Lebaran sebentar lagi tiba,
tinggal menghitung hari. Yang pasti, ia akan hadir menjadi momen berkumpul,
reuni dan bersilaturrahim dengan kerabat, tetangga hingga kawan yang sudah
sekian lama tak berjumpa. Pastilah menggembirakan, penuh untaian senyum dan uraian
kegembiraan. Saling bertanya kabar dan seterusnya, sambil menyantap ketupat dan
opor ayam yang tampaknya sudah sudah menjadi menu tradisi yang nikmat.
Namun, di antara keceriaan
lebaran dan selipan tanya tentang kabar, barangkali kita juga harus ingat,
bahwa ada beberapa pertanyaan kita kepada sanak saudara, tetangga maupun kawan
yang seharusnya tak begitu saja terucap. Barangkali kita menganggap
pertanyaan-pertanyaan itu adalah hal biasa, sudah menjadi basa-basi yang wajar,
bahkan sudah membudaya dan mandarah daging dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi,
mungkin tak seharusnya lantas kita dengan mudah menanyakan hal-hal yang
sebetulnya sensitif itu kepada mereka. Apa sajakah pertanyaan itu?
Pertama, soal pekerjaan. Disadari
atau tidak, kita sering kepo, sering
ingin tahu urusan orang lain, termasuk urusan pekerjaan. Bagi sebagian orang
tidak masalah ia ditanyai urusan pekerjaan, apalagi mereka yang secara
kebetulan mempunyai pekerjaan yang terpandang di mata masyarakat umum. Tetapi,
tidak semua orang berada di posisi itu. Rasanya menyakitkan kalau kita ditanya
seperti ini: “Kamu ‘kan sarjana,
kenapa tidak bekerja ini, itu atau di situ?” Tidak semua orang berkenan dan mau
ditanya tentang pekerjaannya, apalagi sampai menelisik tentang penghasilannya. Bukankah
pekerjaan dan penghasilan itu hal pribadi? ‘Kan
hanya yang bersangkutan saja yang menjalani pekerjaan itu, lalu apa urusan kita
menanyakan pekerjaan mereka?
Kedua, soal jodoh. Sudah biasa
tampaknya, di sela-sela silaturrahim, terselip sebuah pertanyaan: mana
pendampingnya, mana mas-nya, mana mbak-nya, dan seterusnya. Sekali lagi,
barangkali bagi sebagian orang dicecar pertanyaan seperti itu tidak akan
bergeming. “Santai aja, Bro!” mungkin
itu celetuk mereka. Tetapi, bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu adalah hal
sensitif. Terlebih saat kita semakin usil bertanya dan mengulik lebih jauh saat
yang bersangkutan menjawab, “Belum ada”. Bahkan kita berkomentar lagi hingga
mengaitkan antara jodoh dan usia. Cobalah kita berada di posisi mereka,
pastilah menyakitkan. Ya, apa urusan kita menanyakan perihal jodoh orang?
Bukankah urusan jodoh itu urusan masing-masing individu?
Ketiga, ketika jodoh seseorang
sudah resmi berada di sisinya, seringkali kita bertanya lagi tentang sesuatu
yang sensitif. Ya, apalagi kalau bukan tentang keturunan. Barangkali sebagian
pasangan suami-istri akan biasa-biasa saja dan santai menanggapinya. Tetapi
bagi sebagian yang lain, pertanyaan itu mungkin bagaikan anak panah yang
menancap dan mencabik-cabik harga diri mereka, terutama pada saat sang buah
hati yang ditunggu-tunggu belum kunjung datang menghampiri kehidupan mereka. Lalu,
kita bertanya lagi, “Kenapa kok
belum?” Bukannya menghibur, pertanyaan itu justru sangat menyakitkan bagi pasangan
yang belum dikaruniai buah hati tadi. Bukankah urusan anak atau keturunan itu
sudah berada dalam zona pribadi setiap pasangan suami-istri? Kapan ia datang
adalah kehendakNya; bisa setahun, dua tahun, empat tahun bahkan bertahun-tahun
lamanya. Tetapi itu semua, tentu bukan urusan kita!
Maka dari itu, ber-empati-lah. Rasanya
bijak bagi kita untuk mengurangi kekepoan akan hal-hal yang teramat privat atau
pribadi bagi orang lain. Memang, sejauh mana sebuah urusan itu termasuk hal
pribadi orang sangatlah tergantung pada masing-masing individu. Tetapi, sebagai
individu, kita pun tidak bisa men-generalisir,
menerka bahwa ini urusan yang pribadi atau bukan bagi orang lain. Jadi, lebih
amannya, kurangi saja kita bertanya tentang, setidaknya, hal-hal di atas. Tidak
hanya di momen lebaran saja, tetapi di setiap momen pertemuan. Seharusnya
momen-momen indah seperti itu adalah saat memperbarui semangat persahabatan dan
persaudaraan, bukan momen yang membuka luka dan rasa tersinggung. Lalu,
bagaimana kalau kita ingin sekedar menyapa atau berbasa-basi untuk menyambung
pembicaraan? Ya, bicarakan saja hal-hal yang netral. Apa saja, mulai dari
kemacetan lalu lintas, harga sembako, atau cuaca, layaknya basa-basinya orang
Belanda. Pastinya kita akan mendapatkan topik pembicaraan yang netral, asal
kita mau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar