Rabu pagi. 25 Oktober 2017. Rasa
dag-dig-dug itu masih saja saya coba kendalikan. Mungkin sama rasanya dengan sidang-sidang
pendadaran yang pernah saya lalui di 2008 dan 2005 silam. Kadang jemari tangan
berkeringat dingin, pikiran semacam terbebani oleh predikat ‘lulus’ atau malah
tidak. Jarum jam sudah menunjuk jam sembilan pagi lebih beberapa menit. Berarti
beberapa menit lagi, acara besar bagi saya itu akan dimulai. Istri saya
pun bercerita belakangan ini, bahwa ada rasa dag-dig-dug yang juga menderanya
menjelang dan selama berlangsungnya acara itu.
Tak dinyana, datang seorang pria yang
sudah cukup sepuh penampilannya. Sorot matanya tajam, sama tajamnya seperti
ketika saya menemuinya berkali-kali di ruang kerjanya. Rasa-rasanya, pria ini
adalah salah satu orang paling kritis yang pernah saya temui sepanjang hidup
saya selama ini. Sambil terengah-engah ia menghampiri saya yang tengah berbincang
dengan seorang ibu yang akan menjadi semacam pemandu acara besar ini. Ia, pria
tadi, berjaket merah, sesekali mengusap keringatnya yang masih menempel di dahinya.
Seperti biasanya, ia hampir selalu bersepeda kemanapun ia pergi, termasuk
mendatangi Aula Congresscentrum tempat saya akan diuji hari itu. Bahkan, beberapa
kali pertemuan dengannya, ia bercerita tentang hobinya bersepeda, melintasi
kota-kota di Belanda. Jujur saja, bila saya bertanding balap sepeda dengannya, sangat
mungkin saya kalah telak. Perawakannya memang sudah tidak muda, tetapi fisiknya
cukup kuat lantaran terlatihnya ia bersepeda. Pria itu adalah Professor Frans
van der Helm, promotor saya.
Ia datang, tak menampakkan gaya
formalnya. Masih bercelana panjang jins dan berjaket merah seperti pada foto di
atas. Saya tahu, bahwa sebentar lagi ia akan berganti penampilan dengan jubah
kebesarannya sebagai Hoogleraar, guru besar yang menjadikan saya sebagai
aktor utama dalam sidang terbuka yang sebentar lagi akan dimulai itu.
Frans. Begitu saja saya
memanggilnya. Tidak ada prefiks ‘Prof.’ atau ‘Profesor’ yang saya sebut ketika
saya memanggilnya. Wah, tidak sopan ya tampaknya. Ternyata tidak. Bukan berarti
saya tidak menghormatinya, tetapi mungkin karena budaya yang sudah terbentuk di
sana, di tempat saya berguru kepadanya, sehingga saya cukup memanggil namanya saja. Ada sebuah cerita tentang awal
pertemuan saya dengannya. Sebulan setelah kedatangan saya di kampus tempat
Frans bekerja, saya merasa ada yang kurang semenjak kaki ini menginjak tanah di kampus tersebut.
Sebulan lebih saya belum pernah bertemu dengan Frans. Selama itu pula, saya
lebih banyak berinteraksi dengan pembimbing harian saya, tidak dengan Frans. Frans
memang bertindak sebagai promotor, namun dia bukanlah project holder, si
empunya proyek penelitian yang saya lakukan. Frans ‘dipinjam’ oleh pembimbing
saya dari grup lain dalam departemen, lantaran di grup riset saya saat itu
belum ada satupun profesor yang bisa didaulat untuk menjadi promotor bagi
seorang promovendus. Singkat cerita, akhirnya saya beranikan diri
menemui Frans, yang ruang kerjanya hanya di balik sekat pembatas tempat saya
dan kawan-kawan mahasiswa lainnya bekerja.
Pintu ruangannya saya ketuk. Setelah
dipersilakan masuk, saya dapati beliau. Saya perkenalkan diri. Semula saya
panggil ‘Prof. Frans’. Tetapi ternyata justru saya menangkap rasa aneh di
wajahnya. Entah. Hingga saya pamit undur diri pun saya tak tahu kenapa wajah
Frans menjadi seperti salah tingkah ketika saya memanggilnya seperti itu. Ah,
sudahlah. Saya tak berpikir panjang. Hingga akhirnya saya sedikit demi sedikit
memahami, bahwa kultur di sana ya seperti itu. Sebenarnya, saya pun tidak bisa
menjeneralisir. Bisa jadi memang ini hal spesifik yang saya alami. Bisa jadi hal
ini tidak terjadi di kampus lain, atau bahkan di departemen lain walaupun masih
satu kampus di Belanda sana. Tetapi, lambat laun saya nyaman dengan kultur ini.
Ada beberapa hal yang Frans ajarkan kepada saya secara tidak langsung dari
caranya ia berinteraksi dengan saya. Soal panggilan namanya itu, adalah yang pertama.
Kedua, Frans mengajarkan saya
tentang bagaimana duduk bersama mahasiswanya. Side-by-side. Duduk
berdampingan, membahas kemajuan studi saya hingga membahas tulisan-tulisan
dalam disertasi saya. Bahkan dengan duduk bersama itulah cerita-cerita tentang
petualangannya bersepeda saya dapatkan. Ia ajarkan bahwa tidak selalu interaksi
antara promotor dengan mahasiswanya berlangsung formal, sepanjang etika sopan-santun
akademik tetap dipegang. Ia juga pernah tak segan mengambilkan segelas kopi
untuk saya dari mesin, sesaat sebelum meeting reguler dimulai. Seperti
dalam foto, beberapa menit sebelum sidang saya dimulai, ia pun datang dengan
kostum hariannya, memastikan dulu apakah saya dan semua hal terkait sidang saya
baik-baik saja, sebelum akhirnya ia mempersiapkan dirinya sendiri untuk acara defense
tersebut.
Ketiga, seperti saya sebut
sebelumnya, Frans inilah mungkin salah satu figur paling kritis yang pernah
saya temui. Ia tak segan mempertanyakan temuan-temuan riset saya, yang biasanya
sudah saya rapikan sebelum hari-H meeting dengannya. Pernah suatu ketika,
apa yang sudah saya susun rapi untuk didiskusikan dengannya, di-‘obrak-abrik’ oleh
pertanyaan-pertanyaannya. Hingga akhirnya membuat saya termenung, berpikir
keras lagi. Salah satu pesannya kepada saya yang terus terngiang di telinga
saya hingga sekarang adalah, bahwa kamu (Budi) harus bersikap skeptis dengan
data yang kamu punya. Jadilah kritikus temuan-temuanmu sendiri, meragukan
data-data yang diperoleh, hingga kadang kita menjadi bimbang terhadap apa-apa
yang kita temukan. Dari situlah, kita akan terpancing untuk memastikan
kebenaran dari temuan-temuan kita tadi. Pesan yang sungguh berat, tetapi di situlah
rasanya jiwa seorang peneliti yang curious, penuh rasa ingin tahu dan
bersemangat menggali kebenaran ilmiah itu ditumbuhkan.
Sehari setelah sidang terbuka saya
berlangsung, saya temui Frans lagi. Sekadar mengucap terima kasih sambil berpamitan,
lantaran beberapa hari setelahnya saya bertolak kembali ke Indonesia dan entah
kapan lagi bisa kembali menemuinya. Singkat cerita, satu lagi pesan Frans yang
secara tidak langsung ia sampaikan ke saya. Kira-kira begini, “Budi, kamu harus
lebih keras lagi menyanggah pertanyaan-pertanyaan dan ‘serangan’ para pengujimu
kemarin.” Hah.. sesaat saya bengong. Saya merasa sudah berjibaku bertahan dengan
kekuatan maksimal saya menghadapi para penguji. Ya, memang ada satu dua
pertanyaan yang saya luput menjawabnya. Tetapi, Frans menilai saya masih kurang
maksimal. Demikianlah, mungkin saya memang harus belajar juga tentang pesan
Frans yang satu ini. Menurut Frans, di forum defense seperti itu, sudah sepatutnya
bahwa mahasiswa promovendus justru harus berani dalam menyanggah komentar
dan pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan para penguji. Bukan manut
begitu saja. Tentu saja, berani karena ada landasan berpikir yang matang;
hasil-hasil pemikiran yang didukung data-data riset yang dilakukan dengan
metode yang tepat.
Ya, itulah kesan. Kesan yang saya tangkap. Hampir
dua tahun sudah saya tidak berjumpa lagi dengan beliau. Pun, pengalaman
berinteraksi dengannya pun tidak selalu manis. Pernah ada kisah frustasi,
ketika beliau tak kunjung membalas e-mail saya selama hampir enam bulan
setelah saya kembali ke Indonesia dan menunggu hasil review beliau pada
draft disertasi yang saya tulis. Rasa frustasi tadi akhirnya hilang, lantaran
saya pun akhirnya memahami ucapan maaf beliau karena memang sibuk bukan main dengan
aktivitas-aktivitasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar