Kamis, 06 Juni 2019

Lebaran: Far from Home

Momen lebaran adalah momen sukacita, momen bertemu kembali dengan orang tua, keluarga, kerabat hingga kawan lama. Bagi kita yang hidup di negeri merah putih ini, lebaran juga menjadi momentum bermaaf-maafan dengan sesama; meskipun sebenarnya maaf-maafan ini hanyalah sebuah tradisi. Sebuah tradisi baik yang tidak ada salahnya untuk tetap dilestarikan, sebagaimana santapan opor ayam dan ketupat yang selalu menyertai perayaan lebaran yang istimewa tersebut.

Namun, tak semua orang ternyata bisa merayakan lebaran bersama orang tua dan keluarga besarnya. Tak semua orang mendapatkan kesempatan bersua dengan kerabat di kampung halamannya. Ada sebagian dari mereka yang mesti harus bertahan di tempat perantauannya. Bahkan, di tempat rantau yang terbilang jauh, yang hanya bisa dicapai dengan menyeberangi samudera dan melintasi benua. Mereka tak bisa pulang; umumnya lantaran biaya yang harus mereka tebus terlampau cukup besar, hingga tak cukup untuk membawanya pulang. Akhirnya, mereka memilih menunda waktu untuk pulang dan berlebaran di tanah rantau.

Tetapi, apakah mereka yang tak berkesempatan berlebaran bersama keluarga dan kerabat tadi adalah orang-orang yang tak beruntung? Ataukah, orang-orang yang harus tertahan dan berlebaran di negeri orang itu mengalami kesunyian? Jawabannya bergantung pada sudut yang kita ambil dalam memandangnya.

Ternyata, adalah tetap menyenangkan berlebaran di negeri orang. Tetap khidmat, tetap ada kenikmatan, bahkan banyak hal yang menyentuh sisi ruhani yang akhirnya membawa kesyukuran tiada tara. Bahkan, ada momen-momen indah saat lebaran di negeri orang yang sulit dilupakan, bahkan dirindu manakala jasad dan jiwa ini sudah pulang dari perantauan.

Ketika malam sebelum lebaran tiba, sahut-sahutan suara takbir menggema di hampir setiap kota di negeri merah putih ini. Takbir menggelora, menyisip di antara deru kendaraan mudik, dan akhirnya menyusup dalam hati sanubari. Namun, di negeri orang, di Belanda misalnya, takbir belumlah menggema sekencang itu. Hanya dalam hati dan saat bersama keluarga serta kawan-kawan seperantauan saja mungkin takbir itu bisa kita nikmati. Sekira sembilan tahun lalu, seorang kawan tiba-tiba pernah meletupkan ide waktu itu, yakni memutar video takbiran dari kanal Youtube. Sontak, kami yang semula tak punya ide semacam itu menyambut gembira. Lebaran-lebaran berikutnya di negeri yang sama kami putar lagi video takbiran di Youtube, sembari menyiapkan masakan untuk makan bersama keesokan harinya. Meski hanya lewat rekaman video, gema takbir seperti ini tetap saja menggugah hati. Terasa khusyuk, masyuk saat mendengarnya, karena mungkin kami merasa benar-benar menyandar kepadaNya, sementara di kanan kiri lingkungan kami suasana lebaran itu hampir-hampir tidak ada.

Keesokan harinya, kami harus bangun sesegera mungkin, karena tempat sholat Ied bukanlah di tanah lapang kampung sebelah. Tetapi, sholat Ied bisa jadi dilaksanakan di kota sebelah, di sebuah tempat yang berhasil disewa oleh kawan-kawan dari pemerintah setempat. Tempat itu umumnya berupa gedung olahraga, yang harus kami set ulang menjadi tempat sholat Ied dan acara ramah tamah seusainya. Namanya saja sewa, kami pun harus patungan membayar sewanya. Pemerintah setempat biasanya juga tidak memberi toleransi atas kebersihan tempat seusai digunakan. 

Jadilah, kami, relawan dan panitia sholat Ied harus siap dengan konsekuensi untuk bersih-bersih hingga lantai gedung kembali kinclong tak menyisakan seonggok nasi atau makanan yang tumpah selama acara berlangsung, meskipun para jamaah sudah beranjak pulang. Repot? Pasti iya. Tetapi, di sinilah nikmatnya. Kami serasa bersaudara, bahu membahu menuntaskan tanggung jawab kami menyewa gedung dan merapikannya kembali seusai acara. Meski hari lebaran itu bukanlah hari libur, tetap saja hari itu menggembirakan, penuh canda tawa yang sering menyelip di antara usapan-usapan kain pel yang membasuh lantai gedung olahraga itu.

Acara ramah tamah yang digelar seusai sholat Ied pun tak lepas dari kesan indah yang tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Ada cerita, ada saling mengenal, bahkan sekedar basa-basi dan nostalgi makanan tanah air yang disajikan dengan model potluck oleh para hadirin dalam pesta lebaran itu. Di situlah kesunyian tinggal di negeri orang itu terobati.

Tentunya masih banyak lagi kisah yang teramat panjang bila diurai satu per satu. Namun setidaknya ingatan-ingatan random tentangnya bisa menjadikan kami bersyukur atas aneka rupa pengalaman indah selama berlebaran di negeri orang itu.

Selasa, 04 Juni 2019

Selepas Engkau Pergi


Aku memang tidak khusyuk, pikiranku selalu saja berjalan dan berlarian ke sana kemari manakala aku menghadapNya. Terlampau sering aku lalai dan tak sadar, ternyata mudah sekali perhatianku teralihkan oleh awang-awang dunia meskipun aku sedang bersimpuh di hadapanNya. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya selepas Isya’ itu, untuk berlutut di hadapanNya, barang hanya setengah jam saja.

Aku memang tidak kuat menahan lapar. Seringkali pikiranku memberontak tatkala dahaga itu muncul di siang yang terik itu. Sering pula keroncong perut ini membuatku lemas, tak bersemangat menghadapi hidup. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya untuk terus menahan diri hingga adzan Maghrib tiba. Menahan diri dari rasa lapar dan dahaga yang sebenarnya sungguh manusiawi. Hingga akhirnya aku tak sadar, bahwa lemasku itu mampu membuatku sedikit mampu mengatur jiwaku.

Aku memang emosional, tak jarang diliput iri, dengki dan amarah. Bahkan, kemarahan hatiku sering berujung pada serapah yang membuat hatiku ini terasa panas dan sempit. Namun, engkau mampu mengajakku untuk meredamnya, melatihku untuk kuat menahannya. Karena sesungguhnya orang yang kuat itu adalah mereka yang mampu menahan amarahnya.

Aku memang pelit. Seringkali kehati-hatian ini menjadikanku enggan mengeluarkan sepeser rupiah saja untuk dikembalikan di jalanNya. Sikap perhitunganku menjadikanku urung menyambut dengan gembira dan tangan terbuka untuk berderma manakala kotak-kotak sedekah itu mendekat. Namun, engkau mampu memaksaku, melepas yang seharusnya menjadi milik yang berhak.

Dan, pada akhirnya, aku memang masih rindu. Rindu akan kesunyian itu. Kesunyian yang berbalut ketentraman. Yang mungkin semakin terasa menghentak di malam-malam terakhir menjelang engkau pergi.

Selepas engkau pergi, aku berharap terus bisa mengingatmu, menjalankan apa yang kau ajarkan kepadaku. Dan semoga, aku masih diberikan umur untuk bertemu denganmu, tahun depan nanti. Terima kasih, Ramadhanku.