Momen lebaran adalah momen sukacita, momen bertemu kembali
dengan orang tua, keluarga, kerabat hingga kawan lama. Bagi kita yang hidup di
negeri merah putih ini, lebaran juga menjadi momentum bermaaf-maafan dengan
sesama; meskipun sebenarnya maaf-maafan ini hanyalah sebuah tradisi. Sebuah
tradisi baik yang tidak ada salahnya untuk tetap dilestarikan, sebagaimana
santapan opor ayam dan ketupat yang selalu menyertai perayaan lebaran yang
istimewa tersebut.
Namun,
tak semua orang ternyata bisa merayakan lebaran bersama orang tua dan keluarga
besarnya. Tak semua orang mendapatkan kesempatan bersua dengan kerabat di
kampung halamannya. Ada sebagian dari mereka yang mesti harus bertahan di
tempat perantauannya. Bahkan, di tempat rantau yang terbilang jauh, yang hanya
bisa dicapai dengan menyeberangi samudera dan melintasi benua. Mereka tak bisa
pulang; umumnya lantaran biaya yang harus mereka tebus terlampau cukup besar,
hingga tak cukup untuk membawanya pulang. Akhirnya, mereka memilih menunda
waktu untuk pulang dan berlebaran di tanah rantau.
Tetapi,
apakah mereka yang tak berkesempatan berlebaran bersama keluarga dan kerabat
tadi adalah orang-orang yang tak beruntung? Ataukah, orang-orang yang harus
tertahan dan berlebaran di negeri orang itu mengalami kesunyian? Jawabannya
bergantung pada sudut yang kita ambil dalam memandangnya.
Ternyata,
adalah tetap menyenangkan berlebaran di negeri orang. Tetap khidmat, tetap ada
kenikmatan, bahkan banyak hal yang menyentuh sisi ruhani yang akhirnya membawa
kesyukuran tiada tara. Bahkan, ada momen-momen indah saat lebaran di negeri
orang yang sulit dilupakan, bahkan dirindu manakala jasad dan jiwa ini sudah
pulang dari perantauan.
Ketika
malam sebelum lebaran tiba, sahut-sahutan suara takbir menggema di hampir
setiap kota di negeri merah putih ini. Takbir menggelora, menyisip di antara
deru kendaraan mudik, dan akhirnya menyusup dalam hati sanubari. Namun, di
negeri orang, di Belanda misalnya, takbir belumlah menggema sekencang itu.
Hanya dalam hati dan saat bersama keluarga serta kawan-kawan seperantauan saja
mungkin takbir itu bisa kita nikmati. Sekira sembilan tahun lalu, seorang kawan
tiba-tiba pernah meletupkan ide waktu itu, yakni memutar video takbiran dari
kanal Youtube. Sontak, kami yang semula tak punya ide semacam itu menyambut
gembira. Lebaran-lebaran berikutnya di negeri yang sama kami putar lagi video
takbiran di Youtube, sembari menyiapkan masakan untuk makan bersama keesokan
harinya. Meski hanya lewat rekaman video, gema takbir seperti ini tetap saja
menggugah hati. Terasa khusyuk, masyuk saat mendengarnya, karena mungkin kami
merasa benar-benar menyandar kepadaNya, sementara di kanan kiri lingkungan kami
suasana lebaran itu hampir-hampir tidak ada.
Keesokan
harinya, kami harus bangun sesegera mungkin, karena tempat sholat Ied bukanlah
di tanah lapang kampung sebelah. Tetapi, sholat Ied bisa jadi dilaksanakan di
kota sebelah, di sebuah tempat yang berhasil disewa oleh kawan-kawan dari
pemerintah setempat. Tempat itu umumnya berupa gedung olahraga, yang harus kami
set ulang menjadi tempat sholat Ied dan acara ramah tamah seusainya. Namanya
saja sewa, kami pun harus patungan membayar sewanya. Pemerintah setempat
biasanya juga tidak memberi toleransi atas kebersihan tempat seusai digunakan.
Jadilah, kami, relawan dan panitia sholat Ied harus siap dengan konsekuensi
untuk bersih-bersih hingga lantai gedung kembali kinclong tak menyisakan
seonggok nasi atau makanan yang tumpah selama acara berlangsung, meskipun para
jamaah sudah beranjak pulang. Repot? Pasti iya. Tetapi, di sinilah nikmatnya.
Kami serasa bersaudara, bahu membahu menuntaskan tanggung jawab kami menyewa
gedung dan merapikannya kembali seusai acara. Meski hari lebaran itu bukanlah
hari libur, tetap saja hari itu menggembirakan, penuh canda tawa yang sering menyelip
di antara usapan-usapan kain pel yang membasuh lantai gedung olahraga itu.
Acara
ramah tamah yang digelar seusai sholat Ied pun tak lepas dari kesan indah yang
tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Ada cerita, ada saling mengenal,
bahkan sekedar basa-basi dan nostalgi makanan tanah air yang disajikan dengan
model potluck oleh para hadirin dalam pesta lebaran itu. Di situlah kesunyian
tinggal di negeri orang itu terobati.
Tentunya
masih banyak lagi kisah yang teramat panjang bila diurai satu per satu. Namun
setidaknya ingatan-ingatan random tentangnya bisa menjadikan kami bersyukur
atas aneka rupa pengalaman indah selama berlebaran di negeri orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar