Selasa, 29 Oktober 2013

Jalan Panjang Menjadi Penulis

“Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Mie instan saja butuh waktu untuk memasaknya, hingga siap untuk disantap.”
Saya rasa ungkapan tersebut benar. Tidak ada yang instan dalam hidup ini. Semua membutuhkan proses. Apakah proses tersebut panjang atau pendek, lama atau sebentar, berliku atau lurus, sulit atau mudah, yang jelas semuanya adalah proses. Pun demikian dengan menulis. Menulis adalah sebuah proses, yang membutuhkan kesabaran, keuletan, sikap pantang menyerah, terbuka dan sebagainya. Saya yakin penulis-penulis besar yang kerap kita kagumi itu pasti telah melalui sebuah proses. Yang membedakan adalah jalan dari proses yang ditempuh masing-masing individu, yang tentunya tidak ada yang pernah sama. Kalaupun ada kemiripan, hal itu bukanlah berarti sama.

Setelah tiga dekade usia saya, akhirnya saya temukan bahwa menulis adalah salah satu aktivitas yang saya sukai, walaupun dalam praktiknya, lingkup topik yang sanggup saya tulis cukup spesifik nan terbatas, serta dengan gaya penulisan cenderung kaku dan tidak setiap orang bisa akrab dengannya. Saya masih ingat di sekitar tahun 2003, seorang kawan memberitahu tentang komentar salah satu editor penerbit di kota tempat tinggal saya. Pada saat itu, saya bersama beberapa kawan sedang menjalankan sebuah proyek membuat buku inovatif panduan pariwisata Kota Jogja. Terpilihlah saya menjadi penulis utamanya, dengan tugas membuat tulisan untuk mendeskripsikan tempat-tempat menarik di Jogja untuk disajikan dalam buku bertema traveling itu. Tidak susah bagi saya menyelesaikan tugas tersebut. Namun, Anda mau tahu komentar sang editor? Menurutnya, gaya tulisan saya lebih cocok untuk skripsi, bukan buku-buku untuk panduan wisata! Sejak itulah, saya seperti tertampar untuk sadar akan gaya menulis saya sendiri.

Melihat ke belakang, kemampuan menulis saya meningkat setahap demi setahap, dimulai dari kondisi sama sekali tidak bisa menulis, sering mengalami blocking dan kehabisan ide dan ujung-ujungnya sering sekali harus menyetor remasan kertas ke tong sampah. Tetapi itulah awal cerita panjang saya untuk mampu menulis. Di bangku sekolah dasar (SD), saya justru tidak suka pelajaran mengarang. Saat Tes Hasil Belajar (THB), sebutan ujian semester di jaman saya SD, saya selalu panik jika dihadapkan pada soal mengarang. Bingung. Harus mulai dari mana? Lalu menulis apa? Mungkin itulah yang bisa menggambarkan suasana hati saya saat itu. Terus terang, pada masa itu saya lebih suka menggambar. Kalaupun harus mengarang cerita, saya lebih suka membuat kartun parodi, bukan sebuah prosa apalagi puisi. Tentu saja dalam membuat kartun parodi tetap dituntut untuk membuat jalan cerita yang menarik dan lucu. Keasyikan dengan menggambar kartun membuat saya tidak begitu bermasalah dengan hal itu, namun akhirnya merasa janggal juga setelah membaca ulang cerita yang dibuat. Kembali, masuklah kertas-kertas berisi kartun-kartun parodi itu ke tong sampah karena saya anggap ‘gagal’ dan tidak lucu.

Tahun demi tahun berganti, kegemaran saya membuat kartun pun sirna terbenam dalam kegemaran yang lain. Masih seputar mengayunkan pena di atas kertas, namun bukan lagi cerita-cerita fiksi atau lucu setelah saya sadar diri saya tidak pandai berfiksi ria dan melucu. Input bacaan yang sering saya lahap saat itu juga mempengaruhi gaya saya menulis. Semenjak masa SMP dan SMA, komik atau buku cerita bukan bacaan favorit saya. Saya lebih menyukai majalah penerbangan dan buku-buku sejarah, biografi tokoh serta beberapa judul buku psikologi populer. Jika ada yang beranggapan dengan banyak membaca buku-buku seperti itu lalu langsung mahir menulis dengan tema non-fiksi dan ilmiah, ternyata itu tidak terjadi pada saya. Saya ingat bagaimana rasanya pada masa orientasi SMA dihinggapi bingung yang amat sangat berhadapan dengan tugas membuat makalah. Kata-kata tentang abstraksi, latar belakang penelitian, metodologi penelitian dan hasil penelitian sungguh terasa asing di telinga saya. Padahal di dalam kelas, kakak-kakak anggota Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) yang memandu program karya ilmiah siswa baru sepertinya sudah bersusah payah memberikan materi dan penjelasannya berulang kali. Hasilnya, saat itupun saya tidak lolos seleksi menjadi anggota KIR di SMA saya. Keanggotaan saya dalam KIR SMA lebih karena niat yang dipandang positif oleh kakak-kakak pemandu, bukan lewat jalur kualifikasi membuat karya ilmiah.

Debut saya membuat tulisan yang terbilang lumayan ilmiah dimulai pada saat awal keanggotaan KIR di SMA. Semua anggota baru diwajibkan membuat makalah atau karya tulis ilmiah untuk lomba tingkat daerah. Hasil tulisan saya? Masih sama, kacau! Tetapi, seiring berjalan dengan waktu, akhirnya saya mampu juga membuat karya tulis sederhana untuk diikutsertakan dalam event lomba tingkat daerah selanjutnya. Menjadi juara 2 dengan hadiah uang sebesar tujuh ratus rupiah dan berhasil ‘mengungguli’ karya salah satu guru di SMA saya adalah kebanggaan yang pernah saya rasakan dengan tulisan ilmiah saya saat kelas 2 SMA. Tetapi, yang sebenarnya lebih penting dari itu dan tidak saya sadari adalah perjuangan dan kerja keras untuk menghasilkan sebuah karya tulis yang ‘mendekati’ benar. Saya masih ingat begitu membosankannya memandangi teks manuskrip berkali-kali hanya untuk memeriksa apakah gagasan yang disampaikan jelas dan bahasanya tidak terbelit-belit. Penyakit saya waktu itu adalah selalu ingin menampilkan semua data atau informasi yang saya dapatkan tanpa melihat tingkat pentingnya informasi. Namun, sekali lagi, itulah sebuah proses. Ketika sebuah keberhasilan telah diraih, maka hal itu akan menjadi pemicu semangat untuk berkarya lagi. Satu dua karya tulis lagi saya susun dan ikutsertakan dalam lomba. Sayangnya, tidak pernah juara lagi!

Proses belajar menulis terus berlanjut di tingkat mahasiswa. Hanya saja saya merasa sedikit terbatasi karena tidak banyak lomba karya tulis ilmiah yang mengangkat tema bidang teknik mesin yang saya tekuni selama kuliah. Mengambil resiko menulis di bidang lain yang banyak menawarkan lomba menulis akhirnya menjadi pilihan saya. Kali ini saya berhasil lagi. Saya adalah mahasiswa teknik mesin saat itu, tetapi saya bisa meraih juara 1 lomba karya tulis tingkat propinsi bertemakan tata kota pada saat duduk di semester 3. Saya diuntungkan dengan keberadaan perpustakaan fakultas yang menyediakan buku-buku bertema tata lingkungan untuk mahasiswa arsitektur. Peduli amat dengan jurusan kuliah saya, pikir saya waktu itu, yang penting kegemaran tersalurkan, kemampuan menulis meningkat, percaya diri muncul dan -yang lebih penting lagi- ada tambahan uang saku dari hasil menulis. Termotivasi hal ini, saya semakin rajin mengkuti berbagai lomba karya tulis ilmiah meski topiknya semakin ‘tidak nyambung’, tidak relevan, dengan bidang ilmu teknik mesin yang saya pelajari. Akibatnya, saya lebih sering mendapatkan predikat sebagai peserta saja, bukan sang juara. Dari sinilah saya belajar lagi, bahwa ‘mengingkari’ minat studi saya dan ‘menjual kemampuan’ menulis hanya demi predikat juara dan uang hadiahnya ternyata bukanlah jalan yang tepat untuk saya tempuh. Tercatat hanya ada satu lomba yang mendekati bidang ilmu saya, yakni tentang transportasi dan perhubungan, yang diselenggarakan secara nasional oleh departemen perhubungan. Namun, tulisan tersebut hanya berbuah sertifikat penghargaan sebagai peserta saja. Dengan pengalaman ini, saya pun akhirnya menganggukkan sebuah pendapat bahwa menulis ilmiah itu adalah memaparkan sebuah idealisme, gagasan dan pemikiran yang muncul dari lubuk hati terdalam. Prestasi yang pernah saya raih pada saat menulis tentang tata kota memang sebuah perkecualian. Adalah imajinasi saya setelah melihat gambar-gambar indahnya kota-kota di Eropa di buku yang mendorong saya menulis dengan sepenuh hati tentang konsep kota idaman. Imajinasi tersebut membawa saya seolah sedang menulis di taman-taman kota-kota yang indah dan bersih di Eropa, yang dilengkapi dengan fasilitas jalur sepeda dan pedestrian area-nya yang sungguh nyaman. Sangat mudah mendeskripsikannya, karena saya merasa ‘berada’ di tempat tersebut. Sangat berbeda dengan apa yang pernah saya tulis untuk tujuan hanya mendapatkan hadiah uang sebagai imbalan juara, sementara tidak ada mimpi, imajinasi dan idealisme tentang apa yang ditulis. Meski demikian, tetap tidak ada yang sia-sia. Gagal dan gagal dalam pergulatan membuat tulisan ilmiah selama masa kuliah membuat saya lebih mudah dalam menulis skripsi. Bahkan, atas saran dan bimbingan dosen pemibimbing saya, skripsi sarjana saya bisa diterbitkan menjadi dua naskah publikasi ilmiah di jurnal nasional. Suatu hal yang sangat memuaskan di akhir masa kuliah S1 saya. 

Aktivitas menjadi staf pengajar junior dan melanjutkan studi S2 membuat saya semakin keranjingan menulis makalah. Selain mencoba menulis makalah untuk presentasi seminar nasional, saya mulai belajar menggunakan bahasa Inggris dalam menulis makalah. Tentu, tidak sempurna di sana sini, entah pada cara menyampaikan gagasan, memaparkan hasil dan penggunaan bahasa Inggris yang berasa aneh bila dibaca pada saat ini.

Adalah peran dari kawan senior di tempat saya bekerja yang sangat membantu dalam memperbaiki tulisan-tulisan ilmiah saya. Jika sebelumnya struktur dalam makalah atau tulisan saya boleh dibilang sering kabur dan tidak jelas, maka dengan bimbingan kawan saya itu saya menjadi lebih paham dalam merumuskan isi suatu makalah atau tulisan ilmiah. Lambat laun seiring dengan semakin banyaknya tulisan ilmiah yang bisa saya selesaikan, semakin lancar pula dalam merumuskan gagasan, mengkaitkan kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf hingga akhirnya menjadi karya yang lebih enak dibaca dan dinikmati. Puncaknya adalah di tahun 2011, ketika untuk pertama kali dalam sejarah hidup saya, tulisan ilmiah saya diterima dan dipublikasikan di Materials Chemistry and Physics, sebuah jurnal internasional dengan reputasi yang cukup baik di bidang ilmu material. Akhir tahun 2011, artikel tersebut terpilih menjadi The Best International Publication pada Malam Penghargaan bagi Insan Berprestasi Universitas Gadjah Mada; menempatkan saya yang masih bergelar S2 bersanding dan berdiri bersama dengan para senior yang sudah menyandang gelar doktor maupun profesor. 

Saya (nomor 4 dari kanan) bersama Rektor UGM dan para penerima penghargaan pada Malam Penghargaan bagi Insan UGM Berprestasi 2011 (Foto kiriman dari seorang kawan di LPPM, UGM)

Senang, bahagia dan puas rasanya setelah melalui sebuah perjuangan dan proses yang sangat panjang untuk bisa menulis. Yang lebih memuaskan lagi adalah ketika melihat artikel publikasi internasional pertama yang saya tulis itu kini telah menjadi rujukan atau di-sitasi oleh beberapa artikel yang ditulis para peneliti lain di dunia. Semua itu semakin membuat saya bersemangat menulis yang lebih baik lagi, bukan untuk uang maupun sanjungan, tetapi sebuah kepuasan yang tak tergantikan. 

2 komentar:

  1. Wah... keren mas. saya mulai suka menulis sejak SMA gara2 TSC... sekarang masih perlu banyak menulis lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung mas. Blog mas Zainuri juga keren, saya sering baca juga. Produktif!

      Hapus