Mengikuti film-film superhero
Marvel memang mengasyikkan. Memang, di film-film tersebut banyak hal yang terasa
irrasional. Ya pantas saja, karena hanyalah film-film fiksi. Namun, bagi saya
ada banyak pesan moral yang tersampaikan, meski hanya sepotong-sepotong. The
Ant-Man and The Wasp, adalah sekuel film Ant-Man, yang tayang pada medio 2018.
Film superhero yang menurut saya paling kocak dibandingkan film-film Marvel
lainnya ini ternyata juga menyajikan pesan moral. Singkat cerita, di akhir film
The Ant-Man dan The Wasp, terselip sebuah dialong antara Hope “The Wasp” van
Dyne dengan Cassie, gadis cilik anak semata wayang Scott “Ant-Man” Lang. Hope melontarkan
sebuah pertanyaan sederhana, kira-kira begini, “Cassie, apa cita-citamu kelak
ketika dewasa?” Spontan, Cassie kecil itu menjawab, “Aku ingin menolong orang
seperti ayah.” Itu saja.
Sumber Gambar: Wikipedia |
Dua hal yang saya anggap menarik
dari jawaban Cassie. Pertama, adalah tentang cita-cita. Cassie menyatakan
cita-citanya dalam bentuk sebuah kata kerja. Kata kerja. Bukan kata benda,
misalnya dokter, profesor, insinyur, pengacara hingga presiden. Kita, disadari
atau tidak, selalu menjawab hal demikian bila ditanya cita-cita. Cita-cita
adalah sebuah kata benda, sebuah profesi, dari dokter hingga apoteker, dari
insinyur hingga ambassador, dari pengacara hingga saudagar kaya, dan
seterusnya. Tidak salah sebenarnya. Namun, ketika cita-cita hanya dimaknai
sebagai sebuah profesi, maka tak ubahnya kita kehilangan ruh dari cita-cita itu
sendiri. Hingga kadangkala, untuk menggapainya kita menjadi terlalu memaksakan diri,
dan melupakan hal-hal lain yang lebih esensial dan menjadi tugas manusia yang
sebenarnya di bumi. Yakni, tugas menjadi manusia sebagai makhluk yang mengelola
bumi, hehehe… Yang terjadi justru seringkali sebaliknya. Misal, kita mengejar
mimpi kita namun seringkali malah menyikut dan menyingkirkan orang-orang di
sekitar kita.
Boleh jadi kita memimpikan atau
bercita-cita tentang sebuah profesi, tetapi sebenarnya urusan tergapainya cita-cita
tersebut adalah urusan Yang Maha Kuasa. Ruh dari segala macam profesi kita
sebenarnya cukup dengan kata kerja seperti yang diungkapkan Cassie. Bukankah
menjadi dokter itu menolong orang lain? Bukankah menjadi insinyur itu menolong
orang lain? Bukankah menjadi pengacara itu menolong orang lain? Dan seterusnya.
Intinya adalah kita menjadi orang yang bermanfaat, bermanfaat bagi diri
sendiri, orang lain hingga lingkungan kita, apapun profesi kita nantinya.
Dengan demikian, pemaksaan diri, atau bahkan pemaksaan suatu profesi kepada
anak kita sendiri, hingga sikut-sikutan dengan orang-orang yang dianggap
menghalangi cita-cita kita dapat
dihindarkan.
Kedua, yang menarik dari jawaban
Cassie atas pertanyaan Hope adalah, bahwa ia ingin menolong orang lain seperti
ayahnya. Ayah. Figur sentral dalam keluarga. Namun, seringkali kita abaikan
ketika peran sebagai ayah itu sedang kita kerjakan. Ayah adalah contoh,
teladan. Menjadi ayah adalah sebuah tanggung jawab. Bahkan, konon dalam
berbagai bacaan, ayah sebenarnya punya seni tersendiri dalam mendidik anak.
Bukan lewat kata-kata seperti halnya ibu, yang memang punya kemampuan verbal
lebih baik sebagai seorang perempuan dibanding ayah. Ayah adalah lelaki, yang
konon kemampuan verbalnya secara umum di bawah ibu yang seorang perempuan.
Namun, ayah punya sesuatu. Ia punya segudang modal untuk menjadi teladan, figur
contoh bagi seorang anak. Yang kedua ini adalah semacam tamparan bagi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar