Belum lama ini, santer terdengar berita tentang
penganugerahan hadiah nobel kepada para saintis maupun tokoh yang berjasa dalam
bidang ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial masyarakat dunia. Jujur, saya
sebenarnya bukanlah orang yang selalu mengikuti perkembangan tentang event penganugerahan penghargaan yang
mungkin paling prestisius di muka bumi ini. Namun, event besar yang diadakan setahun sekali di Stockholm, Swedia tahun
ini membuat saya tergerak untuk ingin tahu lebih dalam apa yang ada di dalamnya.
Suatu siang, diselingi santap makan siang di sebuah warung di dekat kampus,
saya tidak sengaja menemukan artikel tentang penghargaan hadiah nobel 2014,
khususnya di bidang fisika yang tahun ini dianugerahkan kepada Isamu Akasaki,
Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura atas temuannya berupa light-emitting diode (LED) berwarna biru. Temuan ini dianggap
sangat berjasa bagi dunia. LED biru menjadi pelengkap LED merah dan hijau yang
telah ditemukan dan digunakan sejak 50 tahun silam. Dengan kombinasi warna
merah, hijau dan biru, menurut sumber yang saya baca, akan diperoleh cahaya berwarna
putih yang bermanfaat untuk berbagai aplikasi teknologi cahaya di muka bumi.
LED juga terbukti jauh lebih hemat energi dibandingkan lampu konvensional yang
menggunakan kawat pijar, sehingga temuan ini sangat berguna untuk mengurangi
beban energi dunia.
 |
(Sumber gambar: www.theguardian.com) |
Saya tidak ingin panjang lebar membahas tentang LED
biru maupun alasan mengapa hadiah nobel tersebut dianugerahkan atas temuan
teknologi tersebut. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih detil tentang hadiah
nobel, saya sarankan untuk merujuk langsung pada website Nobelprize.org yang
sudah dilengkapi dengan ringkasan tentang karya penerima perhargaan ini. Lewat
tulisan pendek ini, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang pesan terselip
yang berhasil saya tangkap dari event penghargaan
nobel fisika tahun 2014 tersebut.
Pertama, satu hal yang sangat jelas menjadi bahan
pertimbangan kepada siapa hadiah nobel diberikan adalah kontribusi dari sebuah
karya. Banyak saintis maupun enjinir di seluruh dunia, namun penghargaan ini
jatuh kepada mereka yang karyanya mempunyai kontribusi besar dan nyata dalam
kehidupan masyarakat dunia. Dengan kata lain, ada nilai manfaat yang sangat besar
yang tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang maupun penemunya sendiri,
tetapi seluruh umat manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya di muka bumi. Cahaya
putih yang ditimbulkan akibat perpaduan LED merah, hijau dan biru lambat laun akan
menggeser penggunaan lampu konvensional yang selama ini digunakan hampir di
semua aplikasi teknologi cahaya, namun dengan efisiensi yang rendah. Cahaya
yang dihasilkan LED juga lebih terang dan berumur panjang.
Kedua, konsistensi. Tentu saja, jika trio peneliti
Jepang tersebut tidak konsisten di bidang yang ditekuninya, maka LED biru yang
mencuatkan nama mereka di tahun 2014 ini tidak akan terwujud. Menyebut kata
konsisten memang mudah, namun menjalaninya ternyata tidak segampang
mengucapkannya. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk melihat dan membuktikan
seberapa konsisten seseorang dalam menekuni sesuatu atau bidangnya. Bahkan,
sepanjang waktu yang dijalani itu, terselip pula kesulitan-kesulitan yang
menguji kesabaran. Upaya untuk menemukan LED biru membutuhkan waktu yang tidak
sebentar. Dari tulisan yang saya baca, Isamu
Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura memulai penelitiannya sejak tahun
1980an, yang berarti riwayat penelitian tersebut sudah berumur 30 tahun jika dihitung mundur dari sekarang. Tanpa tekad
yang kuat yang terwujud dalam sikap konsisten menekuni bidang yang diteliti,
rasanya mustahil bagi trio Jepang tersebut maupun para ilmuwan peraih nobel
yang lain untuk menghasilkan karya yang spektakuler lagi bermanfaat bagi umat
manusia. Konsisten bukanlah stagnan atau jalan di tempat, melainkan sikap terus
bergerak yang berpegang pada arah yang sudah diyakini benar. Kebenaran sendiri seringkali bersifat relatif, karena kebenaran saat ini bisa saja harus dikoreksi oleh
temuan-temuan di masa mendatang. Meski demikian, adanya arah yang memandu dalam
berjalan setidaknya menjadi petunjuk dalam suatu perjalanan dan seringkali memberikan
makna dalam perjalanan tersebut.
Kembali ke masalah kontribusi dan konsistensi. Dalam
konteks kehidupan penelitian di masyarakat akademik kita, kontribusi dan konsistensi
dalam penelitian barangkali masih merupakan sesuatu yang langka. Bagi pembaca,
mungkin pendapat saya tentang perkembangan penelitian secara umum di tanah air ini
terlalu pesimis. Meski demikian, ada baiknya pendapat ini kita jadikan sebagai
bahan renungan dan introspeksi diri. Sudahkah penelitian-penelitian yang kita
lakukan secara rutin, bahkan kita ajukan dananya kepada pemerintah setiap
tahun, mempunyai kontribusi nyata dan jelas bagi masyarakat di sekitar kita, masyarakat
Indonesia atau bahkan dunia? Jika konteks masyarakat di sekitar kita masih
terlalu luas cakupannya, sudahkah penelitian kita menyumbangkan kontribusi pada
bidang keilmuan yang kita tekuni? Bila kita meng-klaim ya, seberapa
signifikankah kontribusinya? Seringkali kita mengabaikan kolom manfaat pada
proposal pengajuan dana penelitian yang kita buat setiap tahun. Kalaupun kolom
tersebut harus diisi, tidak jarang kita menuliskannya asal-asalan, tidak serius
bahkan terlalu umum dan tampak tidak relevan dengan topik penelitian yang
diajukan. Akibatnya, penelitian menjadi tidak jelas dan hambar. Demikian halnya
dengan sikap konsisten yang kita miliki; kita pun perlu mempertanyakan kembali
kepada diri kita masing-masing yang mengaku sebagai seorang peneliti. Sejauh
manakah konsistensi kita terhadap bidang penelitian yang sering kita klaim
sebagai keahlian kita? Seringkali kita merasa hebat di depan mahasiswa, atau di
depan para junior kita, dengan sebuah
bidang ilmu tertentu yang disematkan oleh fakultas atau universitas karena
bidang tersebut adalah topik penelitian kita semasa studi S2 maupun S3 di
negeri orang. Padahal kita sering khilaf, entah sengaja atau tidak, kita
berganti-ganti topik proposal setiap tahun. Bukan karena ingin menguji konsep
baru yang sedang dikembangkan dari penelitian sebelumnya, melainkan lebih pada upaya
pragmatis agar proposal penelitian bisa diterima dan honor dana hibah segera
masuk di kantong pribadi. Atau, sekedar mengikuti topik yang sedang tren atau
bombastis pada saat itu dan mengejar kum untuk kenaikan pangkat
saja, tanpa menghiraukan pentingnya pengembangan ilmu dan kualitas penelitian. Jika
demikian, lalu dimanakah sikap konsisten kita sebagai seorang peneliti?
Menutup tulisan pendek ini, kiranya apa yang tersirat
dari penghargaan hadiah nobel patut untuk kita renungkan. Bagi orang awam, menerima
penghargaan hadiah nobel adalah sebuah ‘kemewahan’. Namun, bagi orang yang
jeli, menyelami, memahami dan mengaplikasikan makna hadiah nobel sebenarnya sudah
merupakan suatu kenikmatan tersendiri.