Aku memang tidak khusyuk,
pikiranku selalu saja berjalan dan berlarian ke sana kemari manakala aku
menghadapNya. Terlampau sering aku lalai dan tak sadar, ternyata mudah sekali perhatianku
teralihkan oleh awang-awang dunia meskipun aku sedang bersimpuh di hadapanNya.
Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya selepas Isya’ itu, untuk berlutut di
hadapanNya, barang hanya setengah jam saja.
Aku memang tidak kuat menahan
lapar. Seringkali pikiranku memberontak tatkala dahaga itu muncul di siang yang
terik itu. Sering pula keroncong perut ini membuatku lemas, tak bersemangat
menghadapi hidup. Namun, engkau mampu memaksaku, setidaknya untuk terus menahan
diri hingga adzan Maghrib tiba. Menahan diri dari rasa lapar dan dahaga yang
sebenarnya sungguh manusiawi. Hingga akhirnya aku tak sadar, bahwa lemasku itu
mampu membuatku sedikit mampu mengatur jiwaku.
Aku memang emosional, tak jarang
diliput iri, dengki dan amarah. Bahkan, kemarahan hatiku sering berujung pada
serapah yang membuat hatiku ini terasa panas dan sempit. Namun, engkau mampu
mengajakku untuk meredamnya, melatihku untuk kuat menahannya. Karena
sesungguhnya orang yang kuat itu adalah mereka yang mampu menahan amarahnya.
Aku memang pelit. Seringkali
kehati-hatian ini menjadikanku enggan mengeluarkan sepeser rupiah saja untuk dikembalikan
di jalanNya. Sikap perhitunganku menjadikanku urung menyambut dengan gembira
dan tangan terbuka untuk berderma manakala kotak-kotak sedekah itu mendekat.
Namun, engkau mampu memaksaku, melepas yang seharusnya menjadi milik yang
berhak.
Dan, pada akhirnya, aku memang
masih rindu. Rindu akan kesunyian itu. Kesunyian yang berbalut ketentraman.
Yang mungkin semakin terasa menghentak di malam-malam terakhir menjelang engkau
pergi.
Selepas engkau pergi, aku
berharap terus bisa mengingatmu, menjalankan apa yang kau ajarkan kepadaku. Dan
semoga, aku masih diberikan umur untuk bertemu denganmu, tahun depan nanti.
Terima kasih, Ramadhanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar