Rabu, 25 September 2019

Kesan

Rabu pagi. 25 Oktober 2017. Rasa dag-dig-dug itu masih saja saya coba kendalikan. Mungkin sama rasanya dengan sidang-sidang pendadaran yang pernah saya lalui di 2008 dan 2005 silam. Kadang jemari tangan berkeringat dingin, pikiran semacam terbebani oleh predikat ‘lulus’ atau malah tidak. Jarum jam sudah menunjuk jam sembilan pagi lebih beberapa menit. Berarti beberapa menit lagi, acara besar bagi saya itu akan dimulai. Istri saya pun bercerita belakangan ini, bahwa ada rasa dag-dig-dug yang juga menderanya menjelang dan selama berlangsungnya acara itu. 


Tak dinyana, datang seorang pria yang sudah cukup sepuh penampilannya. Sorot matanya tajam, sama tajamnya seperti ketika saya menemuinya berkali-kali di ruang kerjanya. Rasa-rasanya, pria ini adalah salah satu orang paling kritis yang pernah saya temui sepanjang hidup saya selama ini. Sambil terengah-engah ia menghampiri saya yang tengah berbincang dengan seorang ibu yang akan menjadi semacam pemandu acara besar ini. Ia, pria tadi, berjaket merah, sesekali mengusap keringatnya yang masih menempel di dahinya. Seperti biasanya, ia hampir selalu bersepeda kemanapun ia pergi, termasuk mendatangi Aula Congresscentrum tempat saya akan diuji hari itu. Bahkan, beberapa kali pertemuan dengannya, ia bercerita tentang hobinya bersepeda, melintasi kota-kota di Belanda. Jujur saja, bila saya bertanding balap sepeda dengannya, sangat mungkin saya kalah telak. Perawakannya memang sudah tidak muda, tetapi fisiknya cukup kuat lantaran terlatihnya ia bersepeda. Pria itu adalah Professor Frans van der Helm, promotor saya. 

Ia datang, tak menampakkan gaya formalnya. Masih bercelana panjang jins dan berjaket merah seperti pada foto di atas. Saya tahu, bahwa sebentar lagi ia akan berganti penampilan dengan jubah kebesarannya sebagai Hoogleraar, guru besar yang menjadikan saya sebagai aktor utama dalam sidang terbuka yang sebentar lagi akan dimulai itu.

Frans. Begitu saja saya memanggilnya. Tidak ada prefiks ‘Prof.’ atau ‘Profesor’ yang saya sebut ketika saya memanggilnya. Wah, tidak sopan ya tampaknya. Ternyata tidak. Bukan berarti saya tidak menghormatinya, tetapi mungkin karena budaya yang sudah terbentuk di sana, di tempat saya berguru kepadanya, sehingga saya cukup memanggil namanya saja. Ada sebuah cerita tentang awal pertemuan saya dengannya. Sebulan setelah kedatangan saya di kampus tempat Frans bekerja, saya merasa ada yang kurang semenjak kaki ini menginjak tanah di kampus tersebut. Sebulan lebih saya belum pernah bertemu dengan Frans. Selama itu pula, saya lebih banyak berinteraksi dengan pembimbing harian saya, tidak dengan Frans. Frans memang bertindak sebagai promotor, namun dia bukanlah project holder, si empunya proyek penelitian yang saya lakukan. Frans ‘dipinjam’ oleh pembimbing saya dari grup lain dalam departemen, lantaran di grup riset saya saat itu belum ada satupun profesor yang bisa didaulat untuk menjadi promotor bagi seorang promovendus. Singkat cerita, akhirnya saya beranikan diri menemui Frans, yang ruang kerjanya hanya di balik sekat pembatas tempat saya dan kawan-kawan mahasiswa lainnya bekerja. 

Pintu ruangannya saya ketuk. Setelah dipersilakan masuk, saya dapati beliau. Saya perkenalkan diri. Semula saya panggil ‘Prof. Frans’. Tetapi ternyata justru saya menangkap rasa aneh di wajahnya. Entah. Hingga saya pamit undur diri pun saya tak tahu kenapa wajah Frans menjadi seperti salah tingkah ketika saya memanggilnya seperti itu. Ah, sudahlah. Saya tak berpikir panjang. Hingga akhirnya saya sedikit demi sedikit memahami, bahwa kultur di sana ya seperti itu. Sebenarnya, saya pun tidak bisa menjeneralisir. Bisa jadi memang ini hal spesifik yang saya alami. Bisa jadi hal ini tidak terjadi di kampus lain, atau bahkan di departemen lain walaupun masih satu kampus di Belanda sana. Tetapi, lambat laun saya nyaman dengan kultur ini. Ada beberapa hal yang Frans ajarkan kepada saya secara tidak langsung dari caranya ia berinteraksi dengan saya. Soal panggilan namanya itu, adalah yang pertama. 

Kedua, Frans mengajarkan saya tentang bagaimana duduk bersama mahasiswanya. Side-by-side. Duduk berdampingan, membahas kemajuan studi saya hingga membahas tulisan-tulisan dalam disertasi saya. Bahkan dengan duduk bersama itulah cerita-cerita tentang petualangannya bersepeda saya dapatkan. Ia ajarkan bahwa tidak selalu interaksi antara promotor dengan mahasiswanya berlangsung formal, sepanjang etika sopan-santun akademik tetap dipegang. Ia juga pernah tak segan mengambilkan segelas kopi untuk saya dari mesin, sesaat sebelum meeting reguler dimulai. Seperti dalam foto, beberapa menit sebelum sidang saya dimulai, ia pun datang dengan kostum hariannya, memastikan dulu apakah saya dan semua hal terkait sidang saya baik-baik saja, sebelum akhirnya ia mempersiapkan dirinya sendiri untuk acara defense tersebut.  

Ketiga, seperti saya sebut sebelumnya, Frans inilah mungkin salah satu figur paling kritis yang pernah saya temui. Ia tak segan mempertanyakan temuan-temuan riset saya, yang biasanya sudah saya rapikan sebelum hari-H meeting dengannya. Pernah suatu ketika, apa yang sudah saya susun rapi untuk didiskusikan dengannya, di-‘obrak-abrik’ oleh pertanyaan-pertanyaannya. Hingga akhirnya membuat saya termenung, berpikir keras lagi. Salah satu pesannya kepada saya yang terus terngiang di telinga saya hingga sekarang adalah, bahwa kamu (Budi) harus bersikap skeptis dengan data yang kamu punya. Jadilah kritikus temuan-temuanmu sendiri, meragukan data-data yang diperoleh, hingga kadang kita menjadi bimbang terhadap apa-apa yang kita temukan. Dari situlah, kita akan terpancing untuk memastikan kebenaran dari temuan-temuan kita tadi. Pesan yang sungguh berat, tetapi di situlah rasanya jiwa seorang peneliti yang curious, penuh rasa ingin tahu dan bersemangat menggali kebenaran ilmiah itu ditumbuhkan. 

Sehari setelah sidang terbuka saya berlangsung, saya temui Frans lagi. Sekadar mengucap terima kasih sambil berpamitan, lantaran beberapa hari setelahnya saya bertolak kembali ke Indonesia dan entah kapan lagi bisa kembali menemuinya. Singkat cerita, satu lagi pesan Frans yang secara tidak langsung ia sampaikan ke saya. Kira-kira begini, “Budi, kamu harus lebih keras lagi menyanggah pertanyaan-pertanyaan dan ‘serangan’ para pengujimu kemarin.” Hah.. sesaat saya bengong. Saya merasa sudah berjibaku bertahan dengan kekuatan maksimal saya menghadapi para penguji. Ya, memang ada satu dua pertanyaan yang saya luput menjawabnya. Tetapi, Frans menilai saya masih kurang maksimal. Demikianlah, mungkin saya memang harus belajar juga tentang pesan Frans yang satu ini. Menurut Frans, di forum defense seperti itu, sudah sepatutnya bahwa mahasiswa promovendus justru harus berani dalam menyanggah komentar dan pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan para penguji. Bukan manut begitu saja. Tentu saja, berani karena ada landasan berpikir yang matang; hasil-hasil pemikiran yang didukung data-data riset yang dilakukan dengan metode yang tepat. 

Ya, itulah kesan. Kesan yang saya tangkap. Hampir dua tahun sudah saya tidak berjumpa lagi dengan beliau. Pun, pengalaman berinteraksi dengannya pun tidak selalu manis. Pernah ada kisah frustasi, ketika beliau tak kunjung membalas e-mail saya selama hampir enam bulan setelah saya kembali ke Indonesia dan menunggu hasil review beliau pada draft disertasi yang saya tulis. Rasa frustasi tadi akhirnya hilang, lantaran saya pun akhirnya memahami ucapan maaf beliau karena memang sibuk bukan main dengan aktivitas-aktivitasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar