Senin, 28 Oktober 2013

Publikasi Internasional Bermodal Hasil Riset di Indonesia: Mengapa Tidak?

Sudah bukan menjadi rahasia lagi di dunia akademik bahwa publikasi ilmiah adalah salah satu perwujudan karya dan identitas bagi seorang peneliti maupun dosen. Publikasi ilmiah biasanya berupa tulisan dalam bentuk paper yang dimuat dalam jurnal atau berkala ilmiah. Sebagai bagian dari komunitas ilmuwan di dunia, peneliti dan dosen di Indonesia hendaknya juga harus dan mampu berkontribusi dengan publikasi hasil-hasil risetnya dalam jurnal internasional sesuai bidang yang ditekuninya. Tanpa publikasi di tingkat internasional, dunia akademik dan ilmiah di Indonesia akan sulit dikenal di forum dunia. Meski demikian, publikasi internasional masih saja dianggap sebagai suatu hal yang berat dan sulit untuk dilakukan. Sebagian peneliti dan dosen banyak yang enggan melakukannya, sehingga jumlah publikasi ilmiah yang berbasis riset di Indonesia dan ditulis oleh orang Indonesia juga terbatas jumlahnya. Data statistik dari Scimago Lab., sebuah website mengenai jurnal internasional (http://www.scimagojr.com/countryrank.php), di tahun 2012 lalu menunjukkan posisi Indonesia yang masih berada di peringkat 61; dua dan enam angka di atas Bangladesh dan Vietnam. Sementara itu, Singapura, Malaysia dan Thailand masing-masing berada di peringkat 32, 40 dan 43 dunia. Sementara itu, USA dan China berada di peringkat 1 dan 2 dunia. Kita tertinggal jauh, bahkan dengan negara tetangga kita sekalipun. Sayang sekali, mengingat sebenarnya tidak sedikit karya-karya penelitian made in Indonesia yang sebenarnya sangat layak menjadi konsumsi ilmuwan internasional.

Indonesia berada di peringkat ke-61 berdasarkan data statistik tahun 1996-2012 dari Scimago Lab.
(sumber gambar: www.scimagojr.com)

Bahasa adalah kendala utama yang selalu menjadi penghalang untuk publikasi internasional. Selain itu, keraguan akan kehandalan data yang dihasilkan juga seringkali muncul karena penelitian dilakukan dengan peralatan yang sederhana dan fasilitas terbatas di laboratorium-laboratorium di Indonesia. Partisipasi aktif peneliti maupun dosen Indonesia dalam publikasi internasional sebenarnya terlihat ketika mereka sedang studi lanjut, terutama di universitas luar negeri yang menjadikan paper di jurnal internasional sebagai syarat kelulusannya. Namun, tidak jarang dijumpai keaktifan ini meredup setelah yang bersangkutan lulus dan kembali bekerja di tanah air. Hal ini juga disayangkan. Publikasi internasional selalu mencantumkan institusi asal dimana kita melakukan penelitian, sehingga institusi tempat kita studi-lah yang nantinya dikenal lewat tulisan tersebut. Dengan kata lain, semakin banyak kita melakukan publikasi internasional melalui institusi kita di tanah air, maka nama Indonesia akan semakin berkibar di kancah ilmiah internasional.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Tidak ada kata lain kecuali segera memulai publikasi internasional dengan kemampuan apapun yang kita miliki saat ini. Pola pikir dan memandang tentang riset di Indonesia harus kita ubah. Walau minim fasilitas riset, publikasi internasional dengan modal riset di Indonesia bisa dilakukan dengan ide atau gagasan yang baru, orisinil, inovatif dan kreatif. Bagi saya, Indonesia adalah sebuah negara yang kaya, baik sumber daya alam maupun manusia. Bahkan, keterbatasan teknologi yang ada saat ini dapat diangkat menjadi sebuah topik riset. Sebagai contoh, bagaimana membuat produk berkualitas sesuai standar dunia namun dengan teknik dan peralatan lokal yang terbatas. Bagi negara maju, membuat produk berkualitas bukanlah kendala karena didukung peralatan, riset bahkan suntikan dana yang besar. Namun, bagi kita adalah sebuah permasalahan yang harus dipecahkan.

Bahasa sebenarnya bukan kendala utama. Lihatlah China dan Jepang yang konsisten dengan bahasa ibu mereka, tetapi tetap mampu eksis di kancah publikasi internasional (Cina berada di peringkat 2 dan Jepang di peringkat 4 dunia dalam produktivitas publikasi internasional versi Scimago). Jadi, tidak perlu minder untuk segera ambil bagian dalam publikasi internasional. Bahkan, banyak diantaranya justru terasah kemampuan berbahasa Inggris-nya karena kesungguhan dan ketekunan menulis sebuah manuskrip untuk publikasi internasional. Menulis tak ubahnya mengukir apa-apa yang kita tulis dalam otak kita, sehingga semakin terstruktur tulisan berbahasa Inggris kita, semakin baik pula kemampuan ketrampilan berbahasa kita.

Akhirnya, publikasi internasional memang tidak mudah, tetapi bukan hal yang mustahil dilakukan. Tidak jarang yang mundur menghadapi penolakan, rejection, dari editor atas manuskrip yang kita kirimkan. Namun tidak ada jalan lain, selain terus dan terus berusaha dan berdoa. Kesungguhan dan sikap pantang putus asa sangat diperlukan, terutama bagi para peneliti dan dosen yang baru memulainya. Semoga menginspirasi.

*Repost artikel Kompasiana, 12 Januari 2013