Minggu, 27 Oktober 2013

Miniseri “The Arrow”: Kisah Si Anak Panah Sakti yang Senasib dengan Gatotkaca

Film Habibie dan Ainun yang dirilis akhir tahun 2012 lalu ternyata mampu menarik perhatian masyarakat Indonesia. Film berdurasi dua jam yang berkisah tentang kehidupan mantan Presiden B.J. Habibie bersama almarhum Ibu Ainun Habibie itu setidaknya telah menyedot 4 juta penonton Indonesia (hot.detik.com, Juni 2013). Tidak sedikit tulisan, review maupun komentar yang menyebut bahwa film ini mengesankan, menguras air mata dan mampu menggerakkan emosi penontonnya. Tidak hanya pada kisah romantis Pak Habibie dan Bu Ainun, tetapi juga kisah si Gatotkaca yang gagal menjadi primadona udara karena krisis ekonomi dan politik Indonesia penghujung tahun 90an. Diceritakan pada saat itu, IPTN sebagai industri dirgantara satu-satunya di Indonesia yang menelurkan N-250 Gatotkaca, harus kolaps dan jatuh, seiring dengan pergolakan politik yang tak kunjung usai. Bahkan, yang menyedihkan, tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk menjadikan industri kebanggaan nasional di era orde baru itu sehat dan berjaya kembali. Padahal, banyak sekali potensi yang bisa dikembangkan dan manfaat dari industri strategis itu. IPTN dan proyek N-250 Gatotkaca, yang pada saat itu merupakan pesawat tercanggih di kelasnya, harus dihentikan sebagai syarat mendapatkan dana bantuan dari IMF. Tidak banyak negara di dunia ini yang mampu mendirikan industri pesawat terbang. Boleh dibilang, Indonesia beruntung memiliki IPTN (yang akhirnya berubah nama menjadi PT. Dirgantara Indonesia di awal tahun 2000an). Namun apa boleh buat, kenyataan sudah terjadi. Insinyur-insinyur hebat di industri pesawat terbang itu kini banyak yang ‘terbang’ ke luar negeri dan menjadi tenaga ahli penerbangan untuk negara asing. Tidak bisa disalahkan juga, karena tidak ada penghargaan dan kesempatan berkarya lagi bagi mereka di tanah air.


N-250 Gatotkaca (sumber gambar: wikipedia)
Kisah mirip dengan si Gatotkaca ini sebenarnya pernah diangkat dalam sebuah miniseri berjudul “The Arrow” yang diproduksi CBC Television, Kanada pada tahun 1997. Miniseri berdurasi total hampir 3 jam itu bercerita tentang industri pesawat terbang Avro Kanada (A.V.Roe Canada) dan program pesawat CF-105 Arrow, sebuah pesawat tempur yang diprediksi menjadi pencegat terhebat di tahun 50-an. Film ini pernah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta Indonesia di tahun 1999; terbagi dalam 4 kali masa tayang.

Cerita bermula dari keinginan angkatan udara Kanada, Royal Canadian Air Force, untuk memiliki pesawat pencegat baru di era tahun 50-an dimana perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur mulai memanas. Kala itu, ancaman bom nuklir dari Uni Sovyet melalui jalur udara dengan sasaran Amerika membayangi Kanada, mengingat lokasi geografisnya yang potensial dilalui armada udara Uni Sovyet dari kutub utara. Militer Kanada yang waktu itu hanya diperkuat armada jet tempur konvensional berkecepatan rendah membutuhkan pesawat tempur yang lebih mumpuni untuk mempertahankan teritorialnya apabila serangan dari Uni Sovyet terjadi. Setelah melalui diskusi panjang yang dilakukan di kalangan petinggi pemerintahan Kanada, muncullah gagasan untuk membuat sebuah pesawat tempur baru berkecepatan supersonik dan kemampuan yang jauh lebih hebat dibandingkan jet-jet tempur era tersebut. Tercetuslah program pembuatan pesawat tempur berkode CF-105 dengan julukan ‘Arrow’. Industri lokal digerakkan. Avro Canada yang di masa itu merupakan satu-satunya industri pesawat terbang Kanada digandeng. Avro Canada saat itu telah berhasil menelurkan beberapa produk pesawat terbang baik tempur maupun sipil, seperti CF-100 Canuck dan Avro Anson. Program perancangan, pembuatan dan uji coba pesawat baru Kanada itu pun segera dilakukan di pabrik ini. Singkat cerita, program berhasil dilakukan sampai pada tahap uji coba terbang dan dirilis di depan publik Kanada, meskipun persoalan dan intrik juga dilukiskan dalam film tersebut. Avro juga berhasil mengembangkan mesin sendiri untuk pesawat tersebut, meski pada akhirnya urung diujicobakan. Bangga. Itulah mungkin yang coba digambarkan dalam film itu melalui sorak sorai publik Kanada saat pesawat itu berhasil terbang. Sama seperti kita melihat terbangnya Gatotkaca 18 tahun silam.

Sayang, Avro Canada akhirnya ditutup pada saat program Arrow mulai menunjukkan hasil yang spektakuler. Pergantian pemerintahan di Kanada membuat dana tidak lagi dikucurkan karena alasan prioritas untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu, Amerika juga disebut-sebut turut campur tangan lewat politisi Kanada agar program Arrow tersebut dibatalkan. Alasannya, Amerika menilai persenjataan era tahun 50 dan 60an akan bergeser pada sistem misil dan rudal, bukan lagi pesawat tempur berawak. Paket misil Bomarck pun ditawarkan kepada pemerintah Kanada, sebagai ganti untuk menutup program Arrow. Tetapi tentu saja bisa ditebak; keberadaan Avro Canada dengan CF-105 Arrow-nya yang hebat-lah yang dikhawatirkan Amerika akan mengganggu industri dirgantaranya.

Miniseri The Arrow (sumber gambar: wikipedia)
Suatu hari pada tahun 1959 dikenal sebagai Black Friday bagi Avro Canada. Empat belas ribu karyawan di-PHK akibat ditutupnya Avro Canada dan dihentikannya program Arrow. Prototip Arrow yang seluruhnya berjumlah enam buah harus di-scrap, dipotong-potong bak rongsokan. Di akhir cerita, sebuah Arrow berhasil diselamatkan dan disembunyikan. Ratusan insinyur Kanada kemudian pergi keluar negaranya; mencari industri-industri di luar negeri yang bisa menampung keahlian mereka. Jim Chamberlin, sang perancang Arrow, akhirnya diceritakan pindah ke NASA. Ia mengepalai proyek roket Gemini dan Apollo milik Amerika untuk misi ke bulan. Rekan kerjanya, James Floyd menjadi senior designer pesawat supersonik pertama di dunia, Concorde. Selain mereka, masih banyak insinyur Kanada yang juga menjadi tokoh-tokoh sentral dalam pengembangan kedirgantaraan Amerika.

Avro CF-105 Arrow (sumber gambar: wikipedia)
Kiranya apa yang digambarkan dalam film The Arrow ini mirip dengan yang terjadi dengan Indonesia, IPTN dan Gatotkaca. Kita pernah memiliki program pesawat terbang yang melebihi jamannya, sama seperti Arrow yang mampu memecahkan banyak rekor di dunia penerbangan. Banyak insinyur dan generasi terpelajar kita yang akhirnya tidak termanfaatkan karena tidak ada fasilitas di dalam negeri setelah industri tersebut kolaps. Dan akhirnya, kita hanya menjadi konsumen produk pesawat terbang asing, padahal kita mampu membuatnya. Tentu kita masih ingat, belum lama ini maskapai swasta di Indonesia memecahkan rekor jumlah pembelian Boeing 737 seri terbaru dari Amerika. Padahal pesawat tersebut setipe dengan N-2130 yang akan dikerjakan IPTN tidak lama setelah program N-250 usai. Namun, ia harus kandas juga dan hanya sebatas menjadi rancangan. Kanada pun demikian. Di akhir film tersebut disebutkan bahwa Kanada mengimpor F/A-18 Hornet buatan Amerika yang ternyata performanya masih di bawah Arrow yang mereka kembangkan 20 tahun sebelumnya. Sejarah telah mengajarkan kepada kita. Semoga kisah Gatotkaca dan Arrow menjadi pelajaran untuk masa depan industri dan dirgantara Indonesia.

*Repost artikel Kompasiana, 13 Januari 2013