Selasa, 14 Oktober 2014

Pesan Terselip dari Hadiah Nobel

Belum lama ini, santer terdengar berita tentang penganugerahan hadiah nobel kepada para saintis maupun tokoh yang berjasa dalam bidang ilmu pengetahuan maupun kehidupan sosial masyarakat dunia. Jujur, saya sebenarnya bukanlah orang yang selalu mengikuti perkembangan tentang event penganugerahan penghargaan yang mungkin paling prestisius di muka bumi ini. Namun, event besar yang diadakan setahun sekali di Stockholm, Swedia tahun ini membuat saya tergerak untuk ingin tahu lebih dalam apa yang ada di dalamnya. Suatu siang, diselingi santap makan siang di sebuah warung di dekat kampus, saya tidak sengaja menemukan artikel tentang penghargaan hadiah nobel 2014, khususnya di bidang fisika yang tahun ini dianugerahkan kepada Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura atas temuannya berupa light-emitting diode (LED) berwarna biru. Temuan ini dianggap sangat berjasa bagi dunia. LED biru menjadi pelengkap LED merah dan hijau yang telah ditemukan dan digunakan sejak 50 tahun silam. Dengan kombinasi warna merah, hijau dan biru, menurut sumber yang saya baca, akan diperoleh cahaya berwarna putih yang bermanfaat untuk berbagai aplikasi teknologi cahaya di muka bumi. LED juga terbukti jauh lebih hemat energi dibandingkan lampu konvensional yang menggunakan kawat pijar, sehingga temuan ini sangat berguna untuk mengurangi beban energi dunia.
(Sumber gambar: www.theguardian.com)
Saya tidak ingin panjang lebar membahas tentang LED biru maupun alasan mengapa hadiah nobel tersebut dianugerahkan atas temuan teknologi tersebut. Pembaca yang tertarik untuk mengetahui lebih detil tentang hadiah nobel, saya sarankan untuk merujuk langsung pada website Nobelprize.org yang sudah dilengkapi dengan ringkasan tentang karya penerima perhargaan ini. Lewat tulisan pendek ini, saya hanya ingin sedikit berbagi tentang pesan terselip yang berhasil saya tangkap dari event penghargaan nobel fisika tahun 2014 tersebut.

Pertama, satu hal yang sangat jelas menjadi bahan pertimbangan kepada siapa hadiah nobel diberikan adalah kontribusi dari sebuah karya. Banyak saintis maupun enjinir di seluruh dunia, namun penghargaan ini jatuh kepada mereka yang karyanya mempunyai kontribusi besar dan nyata dalam kehidupan masyarakat dunia. Dengan kata lain, ada nilai manfaat yang sangat besar yang tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang maupun penemunya sendiri, tetapi seluruh umat manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya di muka bumi. Cahaya putih yang ditimbulkan akibat perpaduan LED merah, hijau dan biru lambat laun akan menggeser penggunaan lampu konvensional yang selama ini digunakan hampir di semua aplikasi teknologi cahaya, namun dengan efisiensi yang rendah. Cahaya yang dihasilkan LED juga lebih terang dan berumur panjang.

Kedua, konsistensi. Tentu saja, jika trio peneliti Jepang tersebut tidak konsisten di bidang yang ditekuninya, maka LED biru yang mencuatkan nama mereka di tahun 2014 ini tidak akan terwujud. Menyebut kata konsisten memang mudah, namun menjalaninya ternyata tidak segampang mengucapkannya. Dibutuhkan waktu yang panjang untuk melihat dan membuktikan seberapa konsisten seseorang dalam menekuni sesuatu atau bidangnya. Bahkan, sepanjang waktu yang dijalani itu, terselip pula kesulitan-kesulitan yang menguji kesabaran. Upaya untuk menemukan LED biru membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Dari tulisan yang saya baca,  Isamu Akasaki, Hiroshi Amano dan Shuji Nakamura memulai penelitiannya sejak tahun 1980an, yang berarti riwayat penelitian tersebut sudah berumur 30 tahun jika dihitung mundur dari sekarang. Tanpa tekad yang kuat yang terwujud dalam sikap konsisten menekuni bidang yang diteliti, rasanya mustahil bagi trio Jepang tersebut maupun para ilmuwan peraih nobel yang lain untuk menghasilkan karya yang spektakuler lagi bermanfaat bagi umat manusia. Konsisten bukanlah stagnan atau jalan di tempat, melainkan sikap terus bergerak yang berpegang pada arah yang sudah diyakini benar. Kebenaran sendiri seringkali bersifat relatif, karena kebenaran saat ini bisa saja harus dikoreksi oleh temuan-temuan di masa mendatang. Meski demikian, adanya arah yang memandu dalam berjalan setidaknya menjadi petunjuk dalam suatu perjalanan dan seringkali memberikan makna dalam perjalanan tersebut.

Kembali ke masalah kontribusi dan konsistensi. Dalam konteks kehidupan penelitian di masyarakat akademik kita, kontribusi dan konsistensi dalam penelitian barangkali masih merupakan sesuatu yang langka. Bagi pembaca, mungkin pendapat saya tentang perkembangan penelitian secara umum di tanah air ini terlalu pesimis. Meski demikian, ada baiknya pendapat ini kita jadikan sebagai bahan renungan dan introspeksi diri. Sudahkah penelitian-penelitian yang kita lakukan secara rutin, bahkan kita ajukan dananya kepada pemerintah setiap tahun, mempunyai kontribusi nyata dan jelas bagi masyarakat di sekitar kita, masyarakat Indonesia atau bahkan dunia? Jika konteks masyarakat di sekitar kita masih terlalu luas cakupannya, sudahkah penelitian kita menyumbangkan kontribusi pada bidang keilmuan yang kita tekuni? Bila kita meng-klaim ya, seberapa signifikankah kontribusinya? Seringkali kita mengabaikan kolom manfaat pada proposal pengajuan dana penelitian yang kita buat setiap tahun. Kalaupun kolom tersebut harus diisi, tidak jarang kita menuliskannya asal-asalan, tidak serius bahkan terlalu umum dan tampak tidak relevan dengan topik penelitian yang diajukan. Akibatnya, penelitian menjadi tidak jelas dan hambar. Demikian halnya dengan sikap konsisten yang kita miliki; kita pun perlu mempertanyakan kembali kepada diri kita masing-masing yang mengaku sebagai seorang peneliti. Sejauh manakah konsistensi kita terhadap bidang penelitian yang sering kita klaim sebagai keahlian kita? Seringkali kita merasa hebat di depan mahasiswa, atau di depan para junior kita, dengan sebuah bidang ilmu tertentu yang disematkan oleh fakultas atau universitas karena bidang tersebut adalah topik penelitian kita semasa studi S2 maupun S3 di negeri orang. Padahal kita sering khilaf, entah sengaja atau tidak, kita berganti-ganti topik proposal setiap tahun. Bukan karena ingin menguji konsep baru yang sedang dikembangkan dari penelitian sebelumnya, melainkan lebih pada upaya pragmatis agar proposal penelitian bisa diterima dan honor dana hibah segera masuk di kantong pribadi. Atau, sekedar mengikuti topik yang sedang tren atau bombastis pada saat itu dan mengejar kum untuk kenaikan pangkat saja, tanpa menghiraukan pentingnya pengembangan ilmu dan kualitas penelitian. Jika demikian, lalu dimanakah sikap konsisten kita sebagai seorang peneliti?

Menutup tulisan pendek ini, kiranya apa yang tersirat dari penghargaan hadiah nobel patut untuk kita renungkan. Bagi orang awam, menerima penghargaan hadiah nobel adalah sebuah ‘kemewahan’. Namun, bagi orang yang jeli, menyelami, memahami dan mengaplikasikan makna hadiah nobel sebenarnya sudah merupakan suatu kenikmatan tersendiri.