Kamis, 28 Desember 2017

Petuah Master Yoda

Akhir tahun 2017 ini, saya sempat meluangkan waktu untuk menonton Star Wars: The Last Jedi di sebuah bioskop di Jogja. Meski tergolong film lepas, Star Wars ternyata tak ubahnya sebuah serial, yang ceritanya saling bersambung dari satu episode dengan episode film yang lainnya. Tercatat sejak rilis pertamanya di tahun 1970an hingga akhir tahun 2017 ini, serial Star Wars sudah mengantongi delapan episode, plus satu tambahan film ‘sisipan’ yang rilis tahun 2016 lalu, Rogue One. Episode yang terakhir: The Last Jedi adalah episode kedelapan, yang baru saja dirilis pertengahan Desember tahun ini. Konon, Star Wars adalah sebuah fenomena, yang tidak saja menjadi gebrakan dalam industri perfilman dunia, tetapi juga menggerakkan perekonomian. Lihat saja, berbagai merchandise film ini ramai diserbu para penggemar cerita fiksi ini di seluruh dunia.
Bagi saya, Star Wars memang berkesan. Film ini pertama kali saya tonton di stasiun televisi TVRI saat masih tduduk di bangku sekolah dasar awal tahun 90an. Di hari film itu diputar, saya relakan tidur malam. Toh, malam itu juga hari Sabtu, sehingga saya libur sekolah keesokan harinya. Saya begitu terpukau melihat adegan demi adegan pertempuran di ruang angkasa dalam film Star Wars. Saat itu, saya pikir film Star Wars ya cuma satu film lepas saja, tidak berseri. Belakangan, setelah saya dewasa, saya baru tahu albahwa film yang saya tonton semasa kecil dulu adalah Star Wars Episode IV: A New Hope; walaupun ia dirilis paling awal sebelum episode-episode lainnya.
Singkatnya, The Last Jedi, yang saya tonton di penghujung 2017 ini, bercerita tentang kembalinya salah satu tokoh utama serial Star Wars, yakni Luke Skywalker. Ia kembali untuk membantu dan menyelamatkan para pemberontak (resistance) yang menjadi figur-figur protagonis dalam serial ini. Sebenarnya, Luke sudah tidak ingin kembali menggunakan kekuatannya untuk melawan kekaisaran yang berupaya menindas para penghuni planet di seluruh galaksi; sebagaimana ia diceritakan dulu di Episode IV hingga VI. Namun, setelah konflik batin yang ia alami, ia memutuskan untuk pergi membantu para resistance yang tersisa melawan armada kekaisaran yang dipimpin keponakannya sendiri, Ben Solo.
Seperti kebanyakan film-film yang saya apresiasi karena pesan moralnya, Star Wars Episode VIII kali ini juga menyampaikan petuah yang saya pikir layak untuk direnungkan. Ada dialog menarik yang terjadi antara Luke dengan ‘bayangan’ gurunya, Master Yoda, saat Luke berkeinginan untuk membakar semua buku-buku tentang Jedi yang tersimpan di tempatnya tinggal. Master Yoda menyampaikan satu hal penting kepada Luke. Tentang kegagalan. Bahwa kegagalan adalah guru terbaik. Dan, semestinya kegagalan juga diajarkan kepada para murid. Begitu petuah Master Yoda.
Memang benar. Kegagalan itu berat, sulit dan menyakitkan. Namun, ternyata kegagalan adalah guru yang terbaik. Ia adalah bagian dari pengalaman hidup seseorang. Banyak orang berujar bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun, ungkapan ini rasanya kurang lengkap. Pengalaman yang mana? Pengalaman yang tentang kesuksesan atau tentang yang baik-baik saja? Pasti, kita bisa belajar dan mau belajar darinya. Ketika seseorang mendapatkan apa yang ia inginkan, atau ia sukses meraih sesuatu, pastilah itulah sebuah pengalaman yang dianggap baik, lalu bisa diceritakan hingga orang lain pun terinspirasi. Lidah seakan mudah bergeliat hingga kita gampang berkata manis dan bijaksana bila pelajaran itu adalah pengalaman baik. Bila demikian, benarlah, bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik.
Lalu, bagaimana bila pengalaman tersebut adalah pengalaman pahit, pengalaman tentang gagal, yang tentu saja menyakitkan, berat dan sulit dijalani. Pastilah lidah ini kelu, hati ini ciut, keberanian untuk menceritakannya ini laksana terbenam, atau kata-kata manis nan bijak itu terasa berat untuk diucap. Justru sebaliknya, kadangkala sumpah serapah, umpatan dan celaan atas situasi yang mendera yang terucap. Frustasi kita akan sebuah kegagalan seringkali membuat kita enggan belajar darinya. Padahal, konon, kegagalan itulah guru yang paling baik. Setidaknya, Master Yoda mengklaim begitu, hehehee… Karena lewat kegagalanlah kita seharusnya belajar agar kita hendaknya seperti ini, atau seperti itu, sesuai dengan jalan cerita yang telah disusunNya untuk kita, meski kita tidak pernah tahu alurnya. So, mungkin kita perlu merenungkannya juga. Tentang kegagalan yang akan menjadi sebenar-benar guru yang terbaik. Pasti, namun mungkin kita perlu berkompromi dengan makhluk yang bernama waktu. Waktulah yang memberi kesempatan, hingga pada akhirnya kita bisa mengambil pelajaran yang teramat berharga dari sang guru yang bernama kegagalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar