Selasa, 28 Mei 2019

Catatan untuk Lebaran Kita


Lebaran sebentar lagi tiba, tinggal menghitung hari. Yang pasti, ia akan hadir menjadi momen berkumpul, reuni dan bersilaturrahim dengan kerabat, tetangga hingga kawan yang sudah sekian lama tak berjumpa. Pastilah menggembirakan, penuh untaian senyum dan uraian kegembiraan. Saling bertanya kabar dan seterusnya, sambil menyantap ketupat dan opor ayam yang tampaknya sudah sudah menjadi menu tradisi yang nikmat.

Namun, di antara keceriaan lebaran dan selipan tanya tentang kabar, barangkali kita juga harus ingat, bahwa ada beberapa pertanyaan kita kepada sanak saudara, tetangga maupun kawan yang seharusnya tak begitu saja terucap. Barangkali kita menganggap pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal biasa, sudah menjadi basa-basi yang wajar, bahkan sudah membudaya dan mandarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi, mungkin tak seharusnya lantas kita dengan mudah menanyakan hal-hal yang sebetulnya sensitif itu kepada mereka. Apa sajakah pertanyaan itu?

Pertama, soal pekerjaan. Disadari atau tidak, kita sering kepo, sering ingin tahu urusan orang lain, termasuk urusan pekerjaan. Bagi sebagian orang tidak masalah ia ditanyai urusan pekerjaan, apalagi mereka yang secara kebetulan mempunyai pekerjaan yang terpandang di mata masyarakat umum. Tetapi, tidak semua orang berada di posisi itu. Rasanya menyakitkan kalau kita ditanya seperti ini: “Kamu ‘kan sarjana, kenapa tidak bekerja ini, itu atau di situ?” Tidak semua orang berkenan dan mau ditanya tentang pekerjaannya, apalagi sampai menelisik tentang penghasilannya. Bukankah pekerjaan dan penghasilan itu hal pribadi? ‘Kan hanya yang bersangkutan saja yang menjalani pekerjaan itu, lalu apa urusan kita menanyakan pekerjaan mereka?

Kedua, soal jodoh. Sudah biasa tampaknya, di sela-sela silaturrahim, terselip sebuah pertanyaan: mana pendampingnya, mana mas-nya, mana mbak-nya, dan seterusnya. Sekali lagi, barangkali bagi sebagian orang dicecar pertanyaan seperti itu tidak akan bergeming. “Santai aja, Bro!” mungkin itu celetuk mereka. Tetapi, bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu adalah hal sensitif. Terlebih saat kita semakin usil bertanya dan mengulik lebih jauh saat yang bersangkutan menjawab, “Belum ada”. Bahkan kita berkomentar lagi hingga mengaitkan antara jodoh dan usia. Cobalah kita berada di posisi mereka, pastilah menyakitkan. Ya, apa urusan kita menanyakan perihal jodoh orang? Bukankah urusan jodoh itu urusan masing-masing individu?

Ketiga, ketika jodoh seseorang sudah resmi berada di sisinya, seringkali kita bertanya lagi tentang sesuatu yang sensitif. Ya, apalagi kalau bukan tentang keturunan. Barangkali sebagian pasangan suami-istri akan biasa-biasa saja dan santai menanggapinya. Tetapi bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu mungkin bagaikan anak panah yang menancap dan mencabik-cabik harga diri mereka, terutama pada saat sang buah hati yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang menghampiri kehidupan mereka. Lalu, kita bertanya lagi, “Kenapa kok belum?” Bukannya menghibur, pertanyaan itu justru sangat menyakitkan bagi pasangan yang belum dikaruniai buah hati tadi. Bukankah urusan anak atau keturunan itu sudah berada dalam zona pribadi setiap pasangan suami-istri? Kapan ia datang adalah kehendakNya; bisa setahun, dua tahun, empat tahun bahkan bertahun-tahun lamanya. Tetapi itu semua, tentu bukan urusan kita!

Maka dari itu, ber-empati-lah. Rasanya bijak bagi kita untuk mengurangi kekepoan akan hal-hal yang teramat privat atau pribadi bagi orang lain. Memang, sejauh mana sebuah urusan itu termasuk hal pribadi orang sangatlah tergantung pada masing-masing individu. Tetapi, sebagai individu, kita pun tidak bisa men-generalisir, menerka bahwa ini urusan yang pribadi atau bukan bagi orang lain. Jadi, lebih amannya, kurangi saja kita bertanya tentang, setidaknya, hal-hal di atas. Tidak hanya di momen lebaran saja, tetapi di setiap momen pertemuan. Seharusnya momen-momen indah seperti itu adalah saat memperbarui semangat persahabatan dan persaudaraan, bukan momen yang membuka luka dan rasa tersinggung. Lalu, bagaimana kalau kita ingin sekedar menyapa atau berbasa-basi untuk menyambung pembicaraan? Ya, bicarakan saja hal-hal yang netral. Apa saja, mulai dari kemacetan lalu lintas, harga sembako, atau cuaca, layaknya basa-basinya orang Belanda. Pastinya kita akan mendapatkan topik pembicaraan yang netral, asal kita mau.

Senin, 27 Mei 2019

Sisi Manusiawi Para Superhero Marvel dalam Avengers: Endgame

Tak bisa dipungkiri, sepuluh tahun belakangan, cerita para superhero Marvel mungkin merupakan sebuah fenomena tersendiri. Bagaimana tidak? Dimulai dari cerita The Incredible Hulk yang sempat saya tonton di layar lebar dan Iron Man di tahun 2008, hingga yang terakhir ini, Avengers: Endgame di tahun 2019. 

Awalnya, saya hanya berpikir, cerita tentang Hulk dan Iron Man, lalu diteruskan Captain America, Thor, Spiderman dan sebagainya hanyalah potongan-potongan cerita superhero yang tak berhubungan satu dengan yang lainnya. Hingga kemunculan film Avengers yang pertama dan kedua, serta Captain America: Civil War, barulah saya sadar bahwa Marvel Studio tengah meramu sebuah cerita panjang tentang para superhero mereka itu. Jalan cerita yang disusun pun menarik, terhubung dari satu film ke film yang lain. Bahkan, tidak selalu menggunakan plot cerita yang maju. Ada plot cerita yang harus mundur sejenak, menceritakan awal mula kemunculan satu atau beberapa superhero-nya.
Selain plot cerita yang menarik, Marvel Studio juga membungkus ceritanya dengan sisi-sisi manusiawi para superheronya sendiri, misalnya, bahwa sang superhero bukanlah seorang tokoh yang selalu menang dalam pertempuran. Ia juga seperti layaknya manusia biasa, yang mempunyai kehidupan yang sama peliknya dengan kehidupan manusia biasa, hingga kadangkala terjebak dalam berbagai masalah pribadi hingga kekonyolannya sendiri. Namun, dari situlah lahir kearifan dan kebijaksanaan dari sang superhero, serta munculnya pesan-pesan moral yang bisa dipetik oleh para penonton. Ambil contoh, cerita Spiderman: Homecoming yang pernah saya tulis satu setengah tahun silam (lihat tautan ini).
Avengers: Endgame adalah film terakhir, setidaknya sampai tulisan saya ini dibuat, yang dirilis Marvel Studio. Ya, konon film ini menyedot perhatian dunia. Semua superhero Marvel bersatu lagi, bertarung melawan musuh besar mereka, Thanos, yang menang pada film sebelumnya, Avengers: Infinity War. Tanpa bermaksud menceritakan plot film tersebut, saya hanya ingin mencuplik beberapa kisah yang saya pikir sangat manusiawi dan menarik dari film tersebut.
Cerita manusiawi yang paling kentara tentunya adalah akhir hidup dari Tony Stark, sang Iron Man, di akhir cerita. Bagaimanapun juga, Tony Stark atau Iron Man adalah tokoh sentral dalam film-film superhero Marvel. Dalam setiap kemunculannya bersama tim Avengers, ia adalah tokoh yang mendominasi. Menurut saya, ketokohan Iron Man hanya bisa diimbangi oleh Steve Rogers alias Captain America. Keduanya mempunyai karakter kuat, kekuatan super yang lumayan logis bila dicerna otak kita, serta sikap memimpin yang menonjol. Saking kuatnya karakter keduanya, maka tak heran, perselisihan di antara keduanya muncul dan memuncak menjadi sebuah pertempuran pada film Captain America: Civil War. Dalam Avengers: Endgame, cerita tentang Iron Man dipungkasi dengan apik. Konon, dalam Robert Downey Jr., sang pemeran pun juga memutuskan tidak akan mengambil peran lagi dalam cerita-cerita superhero Marvel selanjutnya. Jadilah, pemungkasan cerita Iron Man menjadi apik. Bahwa superhero ada titik akhirnya juga. Namun, kematian Stark bukan karena kalah melawan sang musuh besar, tetapi setelah ia melakukan ‘jurus kunci’ yang menyelamatkan semua kawan-kawannya dalam tim Avengers dan bumi.
Selain kematian Iron Man, sisi manusiawi dari tokoh ini adalah, bahwa ia yang awalnya adalah karakter yang lumayan sombong, mbagusi (istilah Jawanya), namun cerdas bukan main, ternyata telah memilih jalan hidup untuk berkeluarga bersama Pepper Pots, yang sebelumnya adalah sekretaris di perusahaannya, Stark Industries. Bersama Pots, diceritakan dalam Avengers: Endgame, Stark pun mempunyai satu anak perempuan yang masih berusia sekitar empat tahun. Keadaan ini membuat Stark sebenarnya urung, ragu dan tidak mau terlibat dalam Avengers lagi, yang mengajaknya berjuang kembali mengembalikan orang-orang Bumi yang sempat dibinasakan oleh Thanos menjadi debu. Pertikaian batin dalam diri Stark sangat jelas dalam salah satu titik cerita film ini, tatkala Captain America, Black Widow dan Ant-Man datang ke rumah Stark yang sengaja dibangun jauh dari keramaian, lalu mengajaknya untuk berjuang kembali melawan Thanos.
Tentang kehidupan keluarga, jangan lupakan juga tentang tokoh Clint Barton, atau Hawkeye, si pemanah ulung dalam tim Avengers.  Sejak di film Avengers sebelumnya, Barton memutuskan untuk berhenti menjadi superhero dan memilih hidup bersama keluarganya di suatu tempat yang juga jauh dari keramaian. Hawkeye muncul kembali dalam Civil War, dan bergabung di pihak Captain America pada saat perseteruan dengan kelompok pimpinan Iron Man berlangsung dalam film ini. Di awal cerita Endgame, digambarkan kehidupan Hawkeye cukup bahagia bersama keluarganya. Namun, sesaat kemudian Hawkeye berubah menjadi frustasi, lantaran kehilangan anak dan istrinya yang juga berubah menjadi debu terkena efek petikan jari Thanos yang terjadi di akhir film Infinity War. Lalu, berubahlah Hawkeye menjadi pendekar jalanan, memusnahkan siapa saja yang berbuat kejahatan, dan bergabung kembali dengan Avengers untuk melawan Thanos.
Thanos, sang musuh besar the Avengers pun juga digambarkan mempunyai niatan baik untuk memperbaiki tatanan jagad raya. Namun, caranya yang kejam, dengan mengubah setengah populasi orang-orang di Bumi menjadi debu, mungkin yang menjadikannya menjadi tokoh antagonis. Thanos, setelah menang dalam film Infinity War, digambarkan mengasingkan diri di suatu planet. Ia hidup dan melepas jubah perangnya, makan buah-buahan dan hasil pertanian, namun akhirnya berhasil dibunuh oleh The Avengers di awal cerita Endgame.
Thor, salah satu tokoh sentral dalam Avengers, bahkan juga digambarkan cukup manusiawi. Frustasi dengan kekalahan dari Thanos dalam Infinity War serta kehilangan hampir seluruh rakyat Asgard yang dipimpinnya, menjadikan Thor layaknya dewa mabuk bertubuh gemuk yang sering kehilangan akal sehatnya tatkala dihadapkan pada masalah pelik. Dengan kata lain, Thor, yang sering mengaku anggota Avengers paling kuat, ternyata tidak cukup kuat mengendalikan dirinya. Namun, ia pun kembali ke kesadaran penuhnya serta kekuatan supernya saat berperang dalam pertempuran pungkasan Endgame.
Yang terakhir, tanpa mengecilkan cerita-cerita manusiawi para superhero Marvel yang lain, adalah Sang Captain America sendiri. Tokoh Steve Rogers atau Captain America, yang merupakan superhero yang terhibernasi selama 70 tahun sejak akhir Perang Dunia 2, harus diakhiri kisahnya dalam Endgame. Captain America muncul sebagai superhero masa kini dengan penampakan yang relatif muda nan lincah dibandingkan usia dan keadaannya yang sebenarnya. Namun, kisah heroik Sang Captain dipungkasi dalam Endgame dengan pilihannya untuk pergi ke jalan ‘pulang’, yakni dengan menjadi figur sesuai dengan usianya di masa ini. Ia menjadi tua. Bahkan, dalam ending cerita Avengers: Endgame ini, ia pergi melalui mesin waktu untuk menemui kekasihnya, Peggy Carter, yang terus ia rindukan sejak ia menjadi superhero di tahun 40an.