Selasa, 28 Oktober 2014

Mengintip Koleksi Spoorweg Museum



Setelah beberapa kali saya mengunggah artikel yang bernada serius, kali ini saya ingin mengajak pembaca rileks sejenak. Akhir minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi Spoorweg Museum, yang terletak di Kota Utrecht, di bagian tengah Belanda. Utrecht sendiri saya kenal karena adanya Universiteit Utrecht yang berdiri sejak tahun 1636; yang menjadikan universitas ini sebagai salah satu yang tertua di Belanda. Utrecht Universiteit juga nangkring di jajaran universitas top di Belanda maupun dunia. Kunjungan saya ke Spoorweg Museum ini sekaligus menjadi ajang rekreasi bersama keluarga. Meski di akhir minggu, perjalanan menuju Utrecht dari tempat tinggal kami di Schiedam kali ini terbilang sedikit melelahkan. Pasalnya, kami harus berganti moda transportasi beberapa kali melalui Stasiun Rotterdam Centraal dan Stasiun Gouda akibat perbaikan jaringan kereta yang menghubungkan kota tempat tinggal kami dengan kota tempat museum tersebut berada.

Spoorweg Museum, Utrecht Maliebaan

Spoorweg museum terletak di kawasan Utrecht Maliebaan. Museum ini menempati sebuah stasiun yang sudah tidak lagi dioperasikan, alias bekas stasiun. Oleh karenanya, pengunjung sebenarnya dapat menggunakan moda kereta untuk menuju ‘stasiun’ Utrecht Maliebaan tempat museum ini berada. Namun, kereta yang melayani jalur ini hanya beroperasi pada siang hari, yakni sekitar setelah pukul 13 siang, sehingga pengunjung yang datang pada waktu yang relatif pagi disarankan menggunakan stadtbus, atau bus kota, dari stasiun Utrecht Centraal. 

Sesampainya di gerbang museum, terlihat bangunan megah yang mirip dengan stasiun kereta ala Belanda. Ada yang spesial dengan kunjungan saya beserta keluarga kali ini, yakni bertepatan dengan event Chuggington week. Bagi pembaca yang belum tahu, Chuggington adalah sebuah serial film animasi yang becerita tentang kehidupan Wilson, si lokomotif merah bersama kawan-kawannya. Serial yang dikemas apik ini memang cukup digemari anak-anak, layaknya film sejenis seperti Thomas, Cars atau Planes. Dalam event ini, anak-anak diberikan kesempatan bermain sepuasnya di sebuah hall besar yang berisi mainan kereta lengkap dengan rel-relnya. 

Bagi saya, selain memberikan kesempatan kepada anak saya untuk bermain, mengunjungi museum ini juga merupakan kesempatan menyalurkan hobi pribadi melihat kendaraan-kendaraan bermesin tapi usang yang terawat dalam museum. Di museum ini, dapat ditemui beberapa jenis lokomotif dan gerbong-gerbong yang sudah purna-tugas, mulai dari yang dibuat tahun 1800an hingga 1980an. Terus terang, walaupun sangat antusias menyusuri museum ini, saya tidak begitu hafal dengan berbagai jenis lokomotif serta gerbong yang ada. Berbeda dengan dunia dirgantara, masih cukup mudah bagi saya menebak jenis-jenis pesawat terbang yang menjadi koleksi di suatu museum. Meski demikian, sebagai dokumentasi, saya ambil beberapa foto menarik tentang museum ini. 

Pengunjung yang telah melewati hall depan museum akan disambut dengan kereta merah ini

Rangkaian kereta ini dulunya dipakai oleh Ratu Juliana dalam menjalankan tugas-tugasnya

Di hall utama, sebuah kereta klasik digantung seolah menyambut kedatangan para pengunjung

Salah satu koleksi kereta klasik di hall utama. Tertulis di badannya: L. Schwartzkopff 1914 Berlin

Salah satu koleksi rangkaian kereta di bagian luar museum

Dilihat dari desainnya, lokomotif kuning di atas tampaknya masih cukup 'muda', setidaknya dari warna kuning dan logo khas Nederlandse Spoorwegen (NS), atau penyedia layanan kereta di Belanda, di era modern

Kereta hijau ini mirip dengan kereta merah pada foto sebelumnya. Yang unik dari foto ini adalah adanya gambar replika menara pengawas kereta di Stasiun Groningen pada masa lalu.

Pemandangan bagian luar Spoorweg Museum dari replika menara pengawas 'Stasiun Groningen'

Demonstrasi tugas seorang pengatur rel kereta di menara pengawas 'Stasiun Groningen'

Jika Anda sedang di Belanda dan gemar tentang teknologi perkeretaan, museum ini menarik untuk dikunjungi. Pengunjung dikenakan biaya sekitar 16 Euro untuk memasuki museum ini. Selain beraneka ragam lokomotif, gerbong serta replika stasiun ‘Groningen’ yang menjadi koleksi, terdapat pula tempat bermain anak di bagian belakang museum ini. Selengkapnya, silakan klik tautan berikut untuk mengetahui informasi lebih detil tentang Spoorweg Museum: http://www.spoorwegmuseum.nl/

Jumat, 24 Oktober 2014

Dosen Muda, Mana Semangatmu?

Bulan Oktober selalu diperingati sebagai bulan pemuda, terinspirasi oleh gerakan pemuda Indonesia yang masif di era tahun 20an. Lewat gerakan ini, tercetuslah peristiwa Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 silam. Mengisi bulan pemuda ini, beragam diskusi bertemakan kepemudaan lantas digelar dimana-mana. Berbagai kajian dan tulisan tentang kepemudaan bermunculan, meskipun kebanyakan isinya hampir selalu sama. Intinya, pemuda adalah harapan bangsa dan agen perubahan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Kebanyakan diskusi maupun tulisan yang ada selalu diakhiri dengan sebuah pesan, bahwa pemuda-pemudi Indonesia harus kuat, tangguh, mandiri, dan sebagainya agar cita-cita Indonesia makmur dan sejahtera dapat diwujudkan. Lalu, apa hubungan antara pemuda atau pemudi dengan dosen muda yang menjadi judul dalam tulisan ini?

(Sumber gambar: http://theairspace.net)
Tentu saja, dosen muda adalah bagian dari pemuda-pemudi itu sendiri. Memang, di negeri ini tidak sedikit orang yang meniti karir sebagai dosen di usia yang tidak belia lagi. Namun, saat ini sudah banyak dijumpai dosen-dosen berusia muda, umumnya disebabkan sistem pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda zaman sekarang mampu menyelesaikan pendidikan tingginya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika saat ini banyak dosen-dosen baru berusia di bawah 30 tahun yang menghiasi ruang-ruang kuliah maupun laboratorium di berbagai universitas di tanah air. Selain tampang yang masih belia, bahkan sebagian masih tampak malu-malu saat mengajar di depan mahasiswanya, dosen muda ini biasanya dikenal idealis dan bersemangat tinggi walaupun masih miskin pengalaman. Mereka umumnya adalah sosok-sosok yang punya rasa ingin tahu besar di bidang yang ditekuninya. Ditunjang dengan teknologi informasi yang maju serta kemudahan belajar di luar negeri pada saat ini, dosen-dosen muda inipun kerap menjelma menjadi agen perubahan dalam kampus. Sebagai contoh, mereka memperkenalkan metode baru dalam mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa, sehingga proses belajar mengajar atau diskusi menjadi lebih aktif dan efektif. Profesor maupun ilmuwan hebat di universitas luar negeri biasanya menjadi role-model atau teladan bagi mereka untuk mengembangkan karirnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, mengapa dosen muda dikaitkan dengan momen peringatan sumpah pemuda?

Di tengah carut-marut dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pada sektor pendidikan tingginya, peran dosen muda menjadi vital. Merekalah masa depan dunia pendidikan tinggi Indonesia. Merekalah yang membentuk wajah universitas-universitas di Indonesia yang selama ini dikenal kusut dan sangat kurang reputasinya dibandingkan institusi-institusi serupa di luar negeri, bahkan di negeri tetangga. Tidak aneh jika kemudian banyak calon mahasiswa yang akhirnya memilih hengkang dan menempuh studi di universitas-universitas luar negeri ketimbang menuntut ilmu di negeri sendiri yang output-nya dianggap kurang menggigit, kurang berdaya saing dan tidak jelas prospeknya. Oleh karenanya, lewat dosen-dosen muda yang berkualitas lagi bersemangat inilah, tertumpu harapan dunia pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih baik dalam beberapa dekade ke depan. Namun, ternyata kondisi di lapangan tidak selalu mudah ditangani seperti teorinya. Di dunia kampus, dosen muda di Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan mempersiapkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang pengajar maupun peneliti berkualitas, tetapi ternyata juga sistem pendidikan tinggi yang sama sekali belum kondusif untuk belajar menjadi seorang dosen yang berkualitas mumpuni.

Lingkungan sangat berpengaruh pada kesuksesan seseorang. Demikian juga lingkungan atau sistem pendidikan tinggi terhadap dosen muda di Indonesia. Tidak langka ditemui, seorang dosen muda yang pulang ke tanah air setelah beberapa tahun menuntut ilmu di negeri orang harus kecewa dengan lingkungan pendidikan tinggi yang ada di negeri ini. Padahal, ia pulang dengan segudang pengalaman akademik maupun penelitian yang banyak, hasil karya yang hebat serta cita-cita yang tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan penelitian Indonesia. Namun apa daya, sesampainya di kampus tempat ia akan melanjutkan karirnya sebagai dosen, segudang pengalaman, prestasi dan cita-citanya itu hanya menjadi bahan olok-olok saja. Tidak sedikit yang dicibir terlalu idealis dan ditimpali dengan respon-respon pesimis lainnya. Akibatnya, sakit pula hati sang elang muda yang berkeinginan membawa terbang bangsanya lewat keahliannya di bidang pendidikan dan penelitian. Tidak sedikit dosen-dosen muda tersebut lantas pergi meninggalkan negeri ini karena enggannya lingkungan ‘menerima’ mereka beserta itikad baiknya itu. Jika sudah demikian, siapakah yang rugi? Rasanya para pembaca sekalian sudah bisa menerka jawabannya.

Namun, ada pula dosen-dosen muda yang bisa berkompromi dengan lingkungan yang ada. Golongan dosen ini bisa dibagi lagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang bisa beradaptasi tanpa melunturkan semangat, idealisme dan cita-citanya agar pendidikan tinggi Indonesia setaraf dengan yang ada di negara-negara yang maju pendidikan tingginya. Sementara itu, kelompok kedua adalah mereka yang pasrah ikut, bahkan larut dan menjadi bagian dari lingkungan yang tidak mendukung terciptanya pendidikan tinggi berkualitas tadi. Dosen muda di kelompok yang pertama mampu beradaptasi dengan segala kekurangan yang ada, walaupun ia seringkali juga mengeluhkan buruknya lingkungan atau sistem yang ada. Untuk ‘bertahan hidup’, dosen muda pada kelompok ini bekerja dengan sedikit ‘menurunkan’ standar yang dipakai dalam urusan akademik maupun penelitiannya. Misalnya, ia menurunkan tingkat kerumitan proyek penelitian yang dikerjakannya di kampusnya di Indonesia agar proyek tersebut tetap bisa dijalankan dalam segala keterbatasan yang ada. Meski demikian, ia tetap bekerja keras dan berkomitmen untuk menghasilkan output pendidikan dan penelitian yang baik, bahkan setara dan bisa diterima di komunitas ilmiah internasional. Dosen muda seperti ini harus diacungi empat jempol sekaligus dan diapresiasi karya-karyanya. Dari merekalah, para mahasiswa yang hidup dalam lingkungan pendidikan yang kurang berkualitas akan mendapatkan inspirasi bagaimana berjuang dalam keterbatasan. Berbeda dengan kelompok yang pertama, dosen muda dari kelompok kedua rasanya tidak layak ditiru. Kelompok ini terdiri dari mereka yang selama ini orientasi belajarnya hingga jenjang doktoral hanya untuk mendapatkan gelar semata. Dengan gelar itu, ia berhasrat meraih jabatan maupun posisi-posisi strategis yang sarat dengan keuntungan finansial maupun sosial. Sementara itu, ia lupa dan tidak menyadari tugas pentingnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh para penyandang gelar doktor. Ia tidak lagi berpikir untuk membuat karya kongkrit, baik produk, publikasi hingga paten, yang seharusnya lahir dari pemikirannya. Kalaupun ia berkarya, tidak lebih hanya untuk mengumpulkan poin atau kum untuk kenaikan jabatannya.

Momen bulan pemuda menjadi relevan untuk mengingatkan dan menggugah semangat para pemuda dan pemudi dalam membangun bangsa. Tak terkecuali bagi mereka para dosen muda. Sudah saatnya para dosen muda ini menyadari peran vitalnya bagi masa depan pendidikan tinggi dan dunia penelitian di Indonesia. Mereka dituntut kritis terhadap lingkungan pendidikan yang masih belum kondusif saat ini, setidaknya dengan tidak mudah ikut arus dalam sistem dan aktivitas yang kontra-produktif di kampus masing-masing. Sulit memang, karena sistem yang tidak produktif semacam ini sudah mengakar kuat, membudaya dan susah dicabut untuk diganti dengan yang lebih baik. Namun, tidak ada salahnya bila diusahakan, paling tidak dari lingkungan terkecil yang berada di sekitarnya, misalnya lewat kelompok penelitian atau diskusi ilmiah yang dibentuk bersama mahasiswa atau rekan dosen lainnya. Bukankah memulai dari kelompok terkecil seperti ini sejalan dengan konsep revolusi mental yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu? Yang jelas, semangat para dosen muda untuk menggapai cita-cita menjadikan kualitas institusi pendidikan tinggi di Indonesia agar setaraf, bahkan lebih tinggi, dari institusi-institusi di luar negeri harus selalu dipompa dan dijaga. Bung Karno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan dunia.” Realistis saja, sepuluh dosen muda mungkin tetap belum sanggup mengubah wajah pendidikan tinggi dan dunia penelitian di Indonesia menjadi lebih baik. Namun, siapa lagi jika bukan mereka? So, para dosen muda, mana semangatmu untuk berkarya demi bangsa dan negara ini?

*Repost artikel Kompasiana, 25 Oktober 2014

Selasa, 14 Oktober 2014

Pesan Terselip dari Hadiah Nobel

Belum lama ini, santer terdengar berita tentang penganugerahan hadiah nobel kepada para saintis maupun tokoh yang berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial masyarakat dunia. Jujur, saya sebenarnya bukanlah orang yang selalu mengikuti perkembangan tentang event penganugerahan penghargaan yang mungkin paling prestisius di muka bumi ini. Namun, event besar yang diadakan setahun sekali di Stockholm, Swedia tahun ini membuat saya tergerak untuk ingin tahu lebih dalam apa yang ada di dalamnya. Suatu siang, diselingi santap makan siang di sebuah warung di dekat kampus, saya tidak sengaja menemukan artikel tentang penghargaan hadiah nobel 2014, khususnya di bidang fisika yang tahun ini dianugerahkan kepada Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura atas temuannya berupa light-emitting diode (LED) berwarna biru. Temuan ini dianggap sangat berjasa bagi dunia. LED biru menjadi pelengkap LED merah dan hijau yang telah ditemukan dan digunakan sejak 50 tahun silam. Dengan kombinasi warna merah, hijau dan biru, menurut sumber yang saya baca, akan diperoleh cahaya berwarna putih yang bermanfaat untuk berbagai aplikasi teknologi cahaya di muka bumi. LED juga terbukti jauh lebih hemat energi dibandingkan lampu konvensional yang menggunakan kawat pijar, sehingga temuan ini sangat berguna untuk mengurangi beban energi dunia.
(Sumber gambar: www.theguardian.com)
Saya tidak ingin panjang lebar membahas tentang LED biru maupun alasan mengapa hadiah nobel tersebut dianugerahkan atas temuan teknologi tersebut. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih detil tentang hadiah nobel, saya sarankan untuk merujuk langsung pada website Nobelprize.org yang sudah dilengkapi dengan ringkasan tentang karya penerima perhargaan ini. Lewat tulisan pendek ini, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang pesan terselip yang berhasil saya tangkap dari event penghargaan nobel fisika tahun 2014 tersebut.

Pertama, satu hal yang sangat jelas menjadi bahan pertimbangan kepada siapa hadiah nobel diberikan adalah kontribusi dari sebuah karya. Banyak saintis maupun enjinir di seluruh dunia, namun penghargaan ini jatuh kepada mereka yang karyanya mempunyai kontribusi besar dan nyata dalam kehidupan masyarakat dunia. Dengan kata lain, ada nilai manfaat yang sangat besar yang tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang maupun penemunya sendiri, tetapi seluruh umat manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya di muka bumi. Cahaya putih yang ditimbulkan akibat perpaduan LED merah, hijau dan biru lambat laun akan menggeser penggunaan lampu konvensional yang selama ini digunakan hampir di semua aplikasi teknologi cahaya, namun dengan efisiensi yang rendah. Cahaya yang dihasilkan LED juga lebih terang dan berumur panjang.

Kedua, konsistensi. Tentu saja, jika trio peneliti Jepang tersebut tidak konsisten di bidang yang ditekuninya, maka LED biru yang mencuatkan nama mereka di tahun 2014 ini tidak akan terwujud. Menyebut kata konsisten memang mudah, namun menjalaninya ternyata tidak segampang mengucapkannya. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk melihat dan membuktikan seberapa konsisten seseorang dalam menekuni sesuatu atau bidangnya. Bahkan, sepanjang waktu yang dijalani itu, terselip pula kesulitan-kesulitan yang menguji kesabaran. Upaya untuk menemukan LED biru membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dari tulisan yang saya baca,  Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura memulai penelitiannya sejak tahun 1980an, yang berarti riwayat penelitian tersebut sudah berumur 30 tahun jika dihitung mundur dari sekarang. Tanpa tekad yang kuat yang terwujud dalam sikap konsisten menekuni bidang yang diteliti, rasanya mustahil bagi trio Jepang tersebut maupun para ilmuwan peraih nobel yang lain untuk menghasilkan karya yang spektakuler lagi bermanfaat bagi umat manusia. Konsisten bukanlah stagnan atau jalan di tempat, melainkan sikap terus bergerak yang berpegang pada arah yang sudah diyakini benar. Kebenaran sendiri seringkali bersifat relatif, karena kebenaran saat ini bisa saja harus dikoreksi oleh temuan-temuan di masa mendatang. Meski demikian, adanya arah yang memandu dalam berjalan setidaknya menjadi petunjuk dalam suatu perjalanan dan seringkali memberikan makna dalam perjalanan tersebut.

Kembali ke masalah kontribusi dan konsistensi. Dalam konteks kehidupan penelitian di masyarakat akademik kita, kontribusi dan konsistensi dalam penelitian barangkali masih merupakan sesuatu yang langka. Bagi pembaca, mungkin pendapat saya tentang perkembangan penelitian secara umum di tanah air ini terlalu pesimis. Meski demikian, ada baiknya pendapat ini kita jadikan sebagai bahan renungan dan introspeksi diri. Sudahkah penelitian-penelitian yang kita lakukan secara rutin, bahkan kita ajukan dananya kepada pemerintah setiap tahun, mempunyai kontribusi nyata dan jelas bagi masyarakat di sekitar kita, masyarakat Indonesia atau bahkan dunia? Jika konteks masyarakat di sekitar kita masih terlalu luas cakupannya, sudahkah penelitian kita menyumbangkan kontribusi pada bidang keilmuan yang kita tekuni? Bila kita meng-klaim ya, seberapa signifikankah kontribusinya? Seringkali kita mengabaikan kolom manfaat pada proposal pengajuan dana penelitian yang kita buat setiap tahun. Kalaupun kolom tersebut harus diisi, tidak jarang kita menuliskannya asal-asalan, tidak serius bahkan terlalu umum dan tampak tidak relevan dengan topik penelitian yang diajukan. Akibatnya, penelitian menjadi tidak jelas dan hambar. Demikian halnya dengan sikap konsisten yang kita miliki; kita pun perlu mempertanyakan kembali kepada diri kita masing-masing yang mengaku sebagai seorang peneliti. Sejauh manakah konsistensi kita terhadap bidang penelitian yang sering kita klaim sebagai keahlian kita? Seringkali kita merasa hebat di depan mahasiswa, atau di depan para junior kita, dengan sebuah bidang ilmu tertentu yang disematkan oleh fakultas atau universitas karena bidang tersebut adalah topik penelitian kita semasa studi S2 maupun S3 di negeri orang. Padahal kita sering khilaf, entah sengaja atau tidak, kita berganti-ganti topik proposal setiap tahun. Bukan karena ingin menguji konsep baru yang sedang dikembangkan dari penelitian sebelumnya, melainkan lebih pada upaya pragmatis agar proposal penelitian bisa diterima dan honor dana hibah segera masuk di kantong pribadi. Atau, sekedar mengikuti topik yang sedang tren atau bombastis pada saat itu dan mengejar kum untuk kenaikan pangkat saja, tanpa menghiraukan pentingnya pengembangan ilmu dan kualitas penelitian. Jika demikian, lalu dimanakah sikap konsisten kita sebagai seorang peneliti?

Menutup tulisan pendek ini, kiranya apa yang tersirat dari penghargaan hadiah nobel patut untuk kita renungkan. Bagi orang awam, menerima penghargaan hadiah nobel adalah sebuah ‘kemewahan’. Namun, bagi orang yang jeli, menyelami, memahami dan mengaplikasikan makna hadiah nobel sebenarnya sudah merupakan suatu kenikmatan tersendiri.