Spiderman kembali menggebrak
dunia perfilman superhero dunia di medio 2019 ini. Kali ini, kisah manusia
laba-laba ini mengangkat subjudul: Far from Home, yang menurut saya unik
lantaran kata ‘home’ di dalamnya dapat menunjukkan ketersambungan film ini
dengan film sebelumnya: Homecoming. Namun, yang jelas, seperti pada edisi
perdananya “Homecoming”, kisah Spiderman dalam Far from Home kali
ini juga sarat pesan moral yang menarik untuk disimak. Sebelumnya, saya pernah
menulis tentang pesan moral dalam film Spiderman: Homecoming dalam
tautan berikut ini.
Spiderman: Far from Home
sebenarnya tidak tersambung langsung dengan Homecoming yang dirilis pada
tahun 2017. Di antara keduanya terselip dua film besar besutan Marvel Cinematic
Universe (MCU), yakni The Avengers: Infinity War dan The Avengers:
Endgame. Kedua film terakhir ini menjadi semacam titik simpul kisah-kisah
superhero Marvel, termasuk kematian Tony “Iron Man” Stark dan pensiunnya Steve
“Captain America” Rogers. Alhasil, dalam film Far from Home, Peter
“Spiderman” Parker masih dibayangi kematian Tony Stark yang sangat ia kagumi
dan ia jadikan figur inspirasi akan superhero yang seharusnya.
Ada dua hal yang sekiranya
menurut saya dapat kita petik sebagai pelajaran dalam Spiderman: Far from
Home. Pertama, adalah efek bumerang teknologi informasi sangat pesat
perkembangannya dan fenomena media framing yang di era modern seperti
saat ini. Dikisahkan, pada detik-detik sang tokoh antagonis, Quentin “Mysterio”
Beck, dikalahkan oleh Spiderman melalui sebuah pertempuran di atas London, Beck
sempat merekam dirinya sambil berceloteh dalam keadaan terluka parah dengan
latar kaki Spiderman yang sebetulnya juga tengah terluka. Dalam post-credit
scene film tersebut, Beck mengumumkan bahwa ia, yang sebenarnya tengah
punya nama baik di hadapan publik, dibunuh oleh Spiderman karena ambilsi sang manusia
laba-laba tersebut untuk menggantikan peran Tony Stark sebagai pimpinan
Avengers. Padahal, sejatinya Peter Parker justru tidak pernah merasa mampu
menggantikan Tony Stark. Bahkan saking tidak pede-nya, ia menyerahkan
kacamata “EDITH” yang dipakai Stark kepada Beck secara cuma-cuma. Kacamata
tersebut merupakan salah satu kunci sistem senjata pamungkas yang dirancang dan
dibuat Stark sebelum ia mangkat. Di tangan Beck, EDITH dipakai untuk mengusik
ketengangan dunia, dengan skenario fiktif tentang musuh alien bernama
Elementals. Orang-orang kepercayaan Beck lalu mengunggah video Beck lewat siaran berita pada
publik, mengesankan bahwa Spiderman itu licik nan picik. Selanjutnya, mungkin
patut kita tunggu terusan film Spiderman ini. Namun, inilah media framing.
Kita sering tertipu, terkecoh oleh suatu informasi lantaran informasi yang
disampaikan tersebut telah dikemas sedemikian rupa oleh media. Ada bagian
informasi atau rekaman yang dipotong, di-edit atau direkayasa, sehingga yang
seharusnya buruk menjadi baik, atau sebaliknya.
Kedua, adalah pelajaran tentang
percaya pada kekuatan diri sendiri. Mungkin mirip dengan tulisan saya
sebelumnya tentang Spiderman: Homecoming. Di tengah perjuangannya melawan
Beck alias Mysterio yang memainkan skenario fiktif dan penuh dengan tipuan
mata, Spiderman akhirnya kembali mempercayai nalurinya. Keyakinannya akan
kekuatannya sendiri mengantarnya bisa melewati tipuan-tipuan yang dibuat oleh
Beck dan timnya. Ya, pelajaran inilah yang saya suka dari Spiderman. Bahwa,
kalaulah kita emas pastilah tetap emas, sekalipun kita tertimbun dalam comberan
atau tanah yang kelam atau dikemas sedemikian rupa. Sama seperti dalam film Homecoming,
Peter Parker pernah menolak menerima kostum Spiderman yang lebih keren dan powerful
rancangan Tony Stark. Ia lebih percaya pada kekuatan yang ada pada dirinya
sendiri, meskipun hanya berkostum manusia laba-laba yang primitif dan minus
teknologi mutakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar