Senin, 10 Desember 2018

Mendudukkan Scopus Pada Kursinya

Lagi, dan muncul kembali, sebuah tulisan opini yang membahas tentang Scopus -dan kawan-kawannya sesama indeks jurnal ilmiah di tingkat internasional. Kali ini, sebuah tulisan menarik bertitel “Calo Scopus” dari Prof. Deddy Mulyana yang terbit di salah satu harian nasional di pertengahan Desember 2018 ini. Scopus -dan kawan-kawannya- ini memang unik, penuh kontroversi, apalagi bila dikaitkan dengan berbagai kasus pelanggaran etika penulisan publikasi di jurnal-jurnal ilmiah internasional bereputasi di negeri kita ini. Lalu, tak jarang Scopus dipermasalahkan.
Sudah menjadi perkara umum ketika pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Riset, Teknologi dan DIKTI, dengan berbagai cara berupaya mendongkrak jumlah publikasi ilmiah di level internasional. Paling tidak, tujuan menjadikan angka publikasi ilmiah kita termasuk yang diperhitungkan di regio Asia Tenggara tercapai. Tak tanggung-tanggung upaya yang telah Kemenristekdikti lakukan. Bahkan platform pengindeks skala nasional pun dibuat, yakni dengan nama SINTA (Science and Technology Index). Konon, Sinta digagas dan dilahirkan agar kita bisa mendata atau ‘merangkul’ seluruh publikasi yang ditulis oleh para peneliti dan dosen di Indonesia tanpa terkecuali. Mungkin, agar tidak terjadi ‘kesalahan’ seperti yang dilakukan para pengindeks lain buatan luar negeri, semacam Scopus, yang sering luput mendata karya-karya tulis anak bangsa, sehingga seolah-olah para peneliti dan dosen di negeri kita ini tidak produktif.
Lalu, ada apa dengan Scopus? Mengapa ia menjadi momok dan lantas didakwa menjadi penyebab pelanggaran etika seseorang ketika meneliti dan menulis publikasi di level internasional? Tulisan Prof. Deddy Mulyana setidaknya sudah cukup bisa menjawabnya dan memberikan gambaran persoalan tentang Scopus. Namun, mungkin ada perlunya kita menilik kembali, apa sejatinya fungsi Scopus dan kawan-kawannya sesama pengindeks jurnal ilmiah. Ya, selama ini kita mempermasalahkan Scopus. Tetapi jangan-jangan kita sendiri yang salah menilai, memahami dan menggunakan platform pengindeks jurnal itu dari tujuan yang semestinya.
Yang pertama, sesuai dengan sebutannya sebagai pengindeks, Scopus bekerja untuk memperkenalkan karya-karya para peneliti atau dosen yang ditulis dalam sebentuk artikel kepada khalayak. Scopus itu hanya semacam etalase, yang memberikan deskripsi singkat tentang artikel yang kita tulis; lewat judulnya, nama dan afiliasi penulisnya, tahun dipublikasikannya, serta abstrak dari artikel tersebut. Dengan demikian, orang lain akan mengetahui bahwa sudah ada penelitian tentang ini dan itu, bahwa penelitian ini dan itu sudah diteliti oleh penulis A, B atau C, serta bahwa penelitian ini dan itu hasilnya seperti yang tertulis secara singkat dalam abstrak yang diuanggah. Layaknya etalase, semakin banyak tempat untuk ‘memamerkan’ barang dagangan itu, semakin luas pula peluang barang dagangan itu dilirik oleh calon pembeli. Sama. Bila satu artikel dimuat dalam sebuah jurnal yang diindeks oleh banyak pengindeks -tidak hanya Scopus, maka terbuka peluang artikel tersebut semakin luas persebarannya, semakin banyak calon pembacanya, sehingga ilmu yang terkandung di dalamnya semakin besar peluangnya diakses dan dipelajari oleh orang lain. InsyaAlloh semakin luas pula manfaat ilmu yang disampaikan lewat artikel itu untuk kemajuan umat manusia.
Sampai di sini, perlu diingat bahwa Scopus dan kawan-kawannya tadi hanyalah mesin yang mengupayakan semakin besarnya peluang sebuah artikel atau karya akan dibaca oleh lebih banyak peneliti atau dosen lain, terutama yang berkepentingan dengan bidang penelitian tersebut. Tidak ada jaminan suatu karya terindeks Scopus lantas menjadi karya yang bermutu. Bukan seperti itu Scopus dan kawan-kawannya bekerja. Kualitas sebuah artikel atau karya tulis ya terletak pada isi dan bagaimana sang penulis menyampaikan gagasan-gagasannya dalam artikel tersebut.
Kedua, Scopus dan kawan-kawannya itu, sebagai akibat dari fungsinya sebagai pendata karya ilmiah, akan membantu menciptakan branding atau label keahlian ilmiah yang melekat pada diri kita. Ya, branding keahlian akademik kita yang dibangun dari rekam jejak ilmiah atau track record penelitian yang kita lakukan. Karenanya, kita sendirilah yang memberikan seperti apa label kita, apakah kita seorang peneliti teknologi nanomaterial, green technology, energi terbarukan, dan sebagainya. Scopus akan mendaftar semua karya tulis kita yang diindeks olehnya, sehingga seseorang atau peneliti lain yang sekadar kepo sekalipun menjadi tahu siapa orang yang konsisten berkontribusi dalam pengembangan suatu bidang ilmu, berkat sederet artikel-artikel ilmiah karyanya yang dirangkum Scopus tadi. Lalu, kita pun akan tahu seperti apa perkembangan suatu ilmu yang ditekuni oleh seorang peneliti tadi, dengan siapa nantinya kita bisa berkolaborasi dalam riset, atau, mungkin saja, kepada siapa kita harus belajar tentang suatu ilmu.
Akhir kata, jangan sampai kita keliru memahami Scopus dan kawan-kawan pengindeks jurnal lainnya. Scopus tidaklah keliru, asalkan kita bisa mendudukan mereka pada kursi yang semestinya.

Selasa, 04 Desember 2018

Jenius, Apakah Itu Hasil Kerja Keras?


Konon, orang bilang jenius itu adalah hasil dari kerja keras, bukan muncul menyertai saat kita dilahirkan. Kalau demikian, berarti setiap orang bisa berpotensi menjadi jenius, tergantung pada usahanya, apakah dengan kerja keras atau tidak. Tetapi, kenyataannya kok tidak begitu ya. Sudah berusaha sekuat dan sekeras mungkin, tetapi tetap saja begitu-begitu saja pencapaiannya.

Benar, setiap orang itu berpotensi jenius. Sepakat, bahwa setiap orang bisa menjadi jenius. Ya, tinggal sekarang kita lihat dari sudut mana dulu. Barangkali kita tidak jenius manakala definisi jenius itu hanya dari satu sudut pandang dunia sains teknologi, sementara kita lebih tertarik, menyukai dan nyaman beraktivitas, bahkan ahli, di bidang administrasi dan surat-menyurat. Sekeras apapun usaha kita mempelajari teori mekanika atau tata surya, maka tidak akan cemerlang hasilnya lantaran kita sehari-hari lebih gandrung bahkan aktif berorganisasi dan berpartisipasi di panggung politik. Begitu pula sebaliknya.

Albert Einstein itu jenius. Setuju. Mungkin dia dulu juga bekerja keras untuk menelurkan teori relativitas yang mendunia hingga saat ini. Tetapi, apakah kejeniusannya hanya berasal dari kerja kerasnya saja? Tampaknya tidak ya. Dia punya bakat. Ya, bakat! Dan, bakat Einstein memang ada di bidang ilmu sains yang dia kembangkan. Makanya lahirlah teori relativitas. Juga, sederet ilmuwan-ilmuwan lain, mereka punya bakat, dan salah satu bakat terkuat yang memang mereka miliki adalah berpikir mendalam dan -sangat mungkin- menulis, sehingga bisa dipahami mereka bisa menghasilkan karya-karya yang tertuang dalam tulisan-tulisannya yang hebat.

Nah, kalau begitu, apakah ada orang yang menyandang gelar ilmuwan yang tidak, atau kurang, berbakat? Saya tidak berhak menjawabnya. Tetapi, setidaknya ada cara yang bisa kita pakai untuk mengenali bakat yang melekat pada diri seseorang, atau setidaknya pada kita sendiri. Adalah 4E, menurut Abah Rama Royani, penulis buku bertitel Talents Mapping. Apakah 4E itu? Adalah Enjoy, Easy, Excellent dan Earn.

Enjoy, berarti yang bersangkutan itu bisa asyik, masyuk menikmati aktivitas tertentu yang ia lakukan. Bahkan, ia kerap lupa waktu karena keasyikan mengerjakan aktivitas tersebut. Ia begitu menikmati satu demi satu tahapan pekerjaan atau aktivitasnya.

Easy maksudnya bahwa yang bersangkutan bisa melakukan aktivitas-aktivitas tertentu dengan baik. Ia tidak tergagap-gagap mengerjakannya. Kalaupun tidak mudah dikerjakan atau ia menemui kesulitan, maka tidak akan terlalu melelahkan baginya untuk mempelajari dan mencari solusinya.

Excellent, maknanya bahwa yang bersangkutan mampu mendulang prestasi dari sebuah aktivitas yang ia lakukan. Prestasi tidak selalu identik dengan juara, melainkan sebuah kegemilangan yang ia hasilkan pada saat mengerjakan aktivitas tadi. Prestasi tak selalu berwujud piala, sertifikat, peringkat atau titel the best dan seterusnya. Hasil pekerjaan atau aktivitas yang sangat bagus dan membuatnya puas adalah indikasi bahwa kita bisa excellent. Dan, karena kegemilangan ini, banyak orang lantas mengandalkan dan mempercayai kita untuk mengerjakan aktivitas tersebut.

Yang terakhir, earn. Kebanyakan dari kita mengartikan earn dengan definisi bahwa yang bersangkutan mampu menghasilkan uang dari aktivitas yang dilakukan. Tidak salah. Namun, makna sebenarnya lebih luas. Earn adalah kemampuan seseorang untuk bisa menghasilkan karya. Ya, karya yang sesuai dengan aktivitas yang ia lakukan.

Adanya kombinasi dari 4E tadi menunjukkan bahwa kita sudah bekerja atau beraktivitas sesuai dengan bakat kita.

Kembali ke dalam konteks dunia ilmuwan yang saya sebut di atas. Berdasarkan 4E di atas, maka para ilmuwan berbakat adalah mereka-mereka yang bukan saja bisa mempelajari bidang yang ia tekuni, tetapi ia juga asyik, berprestasi dan mampu menghasilkan karya. Barangkali, ia tidak lagi akan terlalu berpikir bahwa ia mengerjakan aktivitas penelitian atau mengajarkan sesuatu karena keharusan untuk memenuhi jabatan atau pangkat tertentu di tempat ia bekerja. Urutan seharusnya adalah, bahwa jabatan atau pangkat itu akan mengikuti kiprah dan karya ilmuwan tertentu, sebagai bentuk penghargaan kepada yang bersangkutan. Ilmuwan berbakat mungkin sudah cukup puas manakala ia bisa menemukan rasa senang, mampu, prestasi serta karya dalam aktivitas atau pekerjaan akademik yang ditekuninya.

Pertanyaan selanjutnya, lalu apakah ada orang yang tidak jenius?

Sekali lagi, jika kita hanya memaknai bahwa jenius itu hanya identik dengan dunia sains dan dunia para ilmuwan, misalnya, ya kita yang berada di luar dunia itu bersiap-siap saja berkecil hati. Kita harus terima kenyataan bahwa kita bukan orang jenius. Tetapi, pada dasarnya kita dilahirkan dengan bakat masing-masing. Yang Maha Kuasa sebenarnya telah menginstal dalam diri kita sebuah software yang bernama bakat yang ternyata berbeda-beda kontennya. Hingga pada akhirnya, aplikasinya pun akan ketahuan berbeda-beda setelah kita dilahirkan dan tumbuh dewasa.

Setiap kita punya peran masing-masing, akibat bakat yang berbeda-beda tersebut. Tinggal kita mau atau tidak, memfokuskan diri pada bakat yang kita punya, sehingga lahirlah kekuatan unik pada diri kita. Atau sebaliknya, kita memaksakan memfokuskan diri pada sesuatu yang sebenarnya bukan bakat kita. Tentu, yang terakhir ini hanya akan menghasilkan kelelahan saja, setidaknya kelelahan pada jiwa kita, sekalipun kita berusaha keras menyangkalnya.

Pada akhirnya, kejeniusan bukanlah diperoleh dari kerja keras semata, tetapi lebih merupakan kombinasi antara bakat dan kerja. Kata ‘keras’ di belakang kata ‘kerja’ kadang tidak perlu diikutsertakan, karena biasanya orang yang berbakat akan merasa bahwa ia tidak perlu bekerja keras, tetapi ia memang menyenangi dan menikmati pekerjaan atau aktivitasnya itu, hingga ia bisa berprestasi dan menghasilkan karya.

Selasa, 16 Oktober 2018

Smallfoot


Akhir pekan lalu, saya berkesempatan lagi menyambangi bioskop untuk sekedar mencari hiburan bersama keluarga. Sebenarnya ada beberapa film layar lebar yang menarik perhatian saya. Namun, mempertimbangkan usia anak saya, akhirnya saya memutuskan untuk menonton sebuah film animasi bertitel Smallfoot yang baru saja dirilis beberapa hari sebelumnya.


Smallfoot berkisah tentang kehidupan makhluk raksasa berkaki besar yang konon ada dan tinggal di Pegunungan Himalaya. Banyak bacaan menamai makhluk besar ini dengan sebutan ‘Yeti’. Adalah Migo, sesosok Yeti yang menjadi tokoh utama dalam film ini. Awalnya, Migo didaulat membantu sang ayah menabuh gong pertanda pagi telah menjelang di desa tempat ia tinggal. Namun, sebuah pertemuan yang tak disangkanya dengan seorang pilot yang tengah menyelamatkan diri dari kecelakaan pesawat yang ditumpanginya di Himalaya membuat Migo harus memulai petualangan serunya bersama keempat kawannya.

Singkatnya, Migo ingin membuktikan bahwa ia telah bertemu dengan manusia, yakni pilot yang terdampar di Himalaya tersebut, kepada warga desa. Namun, ia gagal membuktikannya, lantaran pilot beserta bangkai pesawatnya terjatuh di tempat yang lebih rendah yang selalu tertutupi oleh awan tebal hingga tak tampak dari desa tempat Migo tinggal. Akhirnya, Migo harus menjalani hukuman berupa pengasingan karena dianggap berbohong. Meski diasingkan, keempat kawan Migo justru tidak membiarkannya sendirian. Mereka justru mengajak Migo untuk bersama-sama membutikan apa yang Migo temukan. Kekonyolan demi kekonyolan yang berujung pada kejenakaan sering dilakukan oleh Migo dan kawan-kawannya, mengiringi petualangan seru mereka yang berlatar salju tebal, pegunungan tinggi serta desa cantik berhias lampu-lampu di malam hari.

Dalam tulisan kali ini, saya tidak ingin bercerita banyak tentang plot cerita Migo dan kawan-kawannya. Namun, yang lebih menarik adalah membicarakan sebentar pesan moral yang saya tangkap dari film Smallfoot ini. Kesan saya yang paling mendalam adalah, bahwa film berdurasi hampir satu setengah jam ini tampaknya cocok untuk dinikmati para akademisi dan peneliti yang berkutat dengan dunia ilmiah.

Pesan pertama adalah tentang curiosity. Petualangan Migo dan keempat kawannya dibumbui dengan sebuah pesan tentang pentingnya memiliki curiosity atau rasa penasaran. Rasa penasaran inilah yang pada akhirnya menggerakkan keinginan kita untuk mengeksplorasi alam semesta ini. Ia adalah bahan bakar yang menggerakkan ilmuwan sejati untuk bereksperimen, bereksplorasi atau meneliti apapun yang ada di alam raya ini. Tanpanya, ya tidak akan ada semangat meneliti. Lirik theme song film ini, “Wonderful Life”, cukup menggambarkan betapa menyenangkannya melakukan sesuatu atas dasar rasa ingin tahu dan penasaran.

Pesan kedua adalah tentang integrity. Ya, integritas. Inilah pesan yang tak kurang pentingnya dari film ini. Dengan memegang teguh integritas, kita tidak diperkenankan berbohong, apalagi hanya untuk sebuah ketenaran atau kepopuleran. Demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh para peneliti dan akademisi. Dikisahkan dalam film ini, seorang reporter bernama Percy sedang mengalami depresi akibat turunnya rating program acara televisi yang dipunggawainya. Ia dihadapkan pada situasi bahwa ia bisa tenar tetapi harus berbohong tentang keberadaan Yeti. Di akhir cerita, sang reporter akhirnya memilih jalan yang seharusnya, dimana ia tinggalkan ketenaran dan bersikap jujur. Bahkan, ia mengorbankan reputasi baiknya demi menyelamatkan para Yeti itu dari sergapan manusia-manusia yang ingin memburunya.

Selasa, 27 Februari 2018

Setetes Semangat di Pagi Buta

Jarum jam menunjuk waktu jam dua. Waktu itu, dini hari, medio Februari 2009. Aku masih duduk masyuk di belakang meja kerja di rumah. Jemari kedua tangan ini masih aktif menari di atas papan ketik laptop berwarna perak yang kubeli tiga tahun sebelumnya. Cukup banyak untaian kata yang aku rajut malam itu. Sesekali mataku melirik ke arah paper-paper ilmiah yang berserakan di sebelah laptop. Seakan mereka itulah yang menjadi rekan kerjaku malam itu. Mata ini sebenarnya sudah mengantuk. Lengan ini sebenarnya sudah pegal. Badan ini sebenarnya sudah lelah. Tetapi, apa boleh buat. Sebuah proposal penelitian harus diselesaikan dan dikirimkan esok hari. Dan, pagi harinya, draft proposal tersebut harus sudah kukirimkan terlebih dahulu kepada seorang kolega yang juga mentorku dalam belajar penelitian saat itu. Malam itu, aku yakin sepenuh hati, bahwa draft proposal itu pasti bisa kuselesaikan dalam hitungan beberapa menit lagi.

Benar saja. Hampir pukul 2:30 dini hari, selesai sudah draft proposal penelitian itu aku susun. Beberapa bagian sengaja kukosongkan karena akan diisi oleh kolegaku tadi. Kami berbagi tugas. Aku merancang konsep isi proposal, lalu memoles kata-katanya hingga tersusun semenarik mungkin. Sementara, kawanku memastikan teknis penelitian, rancang bangun alat serta rencana anggarannya. Sebenarnya, malam itu sudah menjadi malam yang kesekian kalinya kami bekerja menerabas pagi buta. Sebelumnya, kami juga meluangkan waktu malam kami untuk menyelesaikan proposal-proposal yang akan diajukan pada tahun itu. Kami bekerja, dalam satu tim.

Ada pula kawanku yang lain yang juga menjadi anggota tim. Mereka memang tidak turut langsung menulis proposal tersebut. Tetapi, mereka membantu memberikan masukan dan memoles gagasan-gagasan yang nantinya dituangkan dalam proposal-proposal penelitian itu. Harapan kami sama; kami bisa mendapatkan kucuran dana segar untuk beberapa proyek penelitian yang sudah kami angan-angankan di awal tahun itu. Akhirnya, di suatu pagi buta itulah, tercatat kami telah merampungkan tiga buah proposal penelitian dalam kurun waktu dua minggu.

Selang beberapa minggu, satu per satu hasil seleksi proposal penelitian yang diterima untuk mendapatkan hibah dana penelitian pun diumumkan. Alhamdulillah, semua proposal yang kami ajukan lolos dan diterima. Kami mendapatkan hibah dana penelitian. Sejak itulah, grup riset kami menjadi semakin intens mengerjakan penelitian. Memang, hibah dana penelitian tidak serta merta turun begitu proposal diterima. Kami masih harus bersabar, sehingga beberapa agenda untuk membeli peralatan pun harus ditunda. Meski begitu, kami tidak gentar. Apapun kami lakukan untuk memulai rangkaian perjalanan panjang penelitian grup riset kami. Peralatan dan material seadanya kami pergunakan. Kami tahu, fasilitas laboratorium yang ada di departemen dan universitas kami, bahkan di Indonesia secara keseluruhan, memang tidak selengkap dan secanggih fasilitas yang ada di banyak universitas di negara-negara maju di sana. Namun, kami tak punya jalan lain. Mimpi kami menjulang tinggi. Kami ingin mempunyai grup riset yang berkelas dunia. Grup riset yang menghasilkan produk-produk penelitian yang paripurna. Dan yang jelas, grup riset yang mampu memberikan sumbangsih publikasi ilmiah di jurnal internasional yang bergengsi, sekalipun untuk semua itu kami harus melakukannya dalam keadaan dan fasilitas yang serba terbatas. Itulah mimpi kami. Mimpi para dosen-dosen muda yang ingin membawa nama universitas kami ke kancah internasional.

Barangkali, mimpi kami itu memang kelewat tidak masuk akal bagi sebagian orang; berlebihan. Kami pernah berhadapan dengan tim reviewer nasional yang menilai proposal yang kami ajukan di tahun 2009 itu juga. Yang kami hadapi, mungkin bukan orang sembarangan. Mereka, waktu itu dua orang, adalah reviewer kaliber nasional yang pastinya sudah dikenal di kancah penelitian di Indonesia. Kompetitor kami juga bukan sembarang orang. Salah satunya adalah grup riset yang terdiri dari beberapa senior kami yang ada di kampus. Mereka sudah malang melintang di dunia penelitian, juga berpengalaman mendapatkan dana-dana hibah penelitian. Kami hanyalah secuil dosen-dosen muda, yang diantaranya masih menyandang gelar S2 -termasuk aku, sehingga kemampuannya dalam melakukan penelitian mungkin masih diragukan. Namun, kami jalani saja semuanya tanpa ada rasa khawatir. Nothing to lose. Kami tidak berharap apa-apa. Bila ternyata proposal tersebut disetujui dan kami mendapatkan kucuran dana penelitian, ya bersyukurlah kami. Namun sebaliknya, bila ternyata tidak, it’s fine. Tak masalah.

Kami akan terus bekerja, meneliti dan berkarya lagi, karena kami memang menyukai aktivitas-aktivitas tersebut. Justru kami akan mendapat banyak pelajaran dari kegagalan itu. Di luar dugaan, ternyata justru proposal kami yang diterima. Rasa percaya diri kami satu tim mulai muncul, hingga menjadi bahan bakar positif yang memacu kami bergerak lebih bersemangat lagi.

Kami memang bekerja ekstra waktu itu, untuk memancangkan tonggak-tonggak alur riset grup kami. Tidak mudah. Selain menyelesaikan proposal kami, kadangkala di waktu dini hari aku terbangun untuk memulai menulis naskah publikasi. Jujur, aku bermimpi bisa mempublikasikan temuan-temuan di lab di jurnal internasional, dengan konfigurasi all Indonesian authors, sekalipun hal itu adalah pekerjaan yang sangat menantang dan berat. Juga, aku bermimpi bahwa menulis publikasi di jurnal internasional harus bisa kulakukan sebelum aku sekolah S3. Beberapa kali aku dan kolegaku bertualang ke Surabaya dan Bandung, mencari material-material spesifik yang akan digunakan dalam penelitian kami. Semua akhirnya berujung pada kepuasan. Meski jalan kami masih panjang, dan kami belum melihat garis finish hingga detik ini di akhir 2017. Namun, kami menyenangi pekerjaan ini.

Titik kulminasi usaha kami di tahun 2009 itu adalah terbentuknya grup riset kami yang bernama CIMEDs, singkatan dari Center for Innovation of Medical Equipment and Devices. Nama ini kami cetuskan di pertengahan Juni 2009, hanya beberapa jam sebelum kami mengirimkan naskah akhir untuk sebuah seminar internasional di Surabaya. Grup ini memang tidak formal, belum ada pengesahan secara resmi dari universitas maupun lembaga yang lebih tinggi. Tetapi, bagi kami, apalah artinya sebuah nama dan grup riset yang resmi kalau nihil karya yang ditelurkan darinya. Kami sudah cukup puas ketika nama CIMEDs akhirnya muncul di artikel-artikel yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional oleh penerbit bergengsi semacam Elsevier dan Springer.

Kawanku pernah berujar, waktu itu kami ini bekerja bak Bandung Bondowoso. Ia menyitir tokoh utama dalam cerita legenda Roro Jonggrang, yang harus bekerja keras membangun candi dalam semalam demi meminang Roro Jonggrang. Semangat di pagi buta. Mungkin itulah seikat kata yang menggambarkan bagaimana kami berusaha merealisasikan mimpi kami, hingga satu per satu kami bisa melihat hasilnya, sekalipun itu sedikit dan tidak selalu menggembirakan.

Selasa, 30 Januari 2018

Kekhilafan di Akhir Tahun

Akhir tahun 2009 mungkin adalah salah satu masa yang sulit saya lupakan. Awal Desember tahun itu, secara mengejutkan, saya mendapatkan sebuah anugerah yang sangat saya syukuri. Saya diterima untuk sekolah lagi, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di sebuah universitas di Belanda, University of Groningen. Senang sekali. Bagaimana tidak? Waktu itu, saya boleh dibilang sudah berangan-angan panjang untuk meneruskan studi di Barat. Alasannya segudang. Tetapi, salah satu yang paling mewakili adalah, ya saya memang ingin ke sana. Itu saja.
Academiegebouw, gedung utama bernuansa klasik dari University of Groningen. Di tempat inilah para mahasiswa S3 universitas ini mempertahankan disertasinya, sebagai pungkasan dari pendidikan doktoralnya.
Di akhir November 2009, saya sempat diundang untuk mengikuti tes wawancara dengan calon pembimbing di University of Groningen. Momen ini juga istimewa sekali. Tak terbayangkan sebelumnya, saya bisa terbang ke Groningen sendiri, tanpa keluar biaya besar untuk membayar tiket dan penginapan di hotel, karena semuanya sudah ditanggung oleh pihak universitas. Singkat kata, saya hanya perlu membawa badan dan perbekalan saya selama dua hari saja di sana. Kenyataannya, saya harus tinggal sehari lebih lama dengan ongkos menginap tambahan yang dibayar sendiri. Namun tetap saja ongkos untuk itu tak terlalu besar. Sesi wawancaranya pun hanya memakan waktu tiga jam saja. Cukup singkat bukan? Hingga akhirnya, di awal Desember di tahun yang sama, sebuah surat elektronik dikirimkan oleh salah satu calon pembimbing di universitas paling utara di Belanda itu. Intinya, saya diterima untuk studi di sana mulai awal tahun 2010.
Kesenangan meluap-luap, hingga terkabarkan pula berita menggembirakan ini kepada kawan-kawan di kampus di Jogja. Ucapan selamat berdatangan. Juga, ucapan agar semoga lancar dan lekas kembali ke tanah air lagi. Di antara hujan pujian itu, muncullah khilaf saya. Sombong saya perlahan tapi pasti merangkak, menjalar menutupi kerendahan hati saya yang seharusnya tetap terjaga.
Sembari mengucapkan selamat, seorang kawan baik saya berujar, “Selamat, Pak. Semoga lancar dan segera lulus sebelum empat tahun.” Empat tahun adalah masa studi yang diberikan untuk para mahasiswa S3 di universitas-universitas di Belanda untuk menyelesaikan proyek penelitian yang dikerjakan untuk meraih titel doktornya. Secara spontan saya menjawab, “Terima kasih, Pak. Wah, kalau lulus kurang dari empat tahun, saya pasti akan tinggal dulu di sana sampai selesai empat tahun, Pak, hehehee… Lumayan dapat gaji yang besar, Pak.” Bagi kawan saya tadi mungkin ucapan saya itu tidak bermasalah baginya. Tetapi, saya ingat betul, ketika membalas ucapan kawan saya tadi, tak sengaja terbesit rasa tinggi hati dalam diri saya. Saya sudah merasa paling wah, paling hebat, karena diterima di universitas besar, yang tidak semua kawan bisa memasukinya. Saya merasa yakin bisa lulus kurang dari empat tahun. Padahal, getaran nurani saya berkata bahwa seharusnya kata-kata itu tak perlu diucapkan. Cukuplah bilang terima kasih atas dukungan dan doanya. Seharusnya tetap rendah hati.
Waktu berlalu. Tahun berganti. Dan saya pun akhirnya menjalani rutinitas sebagai mahasiswa di University of Groningen di tahun setelahnya. Ucapan sombong saya tadi lama-lama terkubur oleh waktu, terlupakan karena kencangnya putaran jarum detik yang mengganti masa. Rupanya, Dia Yang Maha Besar menyentil saya karena ucapan di akhir tahun 2009 itu. Kejadian demi kejadian selama hampir satu tahun pertama mengerucut pada situasi yang mungkin paling sulit di sepanjang karir akademik saya selama itu. Awal tahun 2011, saya ‘divonis’ gagal mengikuti probation period, atau masa ujicoba sebagai mahasiswa S3 di tahun pertama di universitas Groningen tersebut. Istilah populernya, No Go. Saya harus menerima kenyataan bahwa saya diberhentikan dengan hormat, lantaran dianggap tidak bisa memenuhi kriteria ‘mampu’ mengikuti pendidikan doktoral di universitas tersebut. Ini berarti bahwa saya tidak diperbolehkan meneruskan proyek penelitian yang dikerjakan di tahun selanjutnya. Banyak catatan yang diberikan oleh pembimbing saya waktu itu, termasuk kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang kacau balau dan ketidakmampuan saya untuk memenuhi target-target penelitian yang telah digariskan. Saya harus pulang ke Indonesia tanpa hasil, walaupun beberapa pekerjaan yang telah saya lakukan dalam kurun waktu setahun itu tetap diapresiasi.
Inilah sentilan kecil dariNya, atas kecongkakan yang pernah saya perbuat. Namun, sentilan tersebut luar biasa, menyadarkan saya atas khilaf yang diperbuat. Setahu saya, sangat jarang ditemui seorang kandidat doktor di Belanda bisa menyelesaikan studinya dalam waktu kurang dari empat tahun. Para mahasiswa cemerlang yang pernah saya kenal pun umumnya menghabiskan waktu lebih dari itu. Jadi, saya merasa overconfidence waktu itu, terlalu percaya diri, hingga akhirnya harus tertelungkup pada lumpur dosa kecongkakan saya sendiri.
Inilah pelajaran berharga untuk saya. Bisa percaya diri mengatakan saya bisa lulus sekian tahun dalam hati -dan tanpa merasa paling hebat- mungkin tak akan menjadi masalah, karena bisa jadi hal itu adalah target pribadi yang menjadi motivasi bekerja atau belajar seseorang. Tetapi mengucapkannya dengan congkak di hadapan orang lain -meski seringkali tak disadari- adalah sebuah kekhilafan. Pengalaman saya lho ya, hihihii…