Selasa, 04 Juni 2019

Selepas Engkau Pergi


Aku memang tidak khusyuk, pikiranku selalu saja berjalan dan berlarian ke sana kemari manakala aku menghadapNya. Terlampau sering aku lalai dan tak sadar, ternyata mudah sekali perhatianku teralihkan oleh awang-awang dunia meskipun aku sedang bersimpuh di hadapanNya. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya selepas Isya’ itu, untuk berlutut di hadapanNya, barang hanya setengah jam saja.

Aku memang tidak kuat menahan lapar. Seringkali pikiranku memberontak tatkala dahaga itu muncul di siang yang terik itu. Sering pula keroncong perut ini membuatku lemas, tak bersemangat menghadapi hidup. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya untuk terus menahan diri hingga adzan Maghrib tiba. Menahan diri dari rasa lapar dan dahaga yang sebenarnya sungguh manusiawi. Hingga akhirnya aku tak sadar, bahwa lemasku itu mampu membuatku sedikit mampu mengatur jiwaku.

Aku memang emosional, tak jarang diliput iri, dengki dan amarah. Bahkan, kemarahan hatiku sering berujung pada serapah yang membuat hatiku ini terasa panas dan sempit. Namun, engkau mampu mengajakku untuk meredamnya, melatihku untuk kuat menahannya. Karena sesungguhnya orang yang kuat itu adalah mereka yang mampu menahan amarahnya.

Aku memang pelit. Seringkali kehati-hatian ini menjadikanku enggan mengeluarkan sepeser rupiah saja untuk dikembalikan di jalanNya. Sikap perhitunganku menjadikanku urung menyambut dengan gembira dan tangan terbuka untuk berderma manakala kotak-kotak sedekah itu mendekat. Namun, engkau mampu memaksaku, melepas yang seharusnya menjadi milik yang berhak.

Dan, pada akhirnya, aku memang masih rindu. Rindu akan kesunyian itu. Kesunyian yang berbalut ketentraman. Yang mungkin semakin terasa menghentak di malam-malam terakhir menjelang engkau pergi.

Selepas engkau pergi, aku berharap terus bisa mengingatmu, menjalankan apa yang kau ajarkan kepadaku. Dan semoga, aku masih diberikan umur untuk bertemu denganmu, tahun depan nanti. Terima kasih, Ramadhanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar