Minggu, 07 Juli 2019

Pesan Moral Film “Spiderman: Far from Home”

Spiderman kembali menggebrak dunia perfilman superhero dunia di medio 2019 ini. Kali ini, kisah manusia laba-laba ini mengangkat subjudul: Far from Home, yang menurut saya unik lantaran kata ‘home’ di dalamnya dapat menunjukkan ketersambungan film ini dengan film sebelumnya: Homecoming. Namun, yang jelas, seperti pada edisi perdananya “Homecoming”, kisah Spiderman dalam Far from Home kali ini juga sarat pesan moral yang menarik untuk disimak. Sebelumnya, saya pernah menulis tentang pesan moral dalam film Spiderman: Homecoming dalam tautan berikut ini.

Spiderman: Far from Home sebenarnya tidak tersambung langsung dengan Homecoming yang dirilis pada tahun 2017. Di antara keduanya terselip dua film besar besutan Marvel Cinematic Universe (MCU), yakni The Avengers: Infinity War dan The Avengers: Endgame. Kedua film terakhir ini menjadi semacam titik simpul kisah-kisah superhero Marvel, termasuk kematian Tony “Iron Man” Stark dan pensiunnya Steve “Captain America” Rogers. Alhasil, dalam film Far from Home, Peter “Spiderman” Parker masih dibayangi kematian Tony Stark yang sangat ia kagumi dan ia jadikan figur inspirasi akan superhero yang seharusnya.

Ada dua hal yang sekiranya menurut saya dapat kita petik sebagai pelajaran dalam Spiderman: Far from Home. Pertama, adalah efek bumerang teknologi informasi sangat pesat perkembangannya dan fenomena media framing yang di era modern seperti saat ini. Dikisahkan, pada detik-detik sang tokoh antagonis, Quentin “Mysterio” Beck, dikalahkan oleh Spiderman melalui sebuah pertempuran di atas London, Beck sempat merekam dirinya sambil berceloteh dalam keadaan terluka parah dengan latar kaki Spiderman yang sebetulnya juga tengah terluka. Dalam post-credit scene film tersebut, Beck mengumumkan bahwa ia, yang sebenarnya tengah punya nama baik di hadapan publik, dibunuh oleh Spiderman karena ambilsi sang manusia laba-laba tersebut untuk menggantikan peran Tony Stark sebagai pimpinan Avengers. Padahal, sejatinya Peter Parker justru tidak pernah merasa mampu menggantikan Tony Stark. Bahkan saking tidak pede-nya, ia menyerahkan kacamata “EDITH” yang dipakai Stark kepada Beck secara cuma-cuma. Kacamata tersebut merupakan salah satu kunci sistem senjata pamungkas yang dirancang dan dibuat Stark sebelum ia mangkat. Di tangan Beck, EDITH dipakai untuk mengusik ketengangan dunia, dengan skenario fiktif tentang musuh alien bernama Elementals. Orang-orang kepercayaan Beck lalu mengunggah video Beck lewat siaran berita pada publik, mengesankan bahwa Spiderman itu licik nan picik. Selanjutnya, mungkin patut kita tunggu terusan film Spiderman ini. Namun, inilah media framing. Kita sering tertipu, terkecoh oleh suatu informasi lantaran informasi yang disampaikan tersebut telah dikemas sedemikian rupa oleh media. Ada bagian informasi atau rekaman yang dipotong, di-edit atau direkayasa, sehingga yang seharusnya buruk menjadi baik, atau sebaliknya.
Kedua, adalah pelajaran tentang percaya pada kekuatan diri sendiri. Mungkin mirip dengan tulisan saya sebelumnya tentang Spiderman: Homecoming. Di tengah perjuangannya melawan Beck alias Mysterio yang memainkan skenario fiktif dan penuh dengan tipuan mata, Spiderman akhirnya kembali mempercayai nalurinya. Keyakinannya akan kekuatannya sendiri mengantarnya bisa melewati tipuan-tipuan yang dibuat oleh Beck dan timnya. Ya, pelajaran inilah yang saya suka dari Spiderman. Bahwa, kalaulah kita emas pastilah tetap emas, sekalipun kita tertimbun dalam comberan atau tanah yang kelam atau dikemas sedemikian rupa. Sama seperti dalam film Homecoming, Peter Parker pernah menolak menerima kostum Spiderman yang lebih keren dan powerful rancangan Tony Stark. Ia lebih percaya pada kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, meskipun hanya berkostum manusia laba-laba yang primitif dan minus teknologi mutakhir.

Sabtu, 06 Juli 2019

CIMEDs, Satu Dasawarsa Berkarya


Bulan Juni mungkin adalah bulan yang cukup monumental bagi saya. Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya medio Juni 2009, bersama beberapa kawan seperjuangan di kampus, saya memformalkan grup riset kami, tepatnya beberapa jam sebelum satu manuskrip perdana hasil penelitian kami dikirimkan untuk sebuah konferensi di Surabaya. Center for Innovation of Medical Equipment and Devices, begitu kami beri nama. Kami singkat dengan nama yang mudah diingat: CIMEDs
Lambang CIMEDs dicetuskan tidak lama setelah kelahirannya di tahun 2009
CIMEDs bermula dari sekedar aktivitas ber-‘main-main’, keisengan dan saling belajar dan mengajari tentang riset dan segala aktivitas pendukungnya yang saya geluti bersama teman-teman saya itu. Saat itu ada Pak Suyitno, Pak Muslim Mahardika, (alm.) dr. Punto Dewo dan Pak Urip Agus Salim, yang semuanya adalah dosen-dosen muda di UGM. Awal perjalanan kami hanyalah sebuah diskusi-diskusi biasa, tidak formal, yang biasa terjadi di selasar kampus, di laboratorium, ruangan-ruangan kecil kami atau dimanapun saat kami bertemu. 
Brosur pertama informasi tentang aktivitas CIMEDs di tahun 2009
Ya, kami buknlah makhluk-makhluk formal yang harus selalu berdiskusi di ruangan sejuk ber-AC dan berbau wangi parfum ala ruang kantoran. Justru, diskusi sering kami dilakukan di laboratorium material dan manufaktur yang pengap, berbau oli, bahkan bising, di kampus. Tetapi kami tak sekedar berdiskusi, kami juga bermimpi dan menulis untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Mimpi kami mengerucut menjadi satu di saat itu: ingin menjadi bagian dari para peneliti dunia yang berkontribusi di bidang yang kami geluti lewat grup riset ini. Untuk mewujudkannya, proposal-proposal penelitian kami tulis, untuk mendapatkan dana hibah sehingga aktivitas-aktivitas kami terhidupi. Sementara, aktivitas eksperimen, perancangan dan fabrikasi produk-produk hasil penelitian serta penulis manuskrip untuk publikasi di jurnal terus dilakukan. Tak peduli dengan situasi dan keterbatasan yang ada; alhamdulillah semua karena karunia energi dan motivasi yang disisipkan olehNya lewat mimpi kami tadi.

Satu dasawarsa telah terlalui. CIMEDs tumbuh melewati pasang-surut kehidupannya. Di awal, kami hanya bermodalkan alat-alat buatan sendiri dan mesin-mesin perkakas yang tidak baru untuk berkarya. Tak berselang lama, muncullah produk-produk hasil riset pertama kami: seperangkat plat-plat osteosintesis yang dipakai untuk membantu proses penyambungan kembali dan rekonstruksi tulang patah. Lalu, kami menulis artikel demi artikel, mulai dari hanya sekedar untuk konferensi atau seminar hingga jurnal di level internasional. Di tahun 2011, kami akhirnya berhasil mendobrak ketidakpercayaan pada diri kami tentang sulitnya menembus publikasi di jurnal internasional yang mapan dengan hasil riset dalam negeri dan formasi all Indonesian authors. Kami bisa, bahkan tulisan inipun hingga kini masih menjadi rujukan dan disitasi banyak publikasi para peneliti selanjutnya. Kemudian, inovasi tentang peralatan riset dan produksi piranti kesehatan juga terus bergulir. Paten demi paten pun kami ajukan.
Liputan tentang CIMEDs dan produknya di Majalah Gatra, November 2010
Satu dasawarsa mungkin belumlah apa-apa, belumlah ada kontribusi yang sangat nyata. Pada prinsipnya, mungkin kami bukanlah orang-orang yang harus selalu formal dan di-‘formal’-kan. CIMEDs lahir dan tumbuh dari sesuatu yang tidak formal, yakni dari hati yang akhirnya mewujud ke perbuatan kami saja. Publisitas kami di media tidak banyak, karena kami sengaja dan memang tidak terlalu suka mempublikasikan diri kami secara besar-besaran dan bombastis. Biarlah pikiran dan perbuatan kami ini saja yang -semoga- selalu diberi kekuatan olehNya untuk terus berkarya, sesuai dengan fitrah manusia untuk memberikan manfaat bagi sesama dan kehidupan.

Satu dasawarsa CIMEDs. Semoga kami tetap istiqomah.

***
Tulisan ini secara khusus didedikasikan untuk Alm. Dr. dr. Punto Dewo, Sp.OT. salah satu inisiator CIMEDs yang tak pernah lelah membesarkan grup ini hingga beliau berpulang beberapa tahun yang lalu.