Selasa, 24 Maret 2015

Mengapa Belanda? (Bagian 3)



Bercerita tentang alasan memilih tempat studi di luar negeri memang tidak ada habisnya. Di sisi lain, bagi pendengar atau pembaca kisah tadi, banyak hikmah maupun pesan yang bisa dipetik. Satu cerita dengan cerita yang lain bisa jadi berbeda rasanya sekalipun berkisah tentang sebuah negeri tujuan studi yang sama. Maklumlah, semua itu karena setiap cerita didasari oleh kesan dan pengalaman unik dari pribadi penulis atau penuturnya. Bagi saya, setiap cerita yang disajikan tanpa –maaf- unjuk kesombongan tentu menarik untuk disimak. Pun saya yakin dalam setiap cerita atau tulisan tadi pasti terkandung luapan semangat yang bisa menjalar pada diri kita serta pelajaran-pelajaran berharga yang bisa kita timba.


Dalam tulisan saya terdahulu (Bagian 1 dan Bagian 2), ulasan saya tentang alasan saya memilih Belanda sebagai tempat tujuan studi lanjut sudah saya jabarkan dengan nuansa dan bahasa yang sedikit serius, agak jauh dari kesan emosional saya sebagai penulisnya. Di tulisan kali ini, sekaligus menutup trilogi tulisan bertitel “Mengapa Belanda?” ini, saya ingin berbagi cerita tentang alasan saya yang lebih emosional memilih Belanda sebagai tempat studi lanjut. Harapan saya, para pembaca juga menemukan sisi-sisi manusiawi yang menyelubungi keputusan saya atas pilihan ini.

***
Cerita bermula dari tahun 2006, saat pertama kalinya saya mendapatkan kesempatan pergi ke luar negeri. Tentu alasannya adalah studi, bukan berlibur. Meski demikian, kesempatan studi ini bukanlah kesempatan belajar full-time selama satu atau dua tahun seperti kebanyakan kawan saya yang mengambil program master di luar negeri.

Groningen adalah tempat tujuan saya saat itu. Kota yang terletak di ujung utara Belanda itu menjadi persinggahan saya sekitar 11 hari saja. Itupun harus dikurangi total waktu perjalanan pergi-pulang Yogyakarta-Amsterdam yang memakan waktu hampir tiga hari. Meski sebentar, inilah perjalanan pertama yang membuka mata saya tentang dunia luar. Kepergian saya kali itu bagaikan angin segar yang menyejukkan. Saya merasa seperti meneguk segarnya air pegunungan di tengah riuhnya cerita para dosen senior di kampus yang membuat saya hanya bisa menelan ludah. Sering sekali mereka bercerita tentang kisah dan pengalamannya hidup dan studi luar negeri. Saya, kala itu, sama sekali belum pernah bepergian ke luar negeri! Jangankan ke luar negeri, naik pesawat terbang saja belum pernah ketika itu!

Di Groningen, saya dan beberapa kawan serta staf pengajar dari kampus UGM menghadiri pembukaan program internasional S2 yang saya ikuti. Saat itulah, saya begitu terpesona dengan University of Groningen. Semangat untuk bersekolah ke luar negeri menjadi semakin menggebu-gebu, walau saat itu keinginan tersebut harus tertunda karena program S2 saya tidak memberikan kesempatan untuk mengambil kuliah secara langsung di luar negeri. Mungkin karena cinta pada pandangan pertama, pikiran bawah sadar saya ketika itu berkata suatu saat saya pasti akan ke Belanda untuk melanjutkan studi. Bak orang yang tergila-gila pada sesuatu, akhirnya terucap pula keinginan ke Belanda (Groningen) dalam setiap doa yang saya panjatkan seusai sholat.

***
Tahun 2009, mimpi saya terwujud. Akhir November tahun itu, saya mendapat undangan wawancara sebagai calon mahasiswa doktoral di University of Groningen. Untuk kedua kalinya saya menginjakkan kaki ke Groningen. Kali ini saya pergi sendirian, namun semangat yang menggebu membuat saya tak gentar meski tidak ada kawan yang bisa menemani saya di kota tersebut. Tak berselang lama setelah tes wawancara, saya pun mendapatkan kabar gembira: diterima sebagai seorang promovendus, mahasiswa doktoral di University of Groningen, terhitung sejak Maret 2010. Berangkatlah saya ke Groningen menjemput jawaban atas doa dan cita-cita saya saat itu.

Namun, kehidupan saya di Groningen ternyata tidak lama. Akhir Januari 2011, kontrak studi saya dihentikan karena suatu hal yang membuat pembimbing dan promotor saya kala itu merasa tidak yakin saya bisa meneruskan studi saya. Dengan kata lain, saya mendapatkan status “No Go” dalam evaluasi tahun pertama saya. Tanpa banyak beralibi, saya pun menerima dengan sadar keputusan itu. Dua bulan kemudian, saya pulang, kembali ke tanah air, tanpa hasil sebagaimana yang diharapkan saat berangkat setahun sebelumnya. Di Bandara Schiphol Amsterdam, 31 Maret 2011, saat menunggu penerbangan pesawat Malaysia Airlines yang akan membawa saya beserta anak dan istri menuju Jakarta via Kuala Lumpur, hati saya berbisik, “Suatu saat saya akan kembali lagi ke negeri ini!”

***
Perjuangan saya untuk ‘kembali’ lagi ke Belanda langsung dimulai sejak kepulangan saya di Indonesia di tahun 2011. Saya memulai segala sesuatunya dari titik nol lagi, khususnya dalam upaya mendapatkan beasiswa untuk membiayai studi saya. Yang saya syukuri, saat itu saya sudah diterima secara personal sebagai calon mahasiswa doktoral oleh seorang staf peneliti yang kini menjadi pembimbing harian saya di TU Delft. Awal September 2012, saya akhirnya kembali bersua dengan Belanda lagi. Kali ini bukan Groningen lagi tujuan saya, namun Delft! Saya berangkat kembali ke Belanda dengan segudang amunisi untuk ‘membalas’ dan menebus kesalahan yang berujung dengan terhentinya studi saya di Groningen.

Barangkali terbesit dalam pikiran pembaca, mengapa saya tidak memilih negara selain Belanda untuk studi setelah ‘kegagalan’ yang saya alami di Groningen? Apakah tidak takut hal serupa terulang lagi? Janji saya untuk kembali adalah jawabannya. Lepas dari segala hal yang berbau studi, kehidupan saya di Groningen bersama keluarga kecil saya saat itu membuat saya merasa mempunyai ‘ikatan batin’ dengan Belanda. Di Belanda-lah saya pertama kali mengasah keberanian menantang dunia luar. Di negeri Oranye itulah terlalu banyak kenangan yang harus disimpan, termasuk momen kelahiran putri saya ke dunia. Hingga sekarang saya pun tidak tahu akan berakhir seperti apa kehidupan di Belanda yang saya jalani saat ini. Namun yang jelas, saya masih ingin membuktikan bahwa saya pun kelak akan sukses di negeri kincir ini. Inilah alasan emosional saya memilih Belanda sebagai tempat studi saya saat ini. Bagaimana dengan para pembaca?

***
Selesai.

Senin, 16 Maret 2015

Telisik Jeroan Mesin KOPI Delft 2014/2015



Tulisan ini saya dedikasikan untuk semua sahabat saya yang telah menjadi rekan kerja paling yahud selama setahun terakhir. Kami semua tergabung dalam Divisi Ilmiah Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delft (PPI Delft).

Terhitung sejak pertengahan April 2014, saya diamanahi oleh Ketua PPI Delft 2014/2015, Mas Yudha Prawira Pane, sebagai koordinator Divisi Ilmiah organisasi ini. Tugas utama saya bersama teman-teman dalam tim ini adalah mengkoordinir penyelenggaraan program acara semi-ilmiah yang diberi nama Kolokium Pelajar Indonesia di Delft, atau disingkat KOPI Delft. Seminar mini dan diskusi ini terbuka untuk diikuti oleh seluruh anggota PPI Delft maupun siapa saja yang tertarik. Narasumbernya adalah para mahasiswa di Delft sendiri, terutama yang baru atau sudah selesai melakukan proyek penelitiannya, atau tamu yang sengaja diundang untuk berbagi pengetahuan sesuai dengan bidang keahliannya.

Lalu, bagaimana kami bekerja? Harus diakui, tanpa kegiatan organisasi semacam PPI ini pun, setiap anggota tim yang saya pimpin ini sudah cukup sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Baik yang sedang menempuh studi S2 (M.Sc.) maupun S3 (Ph.D.), semuanya mempunyai agenda sendiri-sendiri, baik kuliah, riset maupun meeting dengan pembimbing atau mitra kerja. Kenyataan inilah yang membuat Divisi Ilmiah sama sekali tidak pernah mengadakan kopi darat, bertemu dan melakukan rapat secara intensif di sepanjang satu tahun periode kepengurusan. Kopi darat atau ‘ketemuan’ hanya berlangsung di sela-sela acara KOPI Delft berlangsung.


Satu-satunya media kami untuk berkomunikasi secara intens adalah e-mail. Melalui surat elektronik yang terhubung pada semua alamat anggota tim, kami berinteraksi satu sama lain. Metode semacam ini kemudian kami sebut sebagai ‘e-Rapat’. Ternyata, dengan cara ini diskusi tetap saja bisa mengalir. Bahkan, rekor 114 thread pernah tercapai untuk membicarakan persiapan dan finalisasi acara kolokium di bulan Oktober 2014 lalu.

Lalu, apa yang dibicarakan dalam e-rapat? Ya, tidak ubahnya seperti rapat biasanya, apapun kami bicarakan. Namun, yang tidak pernah kami lupakan adalah pendelegasian tugas dalam mengeksekusi sebuah agenda kolokium. Singkatnya, untuk sebuah acara KOPI Delft, hanya dibutuhkan lima orang saja untuk bertugas di lapangan, yakni seorang sebagai moderator, seorang operator kamera video yang merekam  acara, seorang lagi sebagai reporter yang meliput isi presentasi yang disampaikan, seorang dengan kamera untuk dokumentasi foto, serta satu orang lagi yang menjamin ketersediaan konsumsi saat acara berlangsung. Meski demikian, untuk mendukung kesuksesan acara, masih diperlukan dua orang lagi yang menjalankan tugas yang cukup krusial, yakni seorang yang bertugas mencarikan tempat untuk acara kolokium dan publikasi acara tersebut menjelang hari-H. Kecuali publikasi, keenam tugas tadi digilirkan kepada siapa saja anggota tim yang ingin berpartisipasi dengan menjalankan salah satu tugas tersebut.

Tibalah di hari-H. Apa yang sudah direncanakan secara detil dan matang dalam e-Rapat tinggal dieksekusi di lapangan. Seusai acara kolokium, bukan berarti pekerjaan tim selesai, terutama bagi tim reporter dan dokumentasi video. Video rekaman acara kolokium selanjutnya diolah sedemikian rupa hingga dapat diunggah dalam Youtube. Selain dapat dinikmati oleh siapapun yang tidak sempat hadir dalam kolokium, kehadiran video dalam format seperti ini juga membantu tim reporter dalam penyusunan liputan, sehingga diperoleh liputan yang berbobot, lengkap dan informatif. Di akhir proses, liputan dan video diiunggah dalam website resmi KOPI Delft dan laman facebook PPI Delft. 

Lewat pola kerja seperti ini, setidaknya Divisi Ilmiah PPI Delft periode 2014/2015 telah menghadirkan 17 narasumber, baik mahasiswa master, doktoral, profesional, peneliti, dosen hingga profesor, untuk berbagi ilmu bersama dan menebar inspirasi dalam acara KOPI Delft. 

Tentu, apa yang kami lakukan tidaklah seheroik aksi pemuda Indonesia di Belanda di era pergerakan nasional tahun 20-an. Namun, kami yakini, semua ini adalah kontribusi kecil yang mudah-mudahan bermanfaat bagi Indonesia, walau kami sendiri tidak tahu kapan manfaat itu bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih kepada semua anggota tim: Pak Yazdi, Pak Senot, Pak Dieky, Pak Agus, Pak Isnaeni, Mbak Ajenk, Bu Pungky, Mbak Fiona, Pak Adhi, Mas Yudha, Mas Damar, Mas Hariadi Jejey dan Mas Dhata. Senang bekerja sama dengan saling belajar bersama. Semoga karya kecil kita ini memberi kontribusi bagi kemajuan Indonesia. Demikian pula, rasa terima kasih saya haturkan kepada pengurus PPI Delft 2014/2015 serta semua teman yang setia mengikuti dan membantu setiap acara KOPI Delft.

Senin, 02 Maret 2015

Memori Bersama Sang Guru

Namanya Bart Verkerke. Beliau seorang profesor di dua universitas di Belanda, yakni di University of Groningen dan University of Twente. Mengikuti kebiasaan orang Belanda, saya cukup memanggil nama depan beliau saja, Bart, tanpa embel-embel sebutan “Prof.” di depan namanya, walaupun ia seorang profesor dengan segudang karya tulis ilmiah dan produk di genggamannya. Saya mengenal Bart hampir sembilan tahun yang lalu, pada saat saya memulai program master atau S2. Bart mungkin adalah orang non-Indonesia pertama yang saya kenali dengan cukup akrab, setidaknya terbukti dari kontak saya dengannya hingga saat ini.

Medio tahun 2006, saya mengikuti pendidikan S2 di UGM. Program yang saya ikuti ini adalah pilot project, alias inisiasi dari sebuah proyek program distance learning (atau sebutan lainnya: e-learning) pada bidang studi yang relatif baru, khususnya di Indonesia, yakni biomedical engineering. Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, biomedical engineering adalah teknik atau rekayasa biomedis. Apa dan bagaimana sih isi program ini? Saya tidak janji, namun akan mengusahakan untuk memaparkannya dalam tulisan tersendiri suatu saat nanti.

Singkatnya, program S2 jarak jauh yang dilabeli ‘internasional’ ini diikuti oleh enam universitas di Asia dan Eropa. Dari Asia ada tiga universitas, yakni UGM, ITB dan Indian Institute of Technology (IIT) (India). Sementara, dari Eropa juga diwakili oleh tiga universitas, yakni University of Groningen (Belanda), Gent University (Belgia) dan Leeds University (Inggris). Meski demikian, dari total 13 mahasiswa peserta program kuliah jarak jauh ini, delapan di antaranya dari Indonesia, tiga dari Belanda dan dua dari Belgia. Tidak ada mahasiswa dari Inggris dan India.

Sekitar April 2006, saya bersama dua orang kawan dari fakultas kedokteran dan kedokteran gigi UGM lolos seleksi sebagai pilot student atau mahasiswa angkatan pertama untuk menjalani program ini. Kami bertiga diharapkan dapat mensukseskan program distance learning dengan jarak super jauh ini. Selama dua tahun program ini berjalan, proses belajar mengajar dilakukan via internet oleh dosen-dosen dari enam universitas di Asia dan Eropa tersebut, selain kuliah lokal oleh dosen-dosen di universitas induk masing-masing.

Label lain yang cukup unik dari program ini adalah diversity, keberagaman. Bagaimana tidak? Perbedaan kultur, cara berkomunikasi dan metode belajar antara orang Indonesia dan Belanda-Belgia begitu terasa di sepanjang program ini. Ada pula perbedaan cara berpikir antara orang teknik (engineering) dan kedokteran (medicine) yang ternyata cukup mencolok. Namanya saja rekayasa biomedis. Orang teknik disatukan dengan orang medis. Orang teknik harus mengerti dan mampu bekerja sama dengan orang medis. Begitu pula sebaliknya. Unik bukan? Nah, Bart adalah dosen pengampu mata kuliah sekaligus salah satu koordinator program unik ini.

Bart adalah koordinator program baik di tingkat lokal di Eropa (Belanda) maupun di level Asia-Eropa. Saya hampir selalu melihat Bart cukup sibuk dengan hal-hal yang sifatnya koordinasi di setiap summerschool, atau pertemuan tahunan setiap musim panas, baik di Groningen (2006), Bandung (2007) dan Delhi (2008). Namun, Bart juga tetap konsisten melakoni tugasnya sebagai akademisi, yakni dengan mengajar kuliah. Sesuai keahliannya, materi yang diajarkan Bart adalah desain produk, implan biomedik dan biomekanika. Di akhir program S2, saya semakin intensif berkomunikasi dengan Bart, walaupun harus dilakukan via internet. Bart adalah salah satu dari dua pembimbing saya dalam mengerjakan tesis S2 saya. 

***

Rabu, 21 Januari lalu, di sebuah restoran di pinggir pantai Egmond aan Zee, Belanda, saya bertemu kembali dengan Bart. Bukan tanpa alasan saya datang malam-malam di restoran yang terletak di di dekat Alkmaar tersebut. Malam itu saya baru saja datang bersama kolega dan pembimbing saya di TU Delft saat ini untuk menghadiri sebuah seminar atau conference selama dua hari.

Sesaat setelah duduk di meja yang bersebelahan, Bart memberi kode kepada saya agar duduk satu meja dengannya. Perbincangan pun dimulai, diawali dengan Bart yang memperkenalkan saya kepada salah satu murid Ph.D.-nya yang kebetulan duduk bersamanya. Juga oleh Bart, saya diperkenalkan beberapa mahasiswanya yang sempat berlalu-lalang di sekitar meja tempat kami berbincang.

Dengan gaya bicaranya yang sengaja pelan agar mudah dimengerti, Bart bercerita kepada mahasiswanya bagaimana ia dulu bertemu dengan saya. Lalu, tentang program e-learning yang saya ikuti bersamanya. Dengan detil ia bercerita. Bahkan, tak jarang ia bercerita tentang bagaimana sulitnya menjalankan program kuliah jarak jauh itu kepada mahasiswanya.

Dari detil ceritanya, tampak bahwa Bart masih ingat betul bagaimana saya dan teman-teman Indonesia yang kelimpungan mengikuti program kuliah jarak jauh itu. Selain kendala bahasa –karena tidak semuanya mahir berbahasa Inggris, termasuk saya!- beratnya perkuliahan juga dikarenakan segudang tugas ala mahasiswa S2 di Belanda yang datang bertubi-tubi setiap minggunya serta keterbatasan koneksi maupun kemampuan internet di tanah air. Perbedaan waktu antara Belanda dan Indonesia (Yogyakarta dan Bandung) yang terpaut 5 jam di musim panas dan 6 jam di musim dingin juga membuat proses belajar dan output-nya kurang maksimal. Kami mempunyai program teleconference dengan dosen melalui dengan Skype atau Yahoo Messenger. Setelah dicapai kesepakatan, teleconference dilakukan setiap minggu di hari tertentu pukul 9 pagi waktu Belanda atau 2 siang waktu Indonesia bagian barat selama musim semi dan panas di Eropa. Bila musim gugur dan dingin tiba, maka jam tatap muka bagi mahasiswa Indonesia digeser satu jam menjadi pukul 3 sore. Bagi mahasiswa di Belanda dan Belgia, pukul 9 pagi adalah saat yang paling nyaman untuk mulai belajar; pikiran dan fisik masih segar. Sebaliknya, bagi mahasiswa Indonesia, berada di paruh waktu kedua dari sebuah harI adalah sebuah tantangan tersendiri. Lelah, setelah paginya juga mengikuti kuliah lokal di kampus masing-masing dan internet yang sangat amat lambat karena berada di jam orang sibuk bekerja.

Entah bermula dari apa, perbincangan saya dengan Bart malam itu akhirnya juga menyinggung salah satu materi kuliah saat S2 dulu, yakni kuliah methodical design, atau metode perancangan produk. Satu hal yang tidak pernah saya lupakan dari kuliah yang dipandu oleh Bart dan koleganya ini: “Tidak ada satu solusi dalam desain”. Solusi haruslah banyak dan pergunakanlah kreativitas untuk mendapatkan solusi sebanyak-banyaknya. Ajaran ini ternyata cukup ampuh dan dapat diterapkan dalam banyak hal dalam kehidupan. Inilah yang mungkin membuat mata kuliah itu terasa penuh dengan tantangan dan memunculkan gagasan-gagasan yang seringkali tak terduga, berkat kreativitas yang sengaja ‘dipaksa’ untuk dipergunakan sepanjang kuliah.

Tak terasa momen berbincang-bincang dengan Bart selama acara welcome dinner itu harus segera diakhiri karena waktu yang telah habis. Para peserta conference satu per satu meninggalkan restoran itu. Saya pun berpisah dengan Bart, walaupun akhirnya kami bertemu kembali dalam social event setelah acara makan malam itu dan selama conference keesokan harinya.