Minggu, 29 September 2019

Selipan Ilmu Parenting dalam Film Ant-Man


Mengikuti film-film superhero Marvel memang mengasyikkan. Memang, di film-film tersebut banyak hal yang terasa irrasional. Ya pantas saja, karena hanyalah film-film fiksi. Namun, bagi saya ada banyak pesan moral yang tersampaikan, meski hanya sepotong-sepotong. The Ant-Man and The Wasp, adalah sekuel film Ant-Man, yang tayang pada medio 2018. Film superhero yang menurut saya paling kocak dibandingkan film-film Marvel lainnya ini ternyata juga menyajikan pesan moral. Singkat cerita, di akhir film The Ant-Man dan The Wasp, terselip sebuah dialong antara Hope “The Wasp” van Dyne dengan Cassie, gadis cilik anak semata wayang Scott “Ant-Man” Lang. Hope melontarkan sebuah pertanyaan sederhana, kira-kira begini, “Cassie, apa cita-citamu kelak ketika dewasa?” Spontan, Cassie kecil itu menjawab, “Aku ingin menolong orang seperti ayah.” Itu saja.

Sumber Gambar: Wikipedia
Dua hal yang saya anggap menarik dari jawaban Cassie. Pertama, adalah tentang cita-cita. Cassie menyatakan cita-citanya dalam bentuk sebuah kata kerja. Kata kerja. Bukan kata benda, misalnya dokter, profesor, insinyur, pengacara hingga presiden. Kita, disadari atau tidak, selalu menjawab hal demikian bila ditanya cita-cita. Cita-cita adalah sebuah kata benda, sebuah profesi, dari dokter hingga apoteker, dari insinyur hingga ambassador, dari pengacara hingga saudagar kaya, dan seterusnya. Tidak salah sebenarnya. Namun, ketika cita-cita hanya dimaknai sebagai sebuah profesi, maka tak ubahnya kita kehilangan ruh dari cita-cita itu sendiri. Hingga kadangkala, untuk menggapainya kita menjadi terlalu memaksakan diri, dan melupakan hal-hal lain yang lebih esensial dan menjadi tugas manusia yang sebenarnya di bumi. Yakni, tugas menjadi manusia sebagai makhluk yang mengelola bumi, hehehe… Yang terjadi justru seringkali sebaliknya. Misal, kita mengejar mimpi kita namun seringkali malah menyikut dan menyingkirkan orang-orang di sekitar kita. 

Boleh jadi kita memimpikan atau bercita-cita tentang sebuah profesi, tetapi sebenarnya urusan tergapainya cita-cita tersebut adalah urusan Yang Maha Kuasa. Ruh dari segala macam profesi kita sebenarnya cukup dengan kata kerja seperti yang diungkapkan Cassie. Bukankah menjadi dokter itu menolong orang lain? Bukankah menjadi insinyur itu menolong orang lain? Bukankah menjadi pengacara itu menolong orang lain? Dan seterusnya. Intinya adalah kita menjadi orang yang bermanfaat, bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain hingga lingkungan kita, apapun profesi kita nantinya. Dengan demikian, pemaksaan diri, atau bahkan pemaksaan suatu profesi kepada anak kita sendiri, hingga sikut-sikutan dengan orang-orang yang dianggap menghalangi cita-cita kita  dapat dihindarkan. 

Kedua, yang menarik dari jawaban Cassie atas pertanyaan Hope adalah, bahwa ia ingin menolong orang lain seperti ayahnya. Ayah. Figur sentral dalam keluarga. Namun, seringkali kita abaikan ketika peran sebagai ayah itu sedang kita kerjakan. Ayah adalah contoh, teladan. Menjadi ayah adalah sebuah tanggung jawab. Bahkan, konon dalam berbagai bacaan, ayah sebenarnya punya seni tersendiri dalam mendidik anak. Bukan lewat kata-kata seperti halnya ibu, yang memang punya kemampuan verbal lebih baik sebagai seorang perempuan dibanding ayah. Ayah adalah lelaki, yang konon kemampuan verbalnya secara umum di bawah ibu yang seorang perempuan. Namun, ayah punya sesuatu. Ia punya segudang modal untuk menjadi teladan, figur contoh bagi seorang anak. Yang kedua ini adalah semacam tamparan bagi saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar