Bulan Oktober
selalu diperingati sebagai bulan pemuda, terinspirasi oleh gerakan pemuda Indonesia
yang masif di era tahun 20an. Lewat
gerakan ini, tercetuslah peristiwa Soempah
Pemoeda pada 28 Oktober 1928 silam. Mengisi bulan pemuda ini, beragam
diskusi bertemakan kepemudaan lantas digelar dimana-mana. Berbagai kajian dan tulisan
tentang kepemudaan bermunculan, meskipun kebanyakan isinya hampir selalu sama. Intinya, pemuda adalah harapan
bangsa dan agen perubahan Indonesia untuk menjadi lebih baik. Kebanyakan diskusi
maupun tulisan yang ada selalu diakhiri dengan sebuah pesan, bahwa pemuda-pemudi Indonesia
harus kuat, tangguh, mandiri, dan sebagainya agar cita-cita Indonesia makmur
dan sejahtera dapat diwujudkan. Lalu, apa hubungan antara pemuda atau pemudi dengan
dosen muda yang menjadi judul dalam tulisan ini?
Tentu saja, dosen muda adalah bagian dari
pemuda-pemudi itu sendiri. Memang, di negeri ini tidak sedikit orang yang
meniti karir sebagai dosen di usia yang tidak belia lagi. Namun, saat ini sudah
banyak dijumpai dosen-dosen berusia muda, umumnya disebabkan sistem pendidikan
yang memungkinkan anak-anak muda zaman sekarang mampu menyelesaikan pendidikan
tingginya dalam rentang waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya, tidak mengherankan
jika saat ini banyak dosen-dosen baru berusia di bawah 30 tahun yang menghiasi
ruang-ruang kuliah maupun laboratorium di berbagai universitas di tanah air.
Selain tampang yang masih belia, bahkan sebagian masih tampak malu-malu saat
mengajar di depan mahasiswanya, dosen muda ini biasanya dikenal idealis dan
bersemangat tinggi walaupun masih miskin pengalaman. Mereka umumnya adalah
sosok-sosok yang punya rasa ingin tahu besar di bidang yang ditekuninya.
Ditunjang dengan teknologi informasi yang maju serta kemudahan belajar di luar
negeri pada saat ini, dosen-dosen muda inipun kerap menjelma menjadi agen
perubahan dalam kampus. Sebagai contoh, mereka memperkenalkan metode baru dalam
mengajar dan berinteraksi dengan mahasiswa, sehingga proses belajar mengajar
atau diskusi menjadi lebih aktif dan efektif. Profesor maupun ilmuwan hebat di universitas luar negeri biasanya menjadi role-model atau teladan bagi mereka
untuk mengembangkan karirnya. Lalu, pertanyaan selanjutnya, mengapa dosen muda
dikaitkan dengan momen peringatan sumpah pemuda?
Di tengah carut-marut dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pada sektor
pendidikan tingginya, peran dosen muda menjadi vital. Merekalah masa depan
dunia pendidikan tinggi Indonesia. Merekalah yang membentuk wajah universitas-universitas
di Indonesia yang selama ini dikenal kusut dan sangat kurang reputasinya
dibandingkan institusi-institusi serupa di luar negeri, bahkan di negeri
tetangga. Tidak aneh jika kemudian banyak calon mahasiswa yang akhirnya memilih
hengkang dan menempuh studi di universitas-universitas luar negeri ketimbang
menuntut ilmu di negeri sendiri yang output-nya
dianggap kurang menggigit, kurang berdaya saing dan tidak jelas prospeknya. Oleh
karenanya, lewat dosen-dosen muda yang berkualitas lagi bersemangat inilah, tertumpu
harapan dunia pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih baik dalam beberapa
dekade ke depan. Namun, ternyata kondisi di lapangan tidak selalu mudah ditangani
seperti teorinya. Di dunia kampus, dosen muda di Indonesia tidak hanya
menghadapi tantangan mempersiapkan dirinya sendiri untuk menjadi seorang
pengajar maupun peneliti berkualitas, tetapi ternyata juga sistem pendidikan
tinggi yang sama sekali belum kondusif untuk belajar menjadi seorang dosen yang
berkualitas mumpuni.
Lingkungan sangat berpengaruh pada kesuksesan seseorang. Demikian juga
lingkungan atau sistem pendidikan tinggi terhadap dosen muda di Indonesia.
Tidak langka ditemui, seorang dosen muda yang pulang ke tanah air setelah beberapa
tahun menuntut ilmu di negeri orang harus kecewa dengan lingkungan pendidikan
tinggi yang ada di negeri ini. Padahal, ia pulang dengan segudang pengalaman
akademik maupun penelitian yang banyak, hasil karya yang hebat serta cita-cita yang
tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan penelitian Indonesia. Namun apa
daya, sesampainya di kampus tempat ia akan melanjutkan karirnya sebagai dosen,
segudang pengalaman, prestasi dan cita-citanya itu hanya menjadi bahan olok-olok
saja. Tidak sedikit
yang dicibir terlalu idealis dan ditimpali dengan respon-respon pesimis
lainnya. Akibatnya, sakit pula hati sang elang muda yang berkeinginan membawa
terbang bangsanya lewat keahliannya di bidang pendidikan dan penelitian. Tidak
sedikit dosen-dosen muda tersebut lantas pergi meninggalkan negeri ini karena enggannya
lingkungan ‘menerima’ mereka beserta itikad baiknya itu. Jika sudah demikian,
siapakah yang rugi? Rasanya para
pembaca sekalian sudah bisa menerka jawabannya.
Namun, ada pula dosen-dosen muda yang bisa berkompromi dengan lingkungan
yang ada. Golongan dosen ini bisa dibagi lagi menjadi dua kelompok. Kelompok
pertama adalah mereka yang bisa beradaptasi tanpa melunturkan semangat,
idealisme dan cita-citanya agar pendidikan tinggi Indonesia setaraf dengan yang
ada di negara-negara yang maju pendidikan tingginya. Sementara itu, kelompok
kedua adalah mereka yang pasrah ikut, bahkan larut dan menjadi bagian dari
lingkungan yang tidak mendukung terciptanya pendidikan tinggi berkualitas tadi.
Dosen muda di kelompok yang pertama mampu beradaptasi dengan segala kekurangan
yang ada, walaupun ia seringkali juga mengeluhkan buruknya lingkungan atau
sistem yang ada. Untuk ‘bertahan hidup’, dosen muda pada kelompok ini bekerja
dengan sedikit ‘menurunkan’ standar yang dipakai dalam urusan akademik maupun
penelitiannya. Misalnya, ia menurunkan tingkat kerumitan proyek penelitian yang
dikerjakannya di kampusnya di Indonesia agar proyek tersebut tetap bisa
dijalankan dalam segala keterbatasan yang ada. Meski demikian, ia tetap bekerja
keras dan berkomitmen untuk menghasilkan output
pendidikan dan penelitian yang baik, bahkan setara dan bisa diterima di
komunitas ilmiah internasional. Dosen muda seperti ini harus diacungi empat jempol
sekaligus dan diapresiasi karya-karyanya. Dari merekalah, para mahasiswa yang
hidup dalam lingkungan pendidikan yang kurang berkualitas akan mendapatkan
inspirasi bagaimana berjuang dalam keterbatasan. Berbeda dengan kelompok yang
pertama, dosen muda dari kelompok kedua rasanya tidak layak ditiru. Kelompok
ini terdiri dari mereka yang selama ini orientasi belajarnya hingga jenjang
doktoral hanya untuk mendapatkan gelar semata. Dengan gelar itu, ia berhasrat
meraih jabatan maupun posisi-posisi strategis yang sarat dengan keuntungan
finansial maupun sosial. Sementara itu, ia lupa dan tidak menyadari tugas
pentingnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana yang
seharusnya dilakukan oleh para penyandang gelar doktor. Ia tidak lagi berpikir
untuk membuat karya kongkrit, baik produk, publikasi hingga paten, yang
seharusnya lahir dari pemikirannya. Kalaupun ia berkarya, tidak lebih hanya
untuk mengumpulkan poin atau kum untuk kenaikan jabatannya.
Momen bulan pemuda menjadi relevan untuk mengingatkan
dan menggugah semangat para pemuda dan pemudi dalam membangun bangsa. Tak
terkecuali bagi mereka para dosen muda. Sudah saatnya para dosen muda ini menyadari
peran vitalnya bagi masa depan pendidikan tinggi dan dunia penelitian di
Indonesia. Mereka dituntut kritis terhadap lingkungan pendidikan yang masih
belum kondusif saat ini, setidaknya dengan tidak mudah ikut arus dalam sistem dan
aktivitas yang kontra-produktif di kampus masing-masing. Sulit memang, karena
sistem yang tidak produktif semacam ini sudah mengakar kuat, membudaya dan susah
dicabut untuk diganti dengan yang lebih baik. Namun, tidak ada salahnya bila diusahakan,
paling tidak dari lingkungan terkecil yang berada di sekitarnya, misalnya lewat
kelompok penelitian atau diskusi ilmiah yang dibentuk bersama mahasiswa atau
rekan dosen lainnya. Bukankah memulai dari kelompok terkecil seperti ini sejalan
dengan konsep revolusi mental yang dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo beberapa
waktu yang lalu? Yang jelas, semangat para dosen muda untuk menggapai cita-cita
menjadikan kualitas institusi pendidikan tinggi di Indonesia agar setaraf,
bahkan lebih tinggi, dari institusi-institusi di luar negeri harus selalu
dipompa dan dijaga. Bung Karno pernah berkata, “Beri aku sepuluh pemuda maka
akan kugoncangkan dunia.” Realistis saja, sepuluh dosen muda mungkin tetap belum
sanggup mengubah wajah pendidikan tinggi dan dunia penelitian di Indonesia
menjadi lebih baik. Namun, siapa lagi jika bukan mereka? So, para dosen muda, mana semangatmu untuk berkarya demi bangsa dan
negara ini?
*Repost artikel Kompasiana, 25 Oktober 2014