Jumat, 24 Oktober 2014

Dosen Muda, Mana Semangatmu?

Bulan Oktober selalu diperingati sebagai bulan pemuda, terinspirasi oleh gerakan pemuda Indonesia yang masif di era tahun 20an. Lewat gerakan ini, tercetuslah peristiwa Soempah Pemoeda pada 28 Oktober 1928 silam. Mengisi bulan pemuda ini, beragam diskusi bertemakan kepemudaan lantas digelar dimana-mana. Berbagai kajian dan tulisan tentang kepemudaan bermunculan, meskipun kebanyakan isinya hampir selalu sama. Intinya, pemuda adalah harapan bangsa dan agen perubahan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Kebanyakan diskusi maupun tulisan yang ada selalu diakhiri dengan sebuah pesan, bahwa pemuda-pemudi Indonesia harus kuat, tangguh, mandiri, dan sebagainya agar cita-cita Indonesia makmur dan sejahtera dapat diwujudkan. Lalu, apa hubungan antara pemuda atau pemudi dengan dosen muda yang menjadi judul dalam tulisan ini?

(Sumber gambar: http://theairspace.net)
Tentu saja, dosen muda adalah bagian dari pemuda-pemudi itu sendiri. Memang, di negeri ini tidak sedikit orang yang meniti karir sebagai dosen di usia yang tidak belia lagi. Namun, saat ini sudah banyak dijumpai dosen-dosen berusia muda, umumnya disebabkan sistem pendidikan yang memungkinkan anak-anak muda zaman sekarang mampu menyelesaikan pendidikan tingginya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika saat ini banyak dosen-dosen baru berusia di bawah 30 tahun yang menghiasi ruang-ruang kuliah maupun laboratorium di berbagai universitas di tanah air. Selain tampang yang masih belia, bahkan sebagian masih tampak malu-malu saat mengajar di depan mahasiswanya, dosen muda ini biasanya dikenal idealis dan bersemangat tinggi walaupun masih miskin pengalaman. Mereka umumnya adalah sosok-sosok yang punya rasa ingin tahu besar di bidang yang ditekuninya. Ditunjang dengan teknologi informasi yang maju serta kemudahan belajar di luar negeri pada saat ini, dosen-dosen muda inipun kerap menjelma menjadi agen perubahan dalam kampus. Sebagai contoh, mereka memperkenalkan metode baru dalam mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa, sehingga proses belajar mengajar atau diskusi menjadi lebih aktif dan efektif. Profesor maupun ilmuwan hebat di universitas luar negeri biasanya menjadi role-model atau teladan bagi mereka untuk mengembangkan karirnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, mengapa dosen muda dikaitkan dengan momen peringatan sumpah pemuda?

Di tengah carut-marut dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pada sektor pendidikan tingginya, peran dosen muda menjadi vital. Merekalah masa depan dunia pendidikan tinggi Indonesia. Merekalah yang membentuk wajah universitas-universitas di Indonesia yang selama ini dikenal kusut dan sangat kurang reputasinya dibandingkan institusi-institusi serupa di luar negeri, bahkan di negeri tetangga. Tidak aneh jika kemudian banyak calon mahasiswa yang akhirnya memilih hengkang dan menempuh studi di universitas-universitas luar negeri ketimbang menuntut ilmu di negeri sendiri yang output-nya dianggap kurang menggigit, kurang berdaya saing dan tidak jelas prospeknya. Oleh karenanya, lewat dosen-dosen muda yang berkualitas lagi bersemangat inilah, tertumpu harapan dunia pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih baik dalam beberapa dekade ke depan. Namun, ternyata kondisi di lapangan tidak selalu mudah ditangani seperti teorinya. Di dunia kampus, dosen muda di Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan mempersiapkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang pengajar maupun peneliti berkualitas, tetapi ternyata juga sistem pendidikan tinggi yang sama sekali belum kondusif untuk belajar menjadi seorang dosen yang berkualitas mumpuni.

Lingkungan sangat berpengaruh pada kesuksesan seseorang. Demikian juga lingkungan atau sistem pendidikan tinggi terhadap dosen muda di Indonesia. Tidak langka ditemui, seorang dosen muda yang pulang ke tanah air setelah beberapa tahun menuntut ilmu di negeri orang harus kecewa dengan lingkungan pendidikan tinggi yang ada di negeri ini. Padahal, ia pulang dengan segudang pengalaman akademik maupun penelitian yang banyak, hasil karya yang hebat serta cita-cita yang tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan penelitian Indonesia. Namun apa daya, sesampainya di kampus tempat ia akan melanjutkan karirnya sebagai dosen, segudang pengalaman, prestasi dan cita-citanya itu hanya menjadi bahan olok-olok saja. Tidak sedikit yang dicibir terlalu idealis dan ditimpali dengan respon-respon pesimis lainnya. Akibatnya, sakit pula hati sang elang muda yang berkeinginan membawa terbang bangsanya lewat keahliannya di bidang pendidikan dan penelitian. Tidak sedikit dosen-dosen muda tersebut lantas pergi meninggalkan negeri ini karena enggannya lingkungan ‘menerima’ mereka beserta itikad baiknya itu. Jika sudah demikian, siapakah yang rugi? Rasanya para pembaca sekalian sudah bisa menerka jawabannya.

Namun, ada pula dosen-dosen muda yang bisa berkompromi dengan lingkungan yang ada. Golongan dosen ini bisa dibagi lagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang bisa beradaptasi tanpa melunturkan semangat, idealisme dan cita-citanya agar pendidikan tinggi Indonesia setaraf dengan yang ada di negara-negara yang maju pendidikan tingginya. Sementara itu, kelompok kedua adalah mereka yang pasrah ikut, bahkan larut dan menjadi bagian dari lingkungan yang tidak mendukung terciptanya pendidikan tinggi berkualitas tadi. Dosen muda di kelompok yang pertama mampu beradaptasi dengan segala kekurangan yang ada, walaupun ia seringkali juga mengeluhkan buruknya lingkungan atau sistem yang ada. Untuk ‘bertahan hidup’, dosen muda pada kelompok ini bekerja dengan sedikit ‘menurunkan’ standar yang dipakai dalam urusan akademik maupun penelitiannya. Misalnya, ia menurunkan tingkat kerumitan proyek penelitian yang dikerjakannya di kampusnya di Indonesia agar proyek tersebut tetap bisa dijalankan dalam segala keterbatasan yang ada. Meski demikian, ia tetap bekerja keras dan berkomitmen untuk menghasilkan output pendidikan dan penelitian yang baik, bahkan setara dan bisa diterima di komunitas ilmiah internasional. Dosen muda seperti ini harus diacungi empat jempol sekaligus dan diapresiasi karya-karyanya. Dari merekalah, para mahasiswa yang hidup dalam lingkungan pendidikan yang kurang berkualitas akan mendapatkan inspirasi bagaimana berjuang dalam keterbatasan. Berbeda dengan kelompok yang pertama, dosen muda dari kelompok kedua rasanya tidak layak ditiru. Kelompok ini terdiri dari mereka yang selama ini orientasi belajarnya hingga jenjang doktoral hanya untuk mendapatkan gelar semata. Dengan gelar itu, ia berhasrat meraih jabatan maupun posisi-posisi strategis yang sarat dengan keuntungan finansial maupun sosial. Sementara itu, ia lupa dan tidak menyadari tugas pentingnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang seharusnya dilakukan oleh para penyandang gelar doktor. Ia tidak lagi berpikir untuk membuat karya kongkrit, baik produk, publikasi hingga paten, yang seharusnya lahir dari pemikirannya. Kalaupun ia berkarya, tidak lebih hanya untuk mengumpulkan poin atau kum untuk kenaikan jabatannya.

Momen bulan pemuda menjadi relevan untuk mengingatkan dan menggugah semangat para pemuda dan pemudi dalam membangun bangsa. Tak terkecuali bagi mereka para dosen muda. Sudah saatnya para dosen muda ini menyadari peran vitalnya bagi masa depan pendidikan tinggi dan dunia penelitian di Indonesia. Mereka dituntut kritis terhadap lingkungan pendidikan yang masih belum kondusif saat ini, setidaknya dengan tidak mudah ikut arus dalam sistem dan aktivitas yang kontra-produktif di kampus masing-masing. Sulit memang, karena sistem yang tidak produktif semacam ini sudah mengakar kuat, membudaya dan susah dicabut untuk diganti dengan yang lebih baik. Namun, tidak ada salahnya bila diusahakan, paling tidak dari lingkungan terkecil yang berada di sekitarnya, misalnya lewat kelompok penelitian atau diskusi ilmiah yang dibentuk bersama mahasiswa atau rekan dosen lainnya. Bukankah memulai dari kelompok terkecil seperti ini sejalan dengan konsep revolusi mental yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu yang lalu? Yang jelas, semangat para dosen muda untuk menggapai cita-cita menjadikan kualitas institusi pendidikan tinggi di Indonesia agar setaraf, bahkan lebih tinggi, dari institusi-institusi di luar negeri harus selalu dipompa dan dijaga. Bung Karno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda maka akan kugoncangkan dunia.” Realistis saja, sepuluh dosen muda mungkin tetap belum sanggup mengubah wajah pendidikan tinggi dan dunia penelitian di Indonesia menjadi lebih baik. Namun, siapa lagi jika bukan mereka? So, para dosen muda, mana semangatmu untuk berkarya demi bangsa dan negara ini?

*Repost artikel Kompasiana, 25 Oktober 2014