Selasa, 29 Oktober 2013

Jalan Panjang Menjadi Penulis

“Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Mie instan saja butuh waktu untuk memasaknya, hingga siap untuk disantap.”
Saya rasa ungkapan tersebut benar. Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Semua membutuhkan proses. Apakah proses tersebut panjang atau pendek, lama atau sebentar, berliku atau lurus, sulit atau mudah, yang jelas semuanya adalah proses. Pun demikian dengan menulis. Menulis adalah sebuah proses, yang membutuhkan kesabaran, keuletan, sikap pantang menyerah, terbuka dan sebagainya. Saya yakin penulis-penulis besar yang kerap kita kagumi itu pasti telah melalui sebuah proses. Yang membedakan adalah jalan dari proses yang ditempuh masing-masing individu, yang tentunya tidak ada yang pernah sama. Kalaupun ada kemiripan, hal itu bukanlah berarti sama.

Setelah tiga dekade usia saya, akhirnya saya temukan bahwa menulis adalah salah satu aktivitas yang saya sukai, walaupun dalam praktiknya, lingkup topik yang sanggup saya tulis cukup spesifik nan terbatas, serta dengan gaya penulisan cenderung kaku dan tidak setiap orang bisa akrab dengannya. Saya masih ingat di sekitar tahun 2003, seorang kawan memberitahu tentang komentar salah satu editor penerbit di kota tempat tinggal saya. Pada saat itu, saya bersama beberapa kawan sedang menjalankan sebuah proyek membuat buku inovatif panduan pariwisata Kota Jogja. Terpilihlah saya menjadi penulis utamanya, dengan tugas membuat tulisan untuk mendeskripsikan tempat-tempat menarik di Jogja untuk disajikan dalam buku bertema traveling itu. Tidak susah bagi saya menyelesaikan tugas tersebut. Namun, Anda mau tahu komentar sang editor? Menurutnya, gaya tulisan saya lebih cocok untuk skripsi, bukan buku-buku untuk panduan wisata! Sejak itulah, saya seperti tertampar untuk sadar akan gaya menulis saya sendiri.

Melihat ke belakang, kemampuan menulis saya meningkat setahap demi setahap, dimulai dari kondisi sama sekali tidak bisa menulis, sering mengalami blocking dan kehabisan ide dan ujung-ujungnya sering sekali harus menyetor remasan kertas ke tong sampah. Tetapi itulah awal cerita panjang saya untuk mampu menulis. Di bangku sekolah dasar (SD), saya justru tidak suka pelajaran mengarang. Saat Tes Hasil Belajar (THB), sebutan ujian semester di jaman saya SD, saya selalu panik jika dihadapkan pada soal mengarang. Bingung. Harus mulai dari mana? Lalu menulis apa? Mungkin itulah yang bisa menggambarkan suasana hati saya saat itu. Terus terang, pada masa itu saya lebih suka menggambar. Kalaupun harus mengarang cerita, saya lebih suka membuat kartun parodi, bukan sebuah prosa apalagi puisi. Tentu saja dalam membuat kartun parodi tetap dituntut untuk membuat jalan cerita yang menarik dan lucu. Keasyikan dengan menggambar kartun membuat saya tidak begitu bermasalah dengan hal itu, namun akhirnya merasa janggal juga setelah membaca ulang cerita yang dibuat. Kembali, masuklah kertas-kertas berisi kartun-kartun parodi itu ke tong sampah karena saya anggap ‘gagal’ dan tidak lucu.

Tahun demi tahun berganti, kegemaran saya membuat kartun pun sirna terbenam dalam kegemaran yang lain. Masih seputar mengayunkan pena di atas kertas, namun bukan lagi cerita-cerita fiksi atau lucu setelah saya sadar diri saya tidak pandai berfiksi ria dan melucu. Input bacaan yang sering saya lahap saat itu juga mempengaruhi gaya saya menulis. Semenjak masa SMP dan SMA, komik atau buku cerita bukan bacaan favorit saya. Saya lebih menyukai majalah penerbangan dan buku-buku sejarah, biografi tokoh serta beberapa judul buku psikologi populer. Jika ada yang beranggapan dengan banyak membaca buku-buku seperti itu lalu langsung mahir menulis dengan tema non-fiksi dan ilmiah, ternyata itu tidak terjadi pada saya. Saya ingat bagaimana rasanya pada masa orientasi SMA dihinggapi bingung yang amat sangat berhadapan dengan tugas membuat makalah. Kata-kata tentang abstraksi, latar belakang penelitian, metodologi penelitian dan hasil penelitian sungguh terasa asing di telinga saya. Padahal di dalam kelas, kakak-kakak anggota Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang memandu program karya ilmiah siswa baru sepertinya sudah bersusah payah memberikan materi dan penjelasannya berulang kali. Hasilnya, saat itupun saya tidak lolos seleksi menjadi anggota KIR di SMA saya. Keanggotaan saya dalam KIR SMA lebih karena niat yang dipandang positif oleh kakak-kakak pemandu, bukan lewat jalur kualifikasi membuat karya ilmiah.

Debut saya membuat tulisan yang terbilang lumayan ilmiah dimulai pada saat awal keanggotaan KIR di SMA. Semua anggota baru diwajibkan membuat makalah atau karya tulis ilmiah untuk lomba tingkat daerah. Hasil tulisan saya? Masih sama, kacau! Tetapi, seiring berjalan dengan waktu, akhirnya saya mampu juga membuat karya tulis sederhana untuk diikutsertakan dalam event lomba tingkat daerah selanjutnya. Menjadi juara 2 dengan hadiah uang sebesar tujuh ratus rupiah dan berhasil ‘mengungguli’ karya salah satu guru di SMA saya adalah kebanggaan yang pernah saya rasakan dengan tulisan ilmiah saya saat kelas 2 SMA. Tetapi, yang sebenarnya lebih penting dari itu dan tidak saya sadari adalah perjuangan dan kerja keras untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang ‘mendekati’ benar. Saya masih ingat begitu membosankannya memandangi teks manuskrip berkali-kali hanya untuk memeriksa apakah gagasan yang disampaikan jelas dan bahasanya tidak terbelit-belit. Penyakit saya waktu itu adalah selalu ingin menampilkan semua data atau informasi yang saya dapatkan tanpa melihat tingkat pentingnya informasi. Namun, sekali lagi, itulah sebuah proses. Ketika sebuah keberhasilan telah diraih, maka hal itu akan menjadi pemicu semangat untuk berkarya lagi. Satu dua karya tulis lagi saya susun dan ikutsertakan dalam lomba. Sayangnya, tidak pernah juara lagi!

Proses belajar menulis terus berlanjut di tingkat mahasiswa. Hanya saja saya merasa sedikit terbatasi karena tidak banyak lomba karya tulis ilmiah yang mengangkat tema bidang teknik mesin yang saya tekuni selama kuliah. Mengambil resiko menulis di bidang lain yang banyak menawarkan lomba menulis akhirnya menjadi pilihan saya. Kali ini saya berhasil lagi. Saya adalah mahasiswa teknik mesin saat itu, tetapi saya bisa meraih juara 1 lomba karya tulis tingkat propinsi bertemakan tata kota pada saat duduk di semester 3. Saya diuntungkan dengan keberadaan perpustakaan fakultas yang menyediakan buku-buku bertema tata lingkungan untuk mahasiswa arsitektur. Peduli amat dengan jurusan kuliah saya, pikir saya waktu itu, yang penting kegemaran tersalurkan, kemampuan menulis meningkat, percaya diri muncul dan -yang lebih penting lagi- ada tambahan uang saku dari hasil menulis. Termotivasi hal ini, saya semakin rajin mengkuti berbagai lomba karya tulis ilmiah meski topiknya semakin ‘tidak nyambung’, tidak relevan, dengan bidang ilmu teknik mesin yang saya pelajari. Akibatnya, saya lebih sering mendapatkan predikat sebagai peserta saja, bukan sang juara. Dari sinilah saya belajar lagi, bahwa ‘mengingkari’ minat studi saya dan ‘menjual kemampuan’ menulis hanya demi predikat juara dan uang hadiahnya ternyata bukanlah jalan yang tepat untuk saya tempuh. Tercatat hanya ada satu lomba yang mendekati bidang ilmu saya, yakni tentang transportasi dan perhubungan, yang diselenggarakan secara nasional oleh departemen perhubungan. Namun, tulisan tersebut hanya berbuah sertifikat penghargaan sebagai peserta saja. Dengan pengalaman ini, saya pun akhirnya menganggukkan sebuah pendapat bahwa menulis ilmiah itu adalah memaparkan sebuah idealisme, gagasan dan pemikiran yang muncul dari lubuk hati terdalam. Prestasi yang pernah saya raih pada saat menulis tentang tata kota memang sebuah perkecualian. Adalah imajinasi saya setelah melihat gambar-gambar indahnya kota-kota di Eropa di buku yang mendorong saya menulis dengan sepenuh hati tentang konsep kota idaman. Imajinasi tersebut membawa saya seolah sedang menulis di taman-taman kota-kota yang indah dan bersih di Eropa, yang dilengkapi dengan fasilitas jalur sepeda dan pedestrian area-nya yang sungguh nyaman. Sangat mudah mendeskripsikannya, karena saya merasa ‘berada’ di tempat tersebut. Sangat berbeda dengan apa yang pernah saya tulis untuk tujuan hanya mendapatkan hadiah uang sebagai imbalan juara, sementara tidak ada mimpi, imajinasi dan idealisme tentang apa yang ditulis. Meski demikian, tetap tidak ada yang sia-sia. Gagal dan gagal dalam pergulatan membuat tulisan ilmiah selama masa kuliah membuat saya lebih mudah dalam menulis skripsi. Bahkan, atas saran dan bimbingan dosen pemibimbing saya, skripsi sarjana saya bisa diterbitkan menjadi dua naskah publikasi ilmiah di jurnal nasional. Suatu hal yang sangat memuaskan di akhir masa kuliah S1 saya. 

Aktivitas menjadi staf pengajar junior dan melanjutkan studi S2 membuat saya semakin keranjingan menulis makalah. Selain mencoba menulis makalah untuk presentasi seminar nasional, saya mulai belajar menggunakan bahasa Inggris dalam menulis makalah. Tentu, tidak sempurna di sana sini, entah pada cara menyampaikan gagasan, memaparkan hasil dan penggunaan bahasa Inggris yang berasa aneh bila dibaca pada saat ini.

Adalah peran dari kawan senior di tempat saya bekerja yang sangat membantu dalam memperbaiki tulisan-tulisan ilmiah saya. Jika sebelumnya struktur dalam makalah atau tulisan saya boleh dibilang sering kabur dan tidak jelas, maka dengan bimbingan kawan saya itu saya menjadi lebih paham dalam merumuskan isi suatu makalah atau tulisan ilmiah. Lambat laun seiring dengan semakin banyaknya tulisan ilmiah yang bisa saya selesaikan, semakin lancar pula dalam merumuskan gagasan, mengkaitkan kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya menjadi karya yang lebih enak dibaca dan dinikmati. Puncaknya adalah di tahun 2011, ketika untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya, tulisan ilmiah saya diterima dan dipublikasikan di Materials Chemistry and Physics, sebuah jurnal internasional dengan reputasi yang cukup baik di bidang ilmu material. Akhir tahun 2011, artikel tersebut terpilih menjadi The Best International Publication pada Malam Penghargaan bagi Insan Berprestasi Universitas Gadjah Mada; menempatkan saya yang masih bergelar S2 bersanding dan berdiri bersama dengan para senior yang sudah menyandang gelar doktor maupun profesor. 

Saya (nomor 4 dari kanan) bersama Rektor UGM dan para penerima penghargaan pada Malam Penghargaan bagi Insan UGM Berprestasi 2011 (Foto kiriman dari seorang kawan di LPPM, UGM)

Senang, bahagia dan puas rasanya setelah melalui sebuah perjuangan dan proses yang sangat panjang untuk bisa menulis. Yang lebih memuaskan lagi adalah ketika melihat artikel publikasi internasional pertama yang saya tulis itu kini telah menjadi rujukan atau di-sitasi oleh beberapa artikel yang ditulis para peneliti lain di dunia. Semua itu semakin membuat saya bersemangat menulis yang lebih baik lagi, bukan untuk uang maupun sanjungan, tetapi sebuah kepuasan yang tak tergantikan. 

Senin, 28 Oktober 2013

Menembus Program Doktor di Belanda dengan Modal Publikasi Ilmiah

Cerita ini terjadi sekitar dua tahun yang lalu, namun mimpi yang mewujud dalam sebentuk cita-cita untuk menimba ilmu di Eropa sudah saya bangun hampir 10 tahun silam. Delapan tahun yang lalu, keinginan untuk studi lanjut di Belanda mekar di hati saya semenjak lulus sarjana teknik di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, gelar sarjana yang bisa saya selesaikan tepat waktu dengan indeks prestasi yang lebih dari sekedar memuaskan, tidak menjadi jaminan cita-cita tersebut terwujud dengan segera.

Tidak lama setelah lulus S1, saya bekerja sebagai staf pengajar muda di kampus almamater saya. Saat itu, ada aturan yang mengharuskan staf baru lulusan S1 harus mendapatkan sekolah S2 dalam waktu dua tahun. Jika tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut, staf yang bersangkutan akan dievaluasi dan tidak akan diperpanjang kontraknya. Terjepit dalam aturan ini, saya akhirnya ‘menyerah’ dan memutuskan untuk mengambil studi S2 di dalam negeri yang jauh lebih mudah didapat. Sebenarnya, bukan tidak mungkin bila saya saat itu terus berfokus untuk mencari beasiswa dan peluang studi di luar negeri, tetapi mempertimbangkan kondisi saat itu, saya tidak cukup berani bertaruh.

Lulus dari program S2, saya buka kembali lembaran-lembaran mimpi belajar ke luar negeri. Kali ini, saya bertekad harus mewujudkannya untuk program doktor (S3) yang ingin saya tempuh. Seberat apapun jalannya akan saya tempuh, walaupun harus dibayar dengan waktu tunggu yang tidak sebentar. Sudah tidak ada lagi aturan di institusi saya yang membelenggu kebebasan mencari sekolah lanjut karena syarat gelar S2 sudah saya raih. Namun, sekali lagi, kenyataan tidak semudah yang ada dalam bayangan. Lamaran yang saya kirimkan selalu ditolak dengan berbagai alasan, mulai dari proyeknya yang berubah, ketidaksesuaian antara topik proposal riset yang saya ajukan dengan keinginan calon pembimbing, hingga ketidaktersediaan beasiswanya. Satu aplikasi saya diterima oleh seorang profesor salah satu universitas di Belanda, namun saya terpental saat mengikuti seleksi beasiswanya. Jujur saja, ada pula perasaan minder yang membesit dalam hati karena status saya sebagai lulusan S2 di dalam negeri yang konon masih lekat dengan stigma masih kalah berkualitas dengan lulusan S2 luar negeri, khususnya di bidang teknik yang saya geluti.

Dua tahun setelah lulus S2, peluang mengejar mimpi studi S3 di Belanda terwujud. Senang sekali, meski dari awal saya menyadari bahwa saya sedikit melenceng dan berpindah haluan dari latar belakang studi yang saya miliki. Benar apa yang saya sadari sebelumnya, kesulitan saya beradaptasi dengan bidang baru membuat saya harus pulang dulu ke tanah air setelah satu tahun mengecap manis pahitnya menjadi seorang promovendus – sebutan bagi seorang kandidat doktor di Belanda. Yah, begitulah, saya harus kembali berjuang lagi dari nol. Namun, saya memetik pelajaran berharga. Pelajaran pertama, saya tahu pentingnya memahami diri sendiri, termasuk dalam mengejar cita-cita untuk belajar setinggi-tingginya. Saya akhirnya paham bahwa sifat alamiah saya yang cenderung fokus, tidak bisa berkompromi dengan bidang yang terlalu jauh dengan latar belakang saya. Orang lain mungkin bisa dan mudah melakukannya, tetapi bagi saya tidak. Pelajaran kedua, saya belajar tentang bagaimana bangkit dan memulai segalanya dari titik nol lagi setelah ‘belum berhasil’ dalam satu episode hidup. Pelajaran inlah yang baru bisa saya pahami setelah saya kembali lagi di Belanda untuk saat ini.

Kembali lagi memulai perjuangan menjadi laskar beasiswa dan program S3 membuat saya serius dengan aktivitas riset di institusi saya di Indonesia, meski dibayangi fasilitas yang serba terbatas. Melalui riset, saya berharap dapat memupuk rasa percaya diri dan keahlian, serta menanam modal yang nantinya bermanfaat untuk melamar program doktor dan aktivitas riset yang akan dijalani di dalamnya. Dan, ternyata pemikiran saya ini benar. Pengalaman riset saya di Indonesia sangat bermanfaat dan menjadi modal saya untuk melamar program doktor tahun 2011 silam di Technische Universiteit Delft (TU Delft), Belanda; sebuah universitas teknik besar yang sebenarnya telah saya idamkan sekian lama.

Technische Universiteit Delft (TU Delft) (Foto: dokumen pribadi)

Di Belanda, seorang mahasiswa doktoral, atau yang lebih dikenal dengan sebutan promovendus, mayoritas adalah pegawai kontrak, dimana ia dikontrak selama 4 tahun lamanya sebagai peneliti junior di laboratorium atau departemen di universitas. Lowongan untuk menjadi seorang promovendus biasanya diumumkan di website universitas yang bersangkutan atau calon supervisor/profesor yang mempunyai proyek tersebut. Jika tidak terdapat lowongan, seorang calon promovendus juga dapat berkorespondensi dengan calon supervisor/profesor yang ingin dituju untuk sekedar berkenalan atau mandapatkan informasi kemungkinan menjadi mahasiswa bimbingannya. Langkah kedua ini yang saya tempuh untuk mendapatkan kesempatan belajar di TU Delft. Tentu saja, berkorespondensi dengan calon supervisor/profesor bukanlah korespondensi sembarangan. Ada hal-hal tertentu yang harus dapat ditunjukkan agar kita berkenan di hati sang calon pembimbing. Selain kemampuan berbahasa Inggris (minimal tercermin dari bahasa tulis di e-mail) dan prestasi saat kuliah S1 dan S2, ada hal lain yang bisa ‘menaklukkan hati’ sang calon pembimbing, yakni publikasi ilmiah. Hal ini sangat beralasan karena dalam sistem pendidikan doktor di Belanda, publikasi ilmiah adalah indikator riil yang menunjukkan prestasi seorang promovendus. Tidak heran, universitas di Belanda pada umumnya mensyaratkan publikasi ilmiah mahasiswa doktoralnya di jurnal internasional yang bereputasi dengan jumlah minimal tiga sampai empat buah untuk kelulusannya; sebuah syarat yang banyak dipandang ‘mengerikan’ dan sering membuat sebagian dari kita enggan memilih Belanda sebagai tujuan studi. Namun, inilah esensi sebuah pendidikan doktoral dimana kita dilatih untuk membuat karya yang bermanfaat melalui tulisan. Eksistensi sebagai peneliti pun akan diakui di komunitas bidang yang ditekuni bilamana karya tulis itu ada dan menjadi rujukan.

Pengalaman riset dan publikasi ilmiah yang pernah saya lakukan di Indonesia ternyata berbuah manis pada saat saya melamar posisi sebagai promovendus kepada calon pembimbing saya saat itu. Selain mengirimkan curriculum vitae dan motivation letter, saya sertakan dua artikel publikasi ilmiah saya yang telah diterbitkan beberapa bulan sebelumnya. Hanya dua. Tetapi, saya cukup percaya diri karena keduanya diterbitkan di jurnal internasional yang mempunyai reputasi bagus di bidang yang saya tekuni. Bagaimana respon calon pembimbing saya saat itu? Alhamdulillah, hasil kerja saya langsung direspon dengan baik, bahkan dinilai berkualitas melihat impact factor jurnalnya. Meski demikian, awalnya calon pembimbing saya sempat pesimis menerima saya karena alasan finansial akibat krisis di Eropa saat itu. Namun, saya mengajukan diri untuk mencari beasiswa DIKTI dari Indonesia. Calon pembimbing saya pun setuju dan meminta saya segera mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti sertifikat TOEFL/IELTS, pengantar dari pembimbing sebelumnya serta salinan ijazah-ijazah pendidikan saya sebelumnya untuk menerbitkan acceptance letter. Dengan demikian, satu tahap telah saya lalui. Namun ada tahap lain yang harus saya lalui, yakni mencari dan memastikan saya bisa mendapatkan beasiswa untuk mendukung studi yang akan saya jalani.

Saya (paling kiri, berjaket merah-hitam) bersama mahasiswa Indonesia di Delft selepas acara kolokium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Central Library TU Delft (Foto: dokumen pribadi)

Perjuangan mendapatkan beasiswa dari DIKTI ternyata juga menjadi pengalaman tersendiri. Meskipun boleh dikatakan berpeluang, kebimbangan kerap menyelimuti saya karena tidak ada jaminan yang menjadikan reviewer DIKTI ‘takluk’ dan serta merta beasiswa jatuh pada saya. Sesuai aturannya, formulir aplikasi saya penuhi, termasuk publikasi terkini yang menjadi persyaratannya. Kembali, saya lampirkan lagi publikasi ilmiah saya di jurnal internasional, yang saat itu ternyata sudah bertelur satu lagi sehingga menjadi tiga buah. Dengan modal ini, saya menjadi lebih percaya diri. Alhamdulillah, proses interview juga dapat saya lalui. Pertanyaan-pertanyaan yang mencecar saya seputar riset yang akan dijalani dapat saya jawab dengan mudah dan meyakinkan tim reviewer, karena proposal riset yang saya ajukan adalah pengembangan hasil penelitian yang dimuat dalam artikel publikasi yang saya tulis. Artikel-artikel tersebut menjadi bukti bahwa apa yang saya lakukan itu realistis dan proposal riset yang dibuat tidak mengada-ada. Hal inilah yang bisa membuat reviewer mengakui dan ‘tertaklukkan’. Saya masih ingat sebuah joke dari salah satu reviewer bahwa dengan track record riset dan publikasi yang saya buat, beliau tidak keberatan langsung menerima saya sebagai mahasiswa doktoralnya. Tidak lama berselang, penerima program beasiswa DIKTI luar negeri diumumkan dan nama saya jelas tercantum di surat pengumuman tersebut. Selesai sudah perjuangan mendapatkan beasiswa, meskipun saya juga menyadari perjuangan yang lain baru saja dimulai. Lega dan puas rasanya dapat mewujudkan impian dengan jerih payah, kerja keras dan keahlian yang dibangun sendiri. Singkatnya, selain doa, publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi dapat dijadikan senjata ampuh untuk menaklukkan calon pembimbing dan reviewer dalam proses aplikasi beasiswa. Selain berujung pada kemudahan dalam mendapatkan pembimbing dan beasiswa, pengalaman menulis artikel di jurnal internasional pada akhirnya juga membantu saya meningkatkan skor TOEFL dan IELTS, sehingga nilainya melampaui batas minimum yang disyaratkan.

Cerita Lebaran Kami di Delft

Di negeri kami, Indonesia, Idul Fitri merupakan sebuah fenomena tersendiri. Lebaran, begitu orang-orang menyebut hari raya itu, adalah sebuah momentum penting yang telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia. Libur panjang, mudik, silaturahim, bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara dan kawan lama di kampung halaman, adalah sebagian dari banyak hal yang menggambarkan apa itu lebaran. Tentu saja, kebahagiaan dan suasana riang gembira tersirat di dalamnya. Sungguh berbeda dengan apa yang terjadi di negeri seberang, dimana lebaran bukanlah suatu hal yang spesial, bahkan tidak dikenal dan tidak dimengerti secara luas oleh warga setempat di negara tersebut. Sebut saja Belanda salah satunya. Tidak ada ‘tanggal merah’ bagi yang merayakan lebaran, apalagi cuti bersama. Mudik ke Indonesia untuk bertemu dengan keluarga dan merayakan lebaran bersama juga bukan hal yang mudah dilakukan. Selain tidak ada libur nasional, ongkos untuk terbang menuju Indonesia pun tidak murah. Jadilah, tidak ada pilihan bagi sebagian masyarakat Indonesia yang sedang studi atau bekerja di Belanda, kecuali menikmati lebaran dengan segala ‘keterbatasan’ yang ada. Namun, kami punya sebuah cerita, cerita tentang lebaran kami di Delft, sebuah kota yang tidak besar tetapi menjadi salah satu tempat studi paling favorit bagi banyak mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada hari lebaran tahun ini, yang bertepatan dengan 8 Agustus 2013, Kota Delft tidak ubahnya seperti hari-hari biasanya. Warga setempat menjalani aktivitas rutin dan pekerjaan hariannya. Hanya saja, kehidupan di kampus dan sekolah masih sepi, karena liburan musim panas baru akan berakhir di penghujung Agustus nanti. Cuaca di pagi harinya cukup cerah dan sejuk dengan temperatur bertengger di angka 16 derajat celcius. Lebaran bagi warga masyarakat Indonesia di Kota Delft, yang mayoritas adalah pelajar Indonesia di Technische Universiteit Delft (TU Delft) dan UNESCO-IHE Institute for Water Education, diisi dengan mengadakan sholat Ied bersama dan serangkaian acara keakraban. Kegiatan yang diprakarsai oleh Keluarga Muslim Delft (KMD) tersebut diselenggarakan dengan menyewa sebuah gelanggang olahraga yang terletak di kawasan Aart van der Leewlaan, Delft. Oleh panitia, gelanggang tersebut ‘disulap’ menjadi sebuah tempat sholat dan tempat silaturahim yang nyaman. Tidak hanya para pelajar Indonesia, para alumni serta masyarakat Indonesia yang bekerja maupun berdomisili di Kota Delft dan sekitarnya juga hadir mengikuti acara tersebut.




Seperti lazimnya sholat Ied dilakukan di Indonesia, acara didahului dengan takbir bersama sembari menunggu khotib dan panitia mempersiapkan pelaksanaannya. Imam dan khotib dalam sholat Ied ini adalah Ustadz Winarna. Dalam khutbahnya usai sholat Ied, Ustadz Winarna mengajak para hadirin untuk mengevaluasi diri atas apa yang telah dikerjakan selama Ramadhan yang baru saja berlalu. Bulan Ramadhan, seperti penuturan Ustadz Winarna, adalah bulan pendidikan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan, pendidikan dalam keluarga adalah hal pertama yang harus dilakukan. Seusai rangkaian sholat Ied dijalankan, acara berlanjut dengan halal-bil-halal dan ramah tamah.







Lebaran bersama seperti ini tidak saja membuat suasana Idul Fitri di Delft ini meriah, tetapi juga menjadi obat rindu masakan tanah air yang tentu saja sesuatu yang langka di negeri oranye ini. Berbagai hidangan dengan menu Indonesia dipersiapkan oleh ibu-ibu yang tergabung dalam KMD, seperti rendang, opor ayam, sayur lontong, telur balado, sambal goreng kentang, ayam kari dan sebagainya. Menutup rangkaian acara lebaran bersama ini, digelar pertunjukan kreasi murid Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ) Tulip yang juga diasuh oleh KMD untuk memfasilitasi pendidikan agama bagi anak-anak Indonesia di Delft dan sekitarnya. Meski digelar di atas panggung yang sederhana, semangat anak-anak tidak surut dalam melantunkan hafalan surat-surat pendek dalam Al-Quran dan lagu-lagu Islami, seperti InsyaAllah dan Assalamu’alaikum. Sekitar pukul 12 siang acara lebaran bersama ini ditutup. Inilah cerita lebaran kami di Delft.

Delft, 1 Syawal 1434H/8 Agustus 2013

*Repost artikel Kompasiana, 9 Agustus 2013

Publikasi Internasional Bermodal Hasil Riset di Indonesia: Mengapa Tidak?

Sudah bukan menjadi rahasia lagi di dunia akademik bahwa publikasi ilmiah adalah salah satu perwujudan karya dan identitas bagi seorang peneliti maupun dosen. Publikasi ilmiah biasanya berupa tulisan dalam bentuk paper yang dimuat dalam jurnal atau berkala ilmiah. Sebagai bagian dari komunitas ilmuwan di dunia, peneliti dan dosen di Indonesia hendaknya juga harus dan mampu berkontribusi dengan publikasi hasil-hasil risetnya dalam jurnal internasional sesuai bidang yang ditekuninya. Tanpa publikasi di tingkat internasional, dunia akademik dan ilmiah di Indonesia akan sulit dikenal di forum dunia. Meski demikian, publikasi internasional masih saja dianggap sebagai suatu hal yang berat dan sulit untuk dilakukan. Sebagian peneliti dan dosen banyak yang enggan melakukannya, sehingga jumlah publikasi ilmiah yang berbasis riset di Indonesia dan ditulis oleh orang Indonesia juga terbatas jumlahnya. Data statistik dari Scimago Lab., sebuah website mengenai jurnal internasional (http://www.scimagojr.com/countryrank.php), di tahun 2012 lalu menunjukkan posisi Indonesia yang masih berada di peringkat 61; dua dan enam angka di atas Bangladesh dan Vietnam. Sementara itu, Singapura, Malaysia dan Thailand masing-masing berada di peringkat 32, 40 dan 43 dunia. Sementara itu, USA dan China berada di peringkat 1 dan 2 dunia. Kita tertinggal jauh, bahkan dengan negara tetangga kita sekalipun. Sayang sekali, mengingat sebenarnya tidak sedikit karya-karya penelitian made in Indonesia yang sebenarnya sangat layak menjadi konsumsi ilmuwan internasional.

Indonesia berada di peringkat ke-61 berdasarkan data statistik tahun 1996-2012 dari Scimago Lab.
(sumber gambar: www.scimagojr.com)

Bahasa adalah kendala utama yang selalu menjadi penghalang untuk publikasi internasional. Selain itu, keraguan akan kehandalan data yang dihasilkan juga seringkali muncul karena penelitian dilakukan dengan peralatan yang sederhana dan fasilitas terbatas di laboratorium-laboratorium di Indonesia. Partisipasi aktif peneliti maupun dosen Indonesia dalam publikasi internasional sebenarnya terlihat ketika mereka sedang studi lanjut, terutama di universitas luar negeri yang menjadikan paper di jurnal internasional sebagai syarat kelulusannya. Namun, tidak jarang dijumpai keaktifan ini meredup setelah yang bersangkutan lulus dan kembali bekerja di tanah air. Hal ini juga disayangkan. Publikasi internasional selalu mencantumkan institusi asal dimana kita melakukan penelitian, sehingga institusi tempat kita studi-lah yang nantinya dikenal lewat tulisan tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak kita melakukan publikasi internasional melalui institusi kita di tanah air, maka nama Indonesia akan semakin berkibar di kancah ilmiah internasional.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tidak ada kata lain kecuali segera memulai publikasi internasional dengan kemampuan apapun yang kita miliki saat ini. Pola pikir dan memandang tentang riset di Indonesia harus kita ubah. Walau minim fasilitas riset, publikasi internasional dengan modal riset di Indonesia bisa dilakukan dengan ide atau gagasan yang baru, orisinil, inovatif dan kreatif. Bagi saya, Indonesia adalah sebuah negara yang kaya, baik sumber daya alam maupun manusia. Bahkan, keterbatasan teknologi yang ada saat ini dapat diangkat menjadi sebuah topik riset. Sebagai contoh, bagaimana membuat produk berkualitas sesuai standar dunia namun dengan teknik dan peralatan lokal yang terbatas. Bagi negara maju, membuat produk berkualitas bukanlah kendala karena didukung peralatan, riset bahkan suntikan dana yang besar. Namun, bagi kita adalah sebuah permasalahan yang harus dipecahkan.

Bahasa sebenarnya bukan kendala utama. Lihatlah China dan Jepang yang konsisten dengan bahasa ibu mereka, tetapi tetap mampu eksis di kancah publikasi internasional (Cina berada di peringkat 2 dan Jepang di peringkat 4 dunia dalam produktivitas publikasi internasional versi Scimago). Jadi, tidak perlu minder untuk segera ambil bagian dalam publikasi internasional. Bahkan, banyak diantaranya justru terasah kemampuan berbahasa Inggris-nya karena kesungguhan dan ketekunan menulis sebuah manuskrip untuk publikasi internasional. Menulis tak ubahnya mengukir apa-apa yang kita tulis dalam otak kita, sehingga semakin terstruktur tulisan berbahasa Inggris kita, semakin baik pula kemampuan ketrampilan berbahasa kita.

Akhirnya, publikasi internasional memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil dilakukan. Tidak jarang yang mundur menghadapi penolakan, rejection, dari editor atas manuskrip yang kita kirimkan. Namun tidak ada jalan lain, selain terus dan terus berusaha dan berdoa. Kesungguhan dan sikap pantang putus asa sangat diperlukan, terutama bagi para peneliti dan dosen yang baru memulainya. Semoga menginspirasi.

*Repost artikel Kompasiana, 12 Januari 2013

Minggu, 27 Oktober 2013

Miniseri “The Arrow”: Kisah Si Anak Panah Sakti yang Senasib dengan Gatotkaca

Film Habibie dan Ainun yang dirilis akhir tahun 2012 lalu ternyata mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Film berdurasi dua jam yang berkisah tentang kehidupan mantan Presiden B.J. Habibie bersama almarhum Ibu Ainun Habibie itu setidaknya telah menyedot 4 juta penonton Indonesia (hot.detik.com, Juni 2013). Tidak sedikit tulisan, review maupun komentar yang menyebut bahwa film ini mengesankan, menguras air mata dan mampu menggerakkan emosi penontonnya. Tidak hanya pada kisah romantis Pak Habibie dan Bu Ainun, tetapi juga kisah si Gatotkaca yang gagal menjadi primadona udara karena krisis ekonomi dan politik Indonesia penghujung tahun 90an. Diceritakan pada saat itu, IPTN sebagai industri dirgantara satu-satunya di Indonesia yang menelurkan N-250 Gatotkaca, harus kolaps dan jatuh, seiring dengan pergolakan politik yang tak kunjung usai. Bahkan, yang menyedihkan, tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk menjadikan industri kebanggaan nasional di era orde baru itu sehat dan berjaya kembali. Padahal, banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan dan manfaat dari industri strategis itu. IPTN dan proyek N-250 Gatotkaca, yang pada saat itu merupakan pesawat tercanggih di kelasnya, harus dihentikan sebagai syarat mendapatkan dana bantuan dari IMF. Tidak banyak negara di dunia ini yang mampu mendirikan industri pesawat terbang. Boleh dibilang, Indonesia beruntung memiliki IPTN (yang akhirnya berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia di awal tahun 2000an). Namun apa boleh buat, kenyataan sudah terjadi. Insinyur-insinyur hebat di industri pesawat terbang itu kini banyak yang ‘terbang’ ke luar negeri dan menjadi tenaga ahli penerbangan untuk negara asing. Tidak bisa disalahkan juga, karena tidak ada penghargaan dan kesempatan berkarya lagi bagi mereka di tanah air.


N-250 Gatotkaca (sumber gambar: wikipedia)
Kisah mirip dengan si Gatotkaca ini sebenarnya pernah diangkat dalam sebuah miniseri berjudul “The Arrow” yang diproduksi CBC Television, Kanada pada tahun 1997. Miniseri berdurasi total hampir 3 jam itu bercerita tentang industri pesawat terbang Avro Kanada (A.V.Roe Canada) dan program pesawat CF-105 Arrow, sebuah pesawat tempur yang diprediksi menjadi pencegat terhebat di tahun 50-an. Film ini pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia di tahun 1999; terbagi dalam 4 kali masa tayang.

Cerita bermula dari keinginan angkatan udara Kanada, Royal Canadian Air Force, untuk memiliki pesawat pencegat baru di era tahun 50-an dimana perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mulai memanas. Kala itu, ancaman bom nuklir dari Uni Sovyet melalui jalur udara dengan sasaran Amerika membayangi Kanada, mengingat lokasi geografisnya yang potensial dilalui armada udara Uni Sovyet dari kutub utara. Militer Kanada yang waktu itu hanya diperkuat armada jet tempur konvensional berkecepatan rendah membutuhkan pesawat tempur yang lebih mumpuni untuk mempertahankan teritorialnya apabila serangan dari Uni Sovyet terjadi. Setelah melalui diskusi panjang yang dilakukan di kalangan petinggi pemerintahan Kanada, muncullah gagasan untuk membuat sebuah pesawat tempur baru berkecepatan supersonik dan kemampuan yang jauh lebih hebat dibandingkan jet-jet tempur era tersebut. Tercetuslah program pembuatan pesawat tempur berkode CF-105 dengan julukan ‘Arrow’. Industri lokal digerakkan. Avro Canada yang di masa itu merupakan satu-satunya industri pesawat terbang Kanada digandeng. Avro Canada saat itu telah berhasil menelurkan beberapa produk pesawat terbang baik tempur maupun sipil, seperti CF-100 Canuck dan Avro Anson. Program perancangan, pembuatan dan uji coba pesawat baru Kanada itu pun segera dilakukan di pabrik ini. Singkat cerita, program berhasil dilakukan sampai pada tahap uji coba terbang dan dirilis di depan publik Kanada, meskipun persoalan dan intrik juga dilukiskan dalam film tersebut. Avro juga berhasil mengembangkan mesin sendiri untuk pesawat tersebut, meski pada akhirnya urung diujicobakan. Bangga. Itulah mungkin yang coba digambarkan dalam film itu melalui sorak sorai publik Kanada saat pesawat itu berhasil terbang. Sama seperti kita melihat terbangnya Gatotkaca 18 tahun silam.

Sayang, Avro Canada akhirnya ditutup pada saat program Arrow mulai menunjukkan hasil yang spektakuler. Pergantian pemerintahan di Kanada membuat dana tidak lagi dikucurkan karena alasan prioritas untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, Amerika juga disebut-sebut turut campur tangan lewat politisi Kanada agar program Arrow tersebut dibatalkan. Alasannya, Amerika menilai persenjataan era tahun 50 dan 60an akan bergeser pada sistem misil dan rudal, bukan lagi pesawat tempur berawak. Paket misil Bomarck pun ditawarkan kepada pemerintah Kanada, sebagai ganti untuk menutup program Arrow. Tetapi tentu saja bisa ditebak; keberadaan Avro Canada dengan CF-105 Arrow-nya yang hebat-lah yang dikhawatirkan Amerika akan mengganggu industri dirgantaranya.

Miniseri The Arrow (sumber gambar: wikipedia)
Suatu hari pada tahun 1959 dikenal sebagai Black Friday bagi Avro Canada. Empat belas ribu karyawan di-PHK akibat ditutupnya Avro Canada dan dihentikannya program Arrow. Prototip Arrow yang seluruhnya berjumlah enam buah harus di-scrap, dipotong-potong bak rongsokan. Di akhir cerita, sebuah Arrow berhasil diselamatkan dan disembunyikan. Ratusan insinyur Kanada kemudian pergi keluar negaranya; mencari industri-industri di luar negeri yang bisa menampung keahlian mereka. Jim Chamberlin, sang perancang Arrow, akhirnya diceritakan pindah ke NASA. Ia mengepalai proyek roket Gemini dan Apollo milik Amerika untuk misi ke bulan. Rekan kerjanya, James Floyd menjadi senior designer pesawat supersonik pertama di dunia, Concorde. Selain mereka, masih banyak insinyur Kanada yang juga menjadi tokoh-tokoh sentral dalam pengembangan kedirgantaraan Amerika.

Avro CF-105 Arrow (sumber gambar: wikipedia)
Kiranya apa yang digambarkan dalam film The Arrow ini mirip dengan yang terjadi dengan Indonesia, IPTN dan Gatotkaca. Kita pernah memiliki program pesawat terbang yang melebihi jamannya, sama seperti Arrow yang mampu memecahkan banyak rekor di dunia penerbangan. Banyak insinyur dan generasi terpelajar kita yang akhirnya tidak termanfaatkan karena tidak ada fasilitas di dalam negeri setelah industri tersebut kolaps. Dan akhirnya, kita hanya menjadi konsumen produk pesawat terbang asing, padahal kita mampu membuatnya. Tentu kita masih ingat, belum lama ini maskapai swasta di Indonesia memecahkan rekor jumlah pembelian Boeing 737 seri terbaru dari Amerika. Padahal pesawat tersebut setipe dengan N-2130 yang akan dikerjakan IPTN tidak lama setelah program N-250 usai. Namun, ia harus kandas juga dan hanya sebatas menjadi rancangan. Kanada pun demikian. Di akhir film tersebut disebutkan bahwa Kanada mengimpor F/A-18 Hornet buatan Amerika yang ternyata performanya masih di bawah Arrow yang mereka kembangkan 20 tahun sebelumnya. Sejarah telah mengajarkan kepada kita. Semoga kisah Gatotkaca dan Arrow menjadi pelajaran untuk masa depan industri dan dirgantara Indonesia.

*Repost artikel Kompasiana, 13 Januari 2013

Menghimpun dan mengikat yang terserak dalam hati, pikiran dan perkataan



Selamat datang dan terima kasih atas kunjungan Anda di blog saya ini. Blog ini tidak lebih dari sekedar catatan pribadi yang menghimpun dan mengikat segala sesuatu yang terserak dalam hati, pikiran dan perkataan saya.

Sekitar satu dekade silam, saya pernah membaca sebuah buku yang cukup mengesankan bagi saya. Buku berjudul "Mengikat Makna" buah pikiran dari Hernowo, salah satu penulis Indonesia yang mempopulerkan pentingnya menulis, berkisah tentang bagaimana tulisan dapat menjadi sebuah pengikat ide, gagasan dan pemikiran yang selalu muncul setiap detik kehidupan. Dan, memang benar! Pengalaman hidup saya selama ini membuktikan bahwa tulisan-tulisan saya telah membuat apa-apa yang terserak dalam hati, pikiran dan perkataan menjadi terhimpun dan terikat, tidak lantas lepas dan hilang ditelan detik-detik kehidupan selanjutnya. Hingga pada akhirnya, tulisan-tulisan itulah yang mendewasakan cara berpikir saya, meruntutkan cara saya menyampaikan informasi dan seringkali menjadi inspirasi bagi orang lain. Saya pun teringat dengan tulisan seorang kawan: blog atau buku adalah tempat menulis sebebas-bebasnya, tidak terbatasi oleh kekangan aturan seperti dalam jurnal ilmiah maupun kehangatan isu seperti di media masa.

Demikianlah, dua hal di atas adalah alasan saya membuat blog sederhana ini. Tidak ada harapan besar menjadikan tulisan-tulisan di dalamnya populer, tetapi setidaknya dapat menjadi tonggak-tonggak pengingat bahwa hati, pikiran dan perkataan saya pernah bergulat dengan apa-apa yang tertulis di dalamnya. Blog ini terdiri dari tiga bagian utama, yang mewakili interest saya selama ini, yakni Artikel, Fotografi dan Publikasi Ilmiah. Kolom Artikel berisi tentang tulisan-tulisan santai saya berdasarkan pengalaman maupun pemikiran saya. Kolom Fotografi terkoneksi dengan akun Instagram saya untuk memudahkan pengunjung melihat koleksi foto-foto hasil bidikan kamera saya. Kolom Publikasi Ilmiah sengaja saya tambahkan sebagai referensi tulisan-tulisan saya yang tergolong 'serius'. 

Akhir kata, selamat menikmati.

Budi Arifvianto