last Jedi, yang
saya tonton di penghujung 2017 ini, bercerita tentang kembalinya salah satu
tokoh utama serial Star Wars, yakni Luke Skywalker. Ia kembali untuk membantu
dan menyelamatkan para pemberontak (resistance)
yang menjadi figur-figur protagonis dalam serial ini. Sebenarnya, Luke sudah tidak
ingin kembali menggunakan kekuatannya untuk melawan kekaisaran yang berupaya
menindas para penghuni planet di seluruh galaksi; sebagaimana ia diceritakan
dulu di Episode IV hingga VI. Namun, setelah konflik batin yang ia alami, ia
memutuskan untuk pergi membantu para resistance
yang tersisa melawan armada kekaisaran yang dipimpin keponakannya sendiri, Ben
Solo.
Seperti kebanyakan
film-film yang saya apresiasi karena pesan moralnya, Star Wars Episode VIII
kali ini juga menyampaikan petuah yang saya pikir layak untuk direnungkan. Ada
dialog menarik yang terjadi antara Luke dengan ‘bayangan’ gurunya, Master Yoda,
saat Luke berkeinginan untuk membakar semua buku-buku tentang Jedi yang
tersimpan di tempatnya tinggal. Master Yoda menyampaikan satu hal penting
kepada Luke. Tentang kegagalan. Bahwa kegagalan adalah guru terbaik. Dan,
semestinya kegagalan juga diajarkan kepada para murid. Begitu petuah Master
Yoda.
Memang benar. Kegagalan
itu berat, sulit dan menyakitkan. Namun, ternyata kegagalan adalah guru yang
terbaik. Ia adalah bagian dari pengalaman hidup seseorang. Banyak orang berujar
bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun, ungkapan ini rasanya kurang
lengkap. Pengalaman yang mana? Pengalaman yang tentang kesuksesan atau tentang
yang baik-baik saja? Pasti, kita bisa belajar dan mau belajar darinya. Ketika
seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan, atau ia sukses meraih sesuatu,
pastilah itulah sebuah pengalaman yang dianggap baik, lalu bisa diceritakan hingga
orang lain pun terinspirasi. Lidah seakan mudah bergeliat hingga kita gampang
berkata manis dan bijaksana bila pelajaran itu adalah pengalaman baik. Bila
demikian, benarlah, bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Lalu, bagaimana bila pengalaman tersebut adalah
pengalaman pahit, pengalaman tentang gagal, yang tentu saja menyakitkan, berat
dan sulit dijalani. Pastilah lidah ini kelu, hati ini ciut, keberanian untuk
menceritakannya ini laksana terbenam, atau kata-kata manis nan bijak itu terasa
berat untuk diucap. Justru sebaliknya, kadangkala sumpah serapah, umpatan dan
celaan atas situasi yang mendera yang terucap. Frustasi kita akan sebuah
kegagalan seringkali membuat kita enggan belajar darinya. Padahal, konon, kegagalan
itulah guru yang paling baik. Setidaknya, Master Yoda mengklaim begitu, hehehee… Karena lewat kegagalanlah kita seharusnya belajar agar kita hendaknya seperti ini, atau seperti itu, sesuai dengan jalan cerita yang telah disusunNya untuk kita, meski kita tidak pernah tahu alurnya. So, mungkin kita perlu
merenungkannya juga. Tentang kegagalan yang akan menjadi sebenar-benar guru
yang terbaik. Pasti, namun mungkin kita perlu berkompromi dengan makhluk yang
bernama waktu. Waktulah yang memberi kesempatan, hingga pada akhirnya kita bisa
mengambil pelajaran yang teramat berharga dari sang guru yang bernama kegagalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar